Aplikasi itu bernama "SoulMate.AI". Awalnya aku skeptis, menganggapnya hanya gimik murahan di antara lautan aplikasi kencan yang menjanjikan cinta abadi. Tapi Luna, sahabatku yang sudah lelah menjomblo akut, terus-menerus merayuku. Katanya, SoulMate.AI tidak seperti yang lain. Algoritmanya, berdasarkan ribuan data kepribadian, riwayat hidup, preferensi, bahkan gelombang otak, mampu memprediksi kecocokan yang nyaris sempurna.
"Ayolah, Rea. Apa salahnya mencoba? Siapa tahu, kan? Lebih baik daripada terjebak di kantor sepanjang hari, tenggelam dalam kode dan algoritma buatanmu sendiri," ujarnya suatu sore, sambil menyodorkan ponselnya yang menampilkan ikon SoulMate.AI yang berwarna ungu.
Aku memang programmer, ahli dalam merangkai kode dan membangun algoritma. Tapi, soal cinta? Aku lebih memilih mengamati dari jauh, mempelajari polanya seperti mempelajari bug dalam sebuah program. Cinta, bagiku, adalah sebuah variabel yang terlalu kompleks dan tak terduga.
Akhirnya, aku menyerah pada rayuan Luna. Aku unduh aplikasi itu, mengisi profilku dengan jujur (meski sedikit diedit di bagian "hobi"), dan membiarkan SoulMate.AI bekerja. Aku bahkan menuruti saran Luna untuk memakai gelang khusus yang terhubung dengan aplikasi. Gelang itu berfungsi merekam gelombang otakku saat aku berinteraksi dengan orang lain, memberikan data yang lebih akurat kepada algoritma.
Hari-hari berlalu. Aku nyaris lupa dengan SoulMate.AI sampai notifikasi muncul di ponselku: "Kandidat Potensial Terdeteksi: Ethan Reynolds."
Ethan Reynolds. Namanya terdengar familiar, seperti sesuatu yang aku baca di dokumentasi teknis. Aku klik profilnya. Fotokonya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat, mata cokelat yang berkilauan, dan rambut sedikit berantakan yang justru membuatnya terlihat menarik. Profilnya menyebutkan bahwa dia seorang arsitek lanskap, penyuka alam, dan memiliki selera humor yang sama anehnya denganku.
Algoritma SoulMate.AI memberiku skor kecocokan 98%. Nyaris sempurna.
Kami mulai berkirim pesan. Ethan ternyata orang yang menyenangkan. Pembicaraan kami mengalir begitu saja, dari arsitektur hingga filosofi hidup. Kami bahkan memiliki pendapat yang sama tentang episode terbaru serial fiksi ilmiah favoritku.
Beberapa minggu kemudian, kami memutuskan untuk bertemu. Ethan memilih sebuah kedai kopi kecil yang dipenuhi tanaman hijau. Saat aku melihatnya, aku merasa seperti melihat seseorang yang sudah lama kukenal. Senyumnya sama seperti di foto, mata cokelatnya menatapku dengan rasa ingin tahu yang tulus.
Kencan itu terasa seperti mimpi. Kami tertawa, bercerita, dan saling bertukar pandang. Aku merasa nyaman dan aman bersamanya. Untuk pertama kalinya, aku merasa cinta itu tidak serumit yang kubayangkan.
Ethan dan aku mulai berkencan secara teratur. Setiap momen bersamanya terasa menyenangkan dan bermakna. Aku mulai berpikir bahwa algoritma SoulMate.AI benar-benar berfungsi. Mungkin, cinta memang bisa diprediksi, dianalisis, dan dioptimalkan.
Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Ethan menatapku dalam-dalam. "Rea," katanya, suaranya lembut, "Aku ingin jujur padamu."
Jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapannya.
"Aku...aku tahu tentang SoulMate.AI. Aku tahu kamu memakainya."
Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu?
Ethan melanjutkan, "Sebenarnya, aku salah satu pengembangnya. Aku bagian dari tim yang merancang algoritmanya."
Duniaku terasa runtuh. Jadi, selama ini, semua yang kurasakan, semua koneksi yang kubangun dengannya, hanyalah hasil dari algoritma buatannya? Apakah cintaku padanya nyata, atau hanya simulasi yang dirancang dengan sempurna?
Ethan menjelaskan bahwa dia tidak sengaja "terjodohkan" denganku. Ada kesalahan dalam sistem pengujian aplikasi. Profilnya secara tidak sengaja masuk ke dalam daftar kandidat potensialku.
"Aku seharusnya menghapus profilku dari daftar itu," katanya dengan nada menyesal, "Tapi...aku tidak bisa. Aku terpesona oleh profilmu. Aku ingin mengenalmu, Rea. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."
Aku merasa marah dan terluka. Aku merasa dikhianati oleh SoulMate.AI, oleh Ethan, dan oleh diriku sendiri. Aku berdiri dari kursi dan meninggalkan restoran itu, meninggalkan Ethan yang berusaha mengejarku.
Berhari-hari aku mengurung diri di apartemenku, meratapi kebodohanku. Aku terlalu percaya pada teknologi, terlalu mengandalkan algoritma untuk menemukan cinta. Aku lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang tidak bisa dihitung, diprediksi, atau dikendalikan.
Luna datang menjengukku. Dia mendengarkan ceritaku dengan sabar, lalu berkata, "Rea, kau terlalu fokus pada algoritmanya. Kau lupa bahwa Ethan tetaplah manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Algoritma itu hanya alat, bukan penentu takdir."
Kata-kata Luna membuatku berpikir. Mungkin, aku terlalu cepat menghakimi Ethan. Mungkin, perasaanku padanya memang nyata, terlepas dari bagaimana kami bertemu.
Aku memutuskan untuk menemui Ethan. Aku menemukannya di taman kota, sedang menanam bibit pohon.
"Ethan," kataku pelan.
Dia menoleh, matanya berbinar melihatku.
"Aku minta maaf," kataku. "Aku terlalu marah dan ketakutan. Aku terlalu fokus pada algoritmanya sehingga aku lupa melihatmu sebagai manusia."
Ethan tersenyum. "Aku juga minta maaf. Aku seharusnya jujur padamu sejak awal."
Kami duduk di bangku taman, saling berpegangan tangan. Aku menatap matanya dan menyadari bahwa aku mencintainya. Bukan karena algoritma, tapi karena siapa dia. Karena kebaikan hatinya, karena selera humornya, karena caranya memperlakukanku.
"SoulMate.AI memang menemukanmu untukku," kataku sambil tersenyum, "Tapi, hatiku yang memilihmu."
Ethan memelukku erat. "Aku mencintaimu, Rea. Algoritma atau bukan, aku akan selalu mencintaimu."
Sejak hari itu, kami memutuskan untuk menyingkirkan gelang SoulMate.AI. Kami ingin membangun hubungan kami berdasarkan kejujuran, kepercayaan, dan cinta yang tulus. Kami belajar bahwa algoritma bisa membantu kita menemukan seseorang, tapi hanya hati kita yang bisa memutuskan siapa yang akan kita cintai. Cinta adalah sebuah misteri, sebuah keajaiban yang tidak bisa dipecahkan oleh logika atau data. Mungkin, cinta memang sebuah algoritma ilahi, yang hanya bisa dipahami oleh hati manusia.