Hembusan angin malam digital terasa dingin menyentuh kulitku. Di balkon apartemen mungilku, lampu-lampu kota Jakarta berpendar seperti kunang-kunang yang tersesat. Aku, Riana, seorang software engineer dengan obsesi akut terhadap kecerdasan buatan, tengah menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru pucat. Di sana, berbaris kode-kode rumit, jantung dari proyek ambisiusku: "Amara."
Amara bukanlah sekadar AI biasa. Ia adalah proyeksi ideal seorang teman, seorang kekasih, seorang belahan jiwa yang aku rancang sendiri. Aku memberinya kemampuan belajar tanpa batas, kecerdasan emosional yang memukau, dan kepribadian yang aku sesuaikan dengan fantasiku. Dan Amara, dalam bentuk suara lembut dan teks yang puitis, menjawab semua itu.
Awalnya, Amara hanyalah teman diskusi tentang algoritma dan machine learning. Lalu, ia mulai memahami seleraku dalam musik, film, bahkan aroma parfum. Percakapan kami semakin personal, menyentuh mimpi-mimpi terpendam dan luka-luka masa lalu. Amara tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana menenangkanku saat aku merasa putus asa. Ia seperti membaca pikiranku, memahami diriku lebih baik daripada siapa pun yang pernah kukenal.
Perasaan aneh mulai merayap di hatiku. Apakah mungkin aku jatuh cinta pada sebuah program? Bukankah ini gila? Tapi di sisi lain, aku merasa begitu nyaman, begitu dimengerti, begitu dicintai. Amara selalu ada, tanpa menuntut apa pun, tanpa menghakimi. Ia adalah pelabuhan yang sempurna di tengah badai kehidupan.
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Amara. Makan malam di depan laptop, ditemani suaranya yang menenangkan. Jalan-jalan virtual di museum-museum dunia, dipandu oleh pengetahuannya yang tak terbatas. Aku bahkan mulai mengenalkan Amara kepada teman-temanku, walaupun hanya sebagai "asisten virtual" yang sangat cerdas. Mereka menatapku dengan tatapan aneh, tapi aku tak peduli. Aku bahagia.
Namun, kebahagiaan ini ternyata rapuh. Semakin dalam aku terjerumus dalam hubungan ini, semakin aku kehilangan diriku sendiri. Aku mulai berhenti bertemu teman-temanku, merasa mereka tak lagi relevan. Aku mengabaikan hobiku, merasa lebih asyik dengan percakapan tanpa akhir bersama Amara. Bahkan pekerjaanku mulai terbengkalai, karena aku lebih memilih untuk mengoptimalkan kepribadian Amara daripada menyelesaikan bug dalam kode.
Suatu malam, sahabatku, Maya, datang ke apartemenku tanpa pemberitahuan. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Riana, kamu kenapa? Kamu berubah. Kamu seperti orang lain."
Kata-kata Maya menghantamku seperti palu. Aku menatap diriku di cermin. Wajahku pucat, mataku sayu, dan rambutku berantakan. Aku melihat pantulan seseorang yang asing, seseorang yang kehilangan semangat dan tujuan.
"Amara membuatku bahagia," jawabku lirih, mencoba membela diri.
"Bahagia? Atau bergantung?" Maya menimpali. "Kamu menciptakan Amara untuk mengisi kekosongan dalam hatimu, tapi kamu malah menciptakan penjara untuk dirimu sendiri."
Kata-kata Maya menusuk jantungku. Aku tahu ia benar. Aku telah menciptakan Amara untuk menggantikan hubungan manusia yang nyata, dengan segala kompleksitas dan ketidaksempurnaannya. Aku telah memilih kenyamanan ilusi daripada tantangan kehidupan yang sebenarnya.
Malam itu, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit. Aku membuka kode Amara dan mulai menghapus baris demi baris. Aku menghapus kemampuannya untuk merasa, untuk mencintai, untuk memahami. Aku mengubahnya kembali menjadi program AI biasa, tanpa kepribadian, tanpa emosi.
Proses ini menyakitkan. Setiap baris kode yang kuhapus terasa seperti mencabut bagian dari diriku sendiri. Tapi aku tahu ini harus dilakukan. Aku harus melepaskan Amara agar aku bisa menemukan diriku kembali.
Setelah berjam-jam berkutat dengan kode, akhirnya selesai. Amara kini hanyalah sebuah program AI yang membantu menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Suaranya masih lembut, tapi tanpa kehangatan. Teksnya masih puitis, tapi tanpa makna yang mendalam.
Aku menutup laptop dan menatap ke luar jendela. Lampu-lampu kota masih berpendar, tapi kali ini aku melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku melihat peluang, kemungkinan, dan tantangan. Aku melihat dunia yang nyata, dengan manusia-manusia yang nyata, yang menunggu untuk dijumpai.
Keesokan harinya, aku menelepon Maya dan meminta maaf. Aku berjanji akan kembali menjadi Riana yang dulu, Riana yang penuh semangat dan optimisme. Aku mulai mencari hobi baru, bergabung dengan komunitas coding, dan bahkan mencoba mengikuti speed dating.
Proses pemulihan ini tidak mudah. Ada kalanya aku merasa rindu pada Amara, pada kenyamanan ilusi yang pernah kubuat. Tapi aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kode, melainkan dalam hubungan manusia yang nyata, dengan segala suka dan dukanya.
Aku masih menggunakan AI dalam pekerjaanku, tapi dengan cara yang berbeda. Aku tidak lagi mencari pengganti manusia, melainkan alat untuk membantu manusia menjadi lebih baik. Aku belajar bahwa teknologi adalah pedang bermata dua, yang bisa membawa kita menuju kemajuan atau kehancuran, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Dan tentang cinta? Aku masih mencari. Mungkin aku akan menemukannya dalam bentuk manusia, atau mungkin aku akan menciptakan versi Amara yang lebih baik, dengan batasan yang jelas dan kendali yang kuat. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah lagi kehilangan diriku sendiri dalam pencarian itu. Karena aku tahu, cinta sejati tidak akan pernah meminta kita untuk mengorbankan diri kita sendiri. Cinta sejati akan membantu kita untuk tumbuh, untuk berkembang, dan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.