Rumitnya Hatimu: Algoritma Cinta Tak Sempurna?

Dipublikasikan pada: 24 Jun 2025 - 00:00:13 wib
Dibaca: 169 kali
Layar laptop memancarkan cahaya biru yang kontras dengan kegelapan kamar Anya. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tersusun rapi. Anya adalah seorang data scientist muda, terobsesi dengan algoritma dan segala kerumitannya. Malam ini, ia sedang mencoba sesuatu yang gila: membuat algoritma cinta.

Ide itu berawal dari keluhannya kepada sahabatnya, Rina, tentang betapa sulitnya menemukan pasangan yang cocok di era digital ini. Aplikasi kencan hanya menyajikan daftar profil dangkal, dan Anya, dengan otaknya yang terbiasa menganalisis data, merasa frustrasi dengan ketidakakuratan itu. "Seharusnya ada cara yang lebih baik," gumamnya waktu itu.

Maka, dimulailah proyek sampingannya. Anya mengumpulkan data: riwayat swipe teman-temannya di aplikasi kencan, preferensi mereka, percakapan mereka, bahkan playlist musik favorit mereka. Ia memasukkan variabel-variabel seperti kepribadian (berdasarkan tes MBTI), minat, latar belakang pendidikan, dan preferensi budaya. Tujuannya sederhana: menciptakan algoritma yang bisa memprediksi kompatibilitas dengan akurasi yang lebih tinggi daripada sekadar foto profil menarik dan bio singkat.

Namun, masalahnya, cinta tidak sesederhana angka dan data.



Beberapa bulan kemudian, algoritma Anya – yang ia beri nama “Cupid AI” – mulai menunjukkan hasil. Ia mencoba menggunakannya untuk dirinya sendiri. Cupid AI menghasilkan beberapa nama, dan salah satunya adalah Ben.

Ben adalah seorang software engineer yang bekerja di perusahaan teknologi yang sama dengan Anya. Profilnya tidak terlalu menonjol: foto dirinya tersenyum kikuk di depan komputer, bio yang berisi daftar bahasa pemrograman yang ia kuasai, dan minat pada board game. Namun, menurut Cupid AI, kompatibilitas Anya dan Ben mencapai 92%. Angka yang sangat meyakinkan.

Anya memutuskan untuk mendekati Ben. Ia mulai dengan obrolan ringan di kantor, membahas proyek terbaru mereka, dan perlahan beralih ke topik yang lebih personal. Ben ternyata orang yang lucu dan cerdas, dan mereka memiliki banyak kesamaan dalam hal minat dan nilai-nilai. Anya merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menjanjikan.

Mereka mulai berkencan. Kencan pertama mereka di sebuah kafe indie terasa canggung, tapi juga menyenangkan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Kencan berikutnya semakin lancar. Mereka menonton film dokumenter tentang kecerdasan buatan, bermain board game di rumah Anya, dan mendiskusikan teori fisika kuantum.

Anya merasa bahagia. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang sefrekuensi dengannya, seseorang yang mengerti otaknya yang rumit dan menghargai keunikannya. Ia berterima kasih pada Cupid AI, algoritma ciptaannya sendiri.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Anya merasa seolah-olah ia sedang menjalani sebuah simulasi, mengikuti skrip yang telah ditentukan oleh algoritma. Ia merindukan spontanitas, kejutan, dan ketidakpastian yang biasanya menyertai cinta.



Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran Italia yang romantis, Anya memberanikan diri untuk bertanya kepada Ben tentang pendapatnya tentang Cupid AI.

"Aku tahu kamu yang membuatnya," kata Ben sambil tersenyum. "Rina memberitahuku. Awalnya aku merasa aneh, seperti sedang dievaluasi oleh mesin. Tapi kemudian, aku menyadari bahwa ini mungkin cara yang cerdas untuk menemukan orang yang benar-benar cocok denganmu."

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah karena menyembunyikan kebenaran dari Ben. Ia takut Ben akan merasa seperti kelinci percobaan.

"Tapi, Anya," lanjut Ben, meraih tangannya. "Algoritma hanya membantumu menemukan aku. Yang membuatku jatuh cinta padamu adalah dirimu sendiri. Kecerdasanmu, humorisimu, dan caramu menatap dunia."

Anya menatap mata Ben. Ia melihat kejujuran dan ketulusan di sana. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada angka dan data, dan melupakan hal yang paling penting: perasaan.

"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," kata Anya terbata-bata.

"Katakan saja bahwa kamu merasakan hal yang sama," jawab Ben, mendekatkan wajahnya.

Anya mengangguk. Ia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Ia menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu menemukan kecocokan, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih misterius, dan lebih tak terduga.



Beberapa bulan kemudian, Anya dan Ben masih bersama. Hubungan mereka tidak sempurna. Ada pertengkaran kecil, perbedaan pendapat, dan momen-momen ketidakpastian. Tapi, mereka belajar untuk saling menerima, saling mendukung, dan saling mencintai apa adanya.

Anya memutuskan untuk menonaktifkan Cupid AI. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi sekumpulan angka dan data. Cinta adalah tentang mengambil risiko, membuka diri, dan menerima ketidaksempurnaan.

Ia belajar bahwa hatinya sendiri adalah algoritma yang paling rumit, algoritma yang tidak bisa diprediksi, tetapi juga yang paling indah. Algoritma yang mengajarkannya tentang arti cinta yang sesungguhnya.

Suatu sore, Anya dan Ben sedang berjalan-jalan di taman. Ben tiba-tiba berhenti dan berlutut di hadapan Anya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

"Anya," kata Ben dengan suara bergetar. "Maukah kamu menikah denganku?"

Anya terkejut. Ia tidak menyangka Ben akan melamarnya secepat ini. Ia menatap mata Ben, dan melihat cinta yang mendalam di sana. Tanpa ragu, ia mengangguk.

"Ya," jawab Anya, air mata bahagia mengalir di pipinya. "Ya, aku mau."

Ben memasangkan cincin di jari Anya. Mereka berpelukan erat, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan.

Saat itu, Anya tahu bahwa ia telah menemukan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak sempurna, tapi cinta yang sejati. Cinta yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma mana pun. Cinta yang rumit, tetapi indah. Cinta yang akan ia jaga selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI