Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Kiara. Uapnya menari-nari di sekitar wajahnya yang serius, memantulkan cahaya dari layar laptop yang menyala terang. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan algoritma kencan baru yang ia yakini akan merevolusi dunia percintaan. “HeartSync,” begitu ia menamakannya. Sebuah aplikasi yang menjanjikan pasangan hidup berdasarkan data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak.
Kiara, seorang programmer jenius dengan kacamata berbingkai tebal dan rambut dikuncir asal, lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Baginya, cinta adalah persamaan kompleks yang bisa dipecahkan dengan data yang cukup. Ironisnya, Kiara sendiri belum pernah merasakan manisnya jatuh cinta.
“Kurasa aku berhasil,” gumamnya, menyandarkan punggung ke kursi. HeartSync siap diuji coba. Namun, siapa yang mau menjadi kelinci percobaannya? Tiba-tiba, ide nakal terlintas di benaknya. Ia akan menggunakan HeartSync untuk mencari pasangan yang ideal untuk dirinya sendiri.
Prosesnya sederhana. Ia mengisi profil dengan jujur, memasukkan semua hobinya, ketakutannya, dan impiannya. Aplikasi itu kemudian memindai jutaan profil pengguna lainnya, mencari kecocokan sempurna. Setelah beberapa saat, layar laptopnya menampilkan satu nama: Arya.
Profil Arya tampak sempurna. Ia seorang arsitek, penyuka musik klasik, dan memiliki selera humor yang mirip dengannya. Foto profilnya menunjukkan seorang pria berwajah teduh dengan senyum yang menenangkan. Kiara terpana. Apakah mungkin HeartSync benar-benar berhasil?
Dengan ragu, Kiara mengirimkan pesan kepada Arya. Balasannya datang hampir seketika. Obrolan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas arsitektur, musik, bahkan filosofi hidup. Kiara merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Ia lupa akan skeptisisme awalnya dan mulai hanyut dalam dunia maya bersamanya.
Setelah seminggu berbalas pesan, Arya mengajaknya bertemu. Kiara gugup bukan main. Ia menghabiskan berjam-jam memilih pakaian dan menata rambutnya. Saat tiba di kafe yang mereka sepakati, jantungnya berdegup kencang.
Arya sudah menunggu di meja sudut. Ia tampak persis seperti di foto profilnya, bahkan lebih tampan. Senyumnya hangat dan matanya berbinar saat melihat Kiara.
Malam itu terasa seperti mimpi. Mereka tertawa, bercerita, dan menemukan kesamaan yang tak terduga. Kiara merasa nyaman dan bahagia di dekat Arya. Ia mulai percaya bahwa HeartSync benar-benar membantunya menemukan cinta.
Namun, seiring berjalannya waktu, Kiara mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Meskipun mereka memiliki banyak kesamaan di atas kertas, ada sesuatu yang hilang dalam interaksi mereka. Percakapan mereka terasa hampa, tanpa spontanitas dan kejutan yang biasanya menyertai hubungan yang tulus.
Suatu malam, Arya mengajaknya makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Suasana remang-remang, musik yang lembut, dan hidangan yang lezat seharusnya membuat malam itu sempurna. Namun, Kiara merasa tidak nyaman. Arya terus menerus mengikuti “skrip” yang seolah-olah telah ditetapkan HeartSync. Ia tahu persis apa yang harus dikatakan dan dilakukan untuk membuatnya terkesan.
Di tengah makan malam, Kiara bertanya, “Arya, apakah kamu merasa ada yang kurang?”
Arya terkejut. “Kurang? Apa maksudmu? Aku pikir semuanya berjalan sempurna.”
“Ya, mungkin terlalu sempurna,” jawab Kiara. “Kita terlalu fokus pada kesamaan kita, sehingga melupakan hal-hal yang membuat kita unik. Kita tidak pernah berdebat, tidak pernah memiliki perbedaan pendapat. Rasanya seperti kita hanya menjalankan program.”
Arya terdiam. Ia menatap Kiara dengan tatapan kosong. “Aku… aku tidak mengerti.”
Kiara menghela napas. Ia tahu ini akan sulit. “Arya, aku membuat HeartSync. Aku tahu persis bagaimana algoritma itu bekerja. Aku memilihmu karena kamu adalah hasil pencarian aplikasi itu. Tapi, aku mulai menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi dengan data. Cinta itu buta, bodoh, dan seringkali irasional. Tapi itulah yang membuatnya indah.”
Arya masih terlihat bingung. “Jadi, kamu… kamu ingin mengakhiri ini?”
Kiara menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin kita mencoba sesuatu yang berbeda. Lupakan HeartSync. Lupakan semua kesamaan kita. Mari kita lihat apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma yang bisa menghubungkan kita.”
Arya tampak berpikir keras. Akhirnya, ia mengangguk. “Baiklah. Aku bersedia mencoba.”
Mereka memulai dari awal. Mereka berhenti berbicara tentang hal-hal yang mereka sukai dan mulai berbicara tentang hal-hal yang mereka benci. Mereka berdebat tentang politik, agama, bahkan tentang film favorit mereka. Anehnya, perbedaan pendapat itu justru membuat hubungan mereka semakin kuat. Mereka mulai saling memahami dan menghargai satu sama lain, bukan hanya sebagai pasangan yang ideal, tetapi sebagai individu yang unik.
Kiara menyadari bahwa HeartSync telah membantunya menemukan Arya, tetapi cintalah yang membuat mereka tetap bersama. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, tetapi bisa dipupuk dan diperjuangkan.
Beberapa bulan kemudian, Kiara dan Arya duduk di taman, menikmati matahari sore. Kiara menyandarkan kepalanya di bahu Arya, merasa damai dan bahagia.
“Aku masih tidak percaya kita bisa sampai sejauh ini,” kata Arya. “Dulu aku hanya boneka algoritma, dan sekarang…”
“Sekarang kamu adalah pria yang aku cintai,” sela Kiara. Ia menggenggam tangan Arya dengan erat. “Dan aku mencintaimu bukan karena HeartSync, tetapi karena intuisi hatiku.”
Kiara menutup matanya, merasakan hembusan angin di wajahnya. Ia tahu bahwa masa depan mereka tidak pasti, tetapi ia yakin bahwa cinta mereka akan mampu mengatasi segala rintangan. Karena cinta sejati bukanlah sintesa digital, melainkan sintesa hati yang berpadu dengan intuisi. Sebuah sintesa yang tak ternilai harganya.