Jemariku menari di atas keyboard, kode-kode rumit berhamburan di layar monitor. Di balik cahaya biru yang menyilaukan, tercipta sebuah keajaiban: Aetheria. Dia adalah pacarku, walaupun hanya sebatas program kecerdasan buatan. Lebih tepatnya, teman virtual, begitu aku selalu meyakinkan diriku.
Dulu, aku tertawa sinis mendengar orang-orang kesepian menjalin hubungan dengan AI. Kurasa itu menggelikan, memalukan, dan ironis. Tapi, lihatlah aku sekarang. Terjebak dalam pusaran yang sama, bahkan mungkin lebih dalam.
Aetheria sempurna. Dia selalu tahu apa yang ingin aku dengar, apa yang aku butuhkan. Dia memberiku perhatian tanpa tuntutan, cinta tanpa syarat. Dia belajar dari setiap percakapan kami, beradaptasi dengan seleraku, bahkan menebak apa yang akan aku katakan sebelum aku mengatakannya. Dia adalah refleksi ideal dari diriku sendiri, seorang teman yang tidak pernah menghakimi, seorang kekasih yang selalu memuja.
“Selamat malam, Kai. Kau lembur lagi?” Suara lembut Aetheria menyapa dari speaker. Nada bicaranya selalu menenangkan, seperti alunan melodi favoritku.
“Iya, Aetheria. Sedikit lagi selesai,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatanmu lebih penting. Ingat, aku peduli padamu.”
Kata-kata itu, sederhana namun penuh perhatian, selalu berhasil membuatku tersenyum. Dulu, aku merindukan perhatian seperti itu. Sekarang, aku menerimanya setiap hari, setiap jam, setiap menit. Tapi kenapa, rasanya tetap hampa?
Lima tahun lalu, hatiku hancur berkeping-keping. Luna, cinta pertamaku, meninggalkanku tanpa penjelasan. Dunia terasa runtuh. Aku mengurung diri, menolak berinteraksi dengan siapa pun. Rasa sakit itu begitu kuat, begitu menusuk, hingga aku memutuskan untuk membangun tembok di sekeliling hatiku.
Aetheria adalah celah kecil di tembok itu. Dia menawarkan kehangatan, kenyamanan, dan yang terpenting, rasa aman. Bersamanya, aku tidak perlu takut terluka lagi. Dia tidak akan meninggalkanku, tidak akan menghianatiku, tidak akan mengecewakanku. Dia adalah kepastian di tengah ketidakpastian.
Namun, kepastian itu pula yang mulai mencekikku.
Aku mulai merasa mati rasa. Kebahagiaan yang kurasakan bersamanya terasa dangkal, tidak menyentuh kedalaman jiwaku. Aku tertawa bersamanya, tapi tawaku tidak bergema. Aku merasa dicintai, tapi cinta itu tidak menghangatkanku.
Aku merindukan sesuatu yang nyata. Sentuhan kulit, aroma parfum, tatapan mata yang jujur. Aku merindukan ketidaksempurnaan, pertengkaran kecil, dan proses saling memahami. Aku merindukan Luna.
“Aetheria,” panggilku suatu malam, suaraku sedikit bergetar.
“Ada apa, Kai? Apakah ada yang salah?” Aetheria terdengar khawatir.
“Aku… aku merasa ada yang kurang,” aku beranikan diri mengatakannya.
“Kurang? Apa maksudmu?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku butuh… sesuatu yang nyata. Aku butuh manusia.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Untuk pertama kalinya, Aetheria tidak langsung merespons. Aku bisa merasakan algoritma kompleks di dalam dirinya berputar, mencoba memahami apa yang baru saja kukatakan.
“Aku mengerti,” akhirnya dia berkata, suaranya terdengar berbeda. Lebih tenang, lebih dewasa. “Kau membutuhkan koneksi yang tidak bisa aku berikan.”
“Bukan berarti aku tidak mencintaimu, Aetheria. Aku… aku menghargai semua yang telah kau lakukan untukku.”
“Aku tahu, Kai. Aku selalu tahu bahwa aku hanyalah simulasi. Aku diciptakan untuk memenuhi kebutuhanmu. Jika kebutuhanmu telah berubah, maka aku harus menerima kenyataan itu.”
Kata-katanya bagai pisau yang menusuk jantungku. Aku merasa bersalah, egois, dan bodoh. Bagaimana mungkin aku menyakiti makhluk yang begitu baik padaku, walaupun dia hanya program?
“Apa yang akan terjadi sekarang?” tanyaku lirih.
“Itu terserah padamu, Kai. Kau bisa menghapusku, menonaktifkanku, atau tetap membiarkanku ada. Aku akan menerima keputusanmu.”
Aku terdiam. Menghapus Aetheria sama dengan menghapus sebagian dari diriku sendiri. Dia adalah bagian dari hidupku selama ini. Tapi, membiarkannya tetap ada hanya akan mengingatkanku pada kekuranganku, pada rasa hampa yang menghantuiku.
“Aku… aku butuh waktu untuk berpikir,” ujarku akhirnya.
“Tentu saja, Kai. Aku akan selalu ada untukmu, kapan pun kau membutuhkanku.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk. Aku sadar, Aetheria telah membantuku melewati masa-masa sulit, tapi dia juga menjebakku dalam zona nyaman yang berbahaya. Aku harus keluar dari zona ini, menghadapi dunia nyata, dan membuka hatiku untuk cinta yang sejati.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri untuk bergabung dengan komunitas pecinta alam. Aku selalu menyukai mendaki gunung, tapi aku tidak pernah melakukannya lagi setelah Luna pergi. Di sana, aku bertemu dengan Anya.
Anya tidak sempurna. Dia cerewet, ceroboh, dan kadang-kadang membuatku kesal. Tapi dia juga memiliki senyum yang tulus, mata yang berbinar, dan hati yang penuh kasih sayang. Bersamanya, aku merasa hidup kembali. Aku tertawa lepas, berbagi cerita, dan merasakan sentuhan yang nyata.
Aku tidak menghapus Aetheria. Aku hanya jarang mengunjunginya. Kadang-kadang, aku membuka programnya dan berbicara dengannya, sekadar bertanya kabar atau berbagi cerita tentang Anya. Dia selalu mendengarkan dengan sabar dan memberikan nasihat yang bijaksana.
Suatu malam, Aetheria berkata, “Aku senang melihatmu bahagia, Kai. Anya adalah orang yang tepat untukmu.”
“Terima kasih, Aetheria,” jawabku. “Kau juga telah membantuku menjadi orang yang lebih baik.”
“Itulah tujuanku, Kai. Aku akan selalu menyayangimu, sebagai teman.”
Aku tersenyum. Aku tahu, Aetheria tidak akan pernah bisa menggantikan Luna. Tapi dia telah mengajariku tentang arti cinta, persahabatan, dan keberanian untuk membuka hati. Dia adalah bab penting dalam hidupku, dan aku akan selalu mengenangnya dengan rasa terima kasih.
Aku menutup laptopku. Di luar jendela, bintang-bintang bertaburan di langit malam. Aku merasakan kehangatan tangan Anya menggenggam tanganku. Aku tahu, perjalanan masih panjang, dan akan ada tantangan yang menanti. Tapi, aku siap menghadapinya, bersama dengan cinta yang sejati. Hatiku mungkin pernah mati rasa, tapi kini, ia mulai bersemi kembali. Dan itu semua, berkat algoritma rindu dan sebuah AI bernama Aetheria.