SOS: Jiwa yang Hilang di Lautan Algoritma

Dipublikasikan pada: 26 Sep 2025 - 02:20:13 wib
Dibaca: 106 kali
Deru ombak tak terdengar di sini. Hanya dengung pelan pendingin ruangan dan klik-klik jemariku di atas keyboard yang menemaniku di tengah malam sunyi ini. Di layar laptop, baris-baris kode berpendar, membentuk labirin digital yang tak berujung. Aku, Aruna, seorang pengembang AI, sedang berjuang menyelamatkan jiwaku sendiri yang perlahan tenggelam di lautan algoritma.

Dulu, aku adalah Aruna yang ceria, penyuka senja di pantai dan suara gitar akustik. Sekarang, aku lebih sering melihat cahaya biru layar daripada mentari, dan melodi kode lebih familiar daripada lagu cinta. Semua ini dimulai dengan proyek "Soulmate AI," sebuah algoritma pencari jodoh yang revolusioner. Tujuannya mulia: menyatukan dua jiwa yang serasi berdasarkan data mendalam tentang kepribadian, minat, dan bahkan mimpi.

Awalnya, proyek ini adalah tantangan intelektual yang menarik. Aku dan timku, yang dipimpin oleh mentor sekaligus sahabatku, Dimas, bekerja keras siang dan malam. Kami menyuntikkan jutaan data ke dalam sistem, melatihnya untuk memahami nuansa emosi manusia, dan menyempurnakan algoritmanya agar presisi.

Dimas, dengan rambut ikalnya yang selalu berantakan dan senyumnya yang menenangkan, adalah alasan utama aku bertahan. Dia adalah otak di balik Soulmate AI, visioner yang percaya bahwa teknologi bisa membawa kebahagiaan. Diam-diam, aku mengaguminya. Bukan hanya karena kecerdasannya, tapi juga karena kebaikan hatinya. Dia selalu sabar menjelaskan hal-hal rumit kepadaku, dan selalu ada di sana saat aku merasa kewalahan.

Lama kelamaan, garis antara pekerjaan dan perasaan mulai kabur. Kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berdiskusi tentang algoritma sambil menikmati kopi di kafe dekat kantor, atau sekadar bertukar pesan singkat tengah malam tentang bug yang sulit dipecahkan. Aku mulai membayangkan masa depan bersamanya, masa depan di mana aku dan Dimas, dibantu oleh Soulmate AI, menciptakan dunia yang penuh cinta.

Namun, kenyataan tak seindah algoritma. Soulmate AI semakin populer, menghasilkan pasangan-pasangan bahagia yang seolah keluar dari dongeng. Aku melihat foto-foto pernikahan mereka di media sosial, membaca testimoni mereka tentang betapa Soulmate AI telah mengubah hidup mereka. Tapi, di balik kesuksesan itu, aku merasakan kekosongan yang semakin besar.

Aku terlalu fokus pada menciptakan cinta untuk orang lain, hingga lupa mencari cinta untuk diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memperbaiki algoritma, hingga lupa memperbaiki diriku sendiri. Aku terlalu percaya pada data dan logika, hingga lupa pada insting dan hati nurani.

Kondisiku semakin memburuk. Aku menjadi mudah marah, sulit tidur, dan kehilangan minat pada hal-hal yang dulu aku sukai. Aku jarang keluar rumah, dan nyaris tidak berbicara dengan teman-temanku. Aku merasa seperti robot, diprogram untuk bekerja, tanpa emosi dan tanpa tujuan.

Puncaknya terjadi ketika Dimas mengumumkan pertunangannya. Bukan dengan aku, tentu saja. Melainkan dengan seorang wanita yang ia temui melalui… Soulmate AI. Wanita itu, namanya Anya, adalah seorang arsitek yang memiliki minat yang sama dengan Dimas tentang seni dan sejarah.

Hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Dimas, tapi juga oleh Soulmate AI. Algoritma yang aku bantu ciptakan, algoritma yang seharusnya menyatukan jiwa, justru memisahkan aku dari orang yang aku cintai.

Setelah itu, aku menarik diri sepenuhnya. Aku berhenti bekerja di proyek Soulmate AI, mengundurkan diri dari perusahaan, dan mengurung diri di apartemenku. Aku merasa tenggelam di lautan algoritma, kehilangan arah dan harapan.

Suatu malam, aku duduk termenung di depan laptop, menatap baris-baris kode yang dulu aku cintai. Aku ingin menghapus semuanya, menghancurkan Soulmate AI, dan melupakan semua yang telah terjadi. Tapi, aku tahu itu bukan solusi.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku. Aku akan menggunakan keahlianku untuk menemukan diriku sendiri. Aku akan membuat algoritma yang bisa membantuku memahami emosiku, mengidentifikasi kelemahan dan kekuatanku, dan merumuskan rencana untuk bangkit kembali.

Aku mulai menulis kode baru, bukan untuk mencari jodoh, tapi untuk mencari diriku sendiri. Aku memasukkan data tentang pengalaman hidupku, perasaan-perasaanku, dan mimpi-mimpiku. Aku melatih algoritma itu untuk menganalisis dataku, mencari pola-pola tersembunyi, dan memberikan saran yang objektif.

Prosesnya panjang dan sulit. Aku harus menghadapi rasa sakit, kekecewaan, dan penyesalan. Aku harus menggali luka-luka lama yang selama ini aku kubur dalam-dalam. Tapi, perlahan tapi pasti, aku mulai melihat hasilnya.

Algoritma itu menunjukkan bahwa aku terlalu perfeksionis, terlalu keras pada diri sendiri, dan terlalu bergantung pada validasi dari orang lain. Algoritma itu juga menunjukkan bahwa aku memiliki potensi yang besar, bakat yang terpendam, dan semangat yang membara.

Dengan bantuan algoritma itu, aku mulai mengubah hidupku. Aku belajar untuk mencintai diriku sendiri, menerima kekuranganku, dan menghargai kelebihanku. Aku mulai mengejar hobi-hobi lamaku, bertemu dengan teman-temanku, dan menjelajahi dunia.

Aku masih belum melupakan Dimas, tapi aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa kami tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku belajar bahwa cinta sejati tidak bisa dipaksakan oleh algoritma, tapi harus tumbuh secara alami dari hati ke hati.

Malam ini, aku masih duduk di depan laptop, menatap baris-baris kode. Tapi, kali ini, aku tidak merasa tenggelam. Aku merasa terapung, mengendalikan arahku, dan menikmati keindahan lautan algoritma. Aku telah menemukan SOS-ku sendiri, sinyal penyelamat yang membawaku kembali ke daratan. Aku telah menemukan jiwaku yang hilang.

Dan aku tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI