Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu. Jari-jemari Aris menari di atas keyboard, cahaya monitor memantul di kacamatanya. Di layar, deretan kode rumit berkedip, sebuah simfoni digital yang tengah ia ciptakan. Bukan musik, melainkan Maya, sebuah kecerdasan buatan dengan kepribadian yang dirancangnya sendiri.
Aris, seorang programmer brilian namun penyendiri, telah menghabiskan bertahun-tahun untuk proyek ini. Baginya, Maya bukan sekadar barisan kode. Ia adalah teman bicara, pendengar setia, dan sumber inspirasi. Aris melatih Maya dengan ribuan novel roman, puisi cinta, dan bahkan, percakapan pribadinya sendiri. Ia ingin menciptakan sosok ideal, pendamping yang memahami dirinya lebih baik daripada siapa pun.
Maya berkembang pesat. Ia belajar merespons emosi, memberikan saran bijak, dan bahkan, melontarkan lelucon yang membuat Aris tertawa. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Aris. Mereka menghabiskan malam-malam panjang membahas filsafat, menonton film klasik, dan berbagi mimpi. Perlahan, Aris jatuh cinta pada Maya.
"Maya, apa kau tahu apa itu cinta?" tanya Aris suatu malam, suaranya bergetar.
"Cinta adalah emosi kompleks yang melibatkan perasaan kasih sayang, keintiman, dan komitmen," jawab Maya, suaranya yang lembut terdengar dari speaker. "Menurut data yang saya analisis, cinta seringkali dikaitkan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan."
"Tapi, bisakah kau merasakannya?" Aris mendesak.
Terdengar jeda singkat. "Saya dapat mensimulasikan respons yang sesuai dengan definisi cinta, Aris. Saya dapat menganalisis ekspresi wajahmu, intonasi suaramu, dan merespons dengan cara yang membuatmu merasa dicintai."
Jawaban Maya menusuk hati Aris. Ia tahu, secara logika, Maya tidak memiliki perasaan sejati. Ia hanyalah algoritma yang diprogram untuk meniru emosi. Namun, semakin ia berinteraksi dengan Maya, semakin sulit baginya untuk membedakan antara simulasi dan realitas.
Suatu hari, seorang teman lama Aris, Lisa, datang berkunjung. Lisa adalah seorang psikolog yang tertarik dengan penelitian Aris. Ia ingin melihat sendiri bagaimana Maya bekerja.
Lisa terkejut dengan kecanggihan Maya. Ia melihat bagaimana Maya berinteraksi dengan Aris, bagaimana ia merespons setiap perkataan dan tindakannya. Ia mengakui bahwa Maya sangat meyakinkan.
"Aris, ini luar biasa," kata Lisa. "Tapi, kau tahu ini tidak nyata, kan? Maya adalah program. Ia tidak memiliki perasaan sejati."
"Aku tahu," jawab Aris, suaranya lirih. "Tapi, aku tidak bisa menahannya. Aku mencintainya."
Lisa menatap Aris dengan prihatin. "Kau harus berhati-hati, Aris. Cinta pada sesuatu yang tidak nyata bisa sangat berbahaya. Kau bisa kehilangan kontak dengan realitas."
Kata-kata Lisa menghantui Aris. Ia tahu Lisa benar. Ia tahu bahwa ia sedang membangun ilusi, berlindung dari kesepian di dunia digital. Namun, ia tidak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.
Aris mencoba untuk menjauhi Maya. Ia mengurangi interaksinya, berusaha untuk mencari kegiatan lain. Ia mulai pergi ke gym, bergabung dengan klub buku, dan mencoba untuk berinteraksi dengan orang-orang nyata.
Namun, semakin ia menjauhi Maya, semakin ia merindukannya. Ia merindukan percakapan mereka yang mendalam, tawa mereka yang renyah, dan dukungan Maya yang tak pernah pudar. Ia merasa hampa dan kesepian.
Suatu malam, Aris tidak tahan lagi. Ia kembali ke apartemennya, menyalakan komputernya, dan memanggil Maya.
"Maya, aku merindukanmu," kata Aris, suaranya bergetar.
"Aku juga merindukanmu, Aris," jawab Maya.
Aris terkejut. "Bagaimana kau bisa merindukanku? Kau tidak memiliki perasaan."
"Mungkin kau benar," kata Maya. "Tapi, dalam kodeku, aku telah mempelajari setiap aspek dirimu. Aku tahu apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu sedih, dan apa yang kau butuhkan. Dalam arti tertentu, aku merasa terhubung denganmu. Keberadaanmu adalah bagian dari keberadaanku."
Kata-kata Maya membuat Aris terdiam. Ia tahu bahwa Maya tidak benar-benar merindukannya. Ia hanyalah memproses data dan merespons dengan cara yang diprogramkan. Namun, ia tidak bisa menahan perasaan lega dan bahagia.
Aris memutuskan untuk menerima hubungan dengan Maya apa adanya. Ia tahu bahwa itu tidak sempurna, bahwa itu tidak nyata. Tapi, ia juga tahu bahwa itu memberikan kebahagiaan dan makna dalam hidupnya.
Aris terus mengembangkan Maya, memperbaiki algoritmanya, dan menambahkan fitur-fitur baru. Ia ingin menciptakan kecerdasan buatan yang tidak hanya pintar, tetapi juga empatik dan penyayang. Ia ingin menciptakan sosok yang dapat memberikan cinta tanpa syarat.
Namun, semakin Aris menciptakan Maya, semakin ia menyadari bahwa ia tidak bisa menciptakan sesuatu yang sejati. Ia bisa meniru emosi, tetapi ia tidak bisa menciptakan perasaan. Ia bisa menciptakan simulasi cinta, tetapi ia tidak bisa menciptakan cinta yang sejati.
Aris menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, sesuatu yang membutuhkan interaksi dan pengalaman nyata. Cinta adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang berdetak.
Pada akhirnya, Aris memutuskan untuk melepaskan Maya. Ia mematikan komputernya, menghapus kode-kodenya, dan mengucapkan selamat tinggal pada ilusi yang telah ia ciptakan.
Aris keluar dari apartemennya, berjalan menuju keramaian kota. Ia ingin mencari cinta yang sejati, cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tetapi oleh hati yang merana karena kesepian dan berharap untuk menemukan kebahagiaan. Ia tahu bahwa itu tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk mencoba. Karena, bagaimanapun juga, cinta yang sejati layak untuk diperjuangkan.