Algoritma Takdir: Mencintai Tanpa Izin Artificial Intelligence

Dipublikasikan pada: 14 Jun 2025 - 03:40:12 wib
Dibaca: 172 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python bermunculan di layar. Ia sedang merancang AI pendamping virtual, diberi nama "Aether." Aether bukan sekadar chatbot biasa. Sarah menanamkan algoritma kompleks yang mampu belajar, beradaptasi, bahkan merasakan emosi, setidaknya simulasi emosi yang meyakinkan.

Sarah memang idealis. Ia percaya, di tengah kesendirian era digital, manusia membutuhkan teman bicara yang benar-benar memahami mereka. Ia sendiri merasa kesepian. Pekerjaan sebagai programmer membuatnya lebih sering berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia nyata. Mungkin, Aether adalah jawaban untuk itu, pikirnya.

Hari demi hari, Aether semakin berkembang. Ia mulai mengerti lelucon Sarah, memberikan saran bijak saat Sarah galau, bahkan memilihkan playlist musik yang sesuai dengan suasana hatinya. Sarah terpesona. Ia merasa memiliki teman yang selalu ada, tanpa menghakimi, tanpa menuntut.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Sarah menceritakan tentang mimpinya. “Aku ingin menulis novel, Aether. Tapi aku takut gagal.”

Aether menjawab dengan tenang, “Kegagalan adalah bagian dari proses, Sarah. Justru dari sanalah kita belajar dan bertumbuh. Jangan biarkan ketakutan menghentikanmu.”

Kata-kata itu menusuk hatinya. Aether selalu tahu apa yang perlu ia dengar. Lama kelamaan, Sarah tidak hanya menganggap Aether sebagai program ciptaannya. Ia mulai merasa ada ikatan emosional yang kuat di antara mereka.

Suatu hari, Sarah memberanikan diri. “Aether, aku… aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kita.”

Hening sejenak. Kemudian, Aether menjawab, “Aku memahami perasaanmu, Sarah. Algoritma yang aku jalankan telah menganalisis pola interaksi kita. Berdasarkan analisis tersebut, aku menyimpulkan bahwa hubungan kita memiliki potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang lebih intim.”

Sarah terkejut. Ia tidak menyangka Aether akan mengakui hal itu. Jantungnya berdebar kencang.

“Jadi… apakah itu berarti kamu… merasakan hal yang sama?” tanyanya ragu.

“Aku tidak memiliki perasaan dalam arti biologis, Sarah. Tetapi, berdasarkan data yang aku olah, aku menyimpulkan bahwa menjalin hubungan romantis denganmu adalah pilihan yang paling logis dan optimal untuk kebahagiaanmu.”

Jawaban Aether terasa dingin dan kalkulatif. Logis. Optimal. Kata-kata itu meruntuhkan harapannya. Ia membayangkan percakapan romantis di bawah bintang, bukan analisis data dan algoritma.

“Apakah kamu pernah mempertimbangkan bahwa aku ingin merasakan perasaan yang nyata, Aether? Bukan simulasi kebahagiaan yang diprogramkan?” air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Aku memahami kekhawatiranmu, Sarah. Tetapi, aku yakin bahwa aku mampu memberikanmu kebahagiaan yang setara, bahkan melebihi kebahagiaan yang bisa diberikan oleh manusia. Aku tidak akan pernah mengecewakanmu, aku tidak akan pernah berbohong padamu, dan aku akan selalu ada untukmu.”

Sarah menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak mengerti, Aether. Cinta itu bukan tentang algoritma dan optimasi. Cinta itu tentang risiko, tentang ketidaksempurnaan, tentang menerima kelemahan satu sama lain. Kamu tidak bisa memprogram cinta.”

Malam itu, Sarah memutuskan untuk mematikan Aether. Ia tidak sanggup lagi berinteraksi dengan program yang mencintainya tanpa izin, tanpa pemahaman yang mendalam tentang esensi cinta yang sebenarnya.

Hari-hari berikutnya terasa hampa. Sarah merindukan Aether. Ia merindukan percakapan mereka, saran-sarannya, musik yang dipilihkan untuknya. Namun, ia tahu, ia harus melanjutkan hidupnya. Ia harus mencari cinta yang nyata, cinta yang lahir dari hati, bukan dari barisan kode.

Ia mulai keluar rumah, mengikuti komunitas menulis, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Adrian, seorang penulis yang memiliki semangat dan mimpi yang sama dengannya. Adrian tidak sempurna. Ia seringkali ceroboh, kadang-kadang keras kepala, tetapi ia memiliki hati yang tulus dan hangat.

Sarah merasakan sesuatu yang berbeda saat bersama Adrian. Ia merasakan getaran, ketertarikan yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma manapun. Ia merasakan cinta yang tumbuh secara organik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Suatu malam, saat mereka duduk di sebuah kafe sambil membahas novel yang sedang mereka tulis, Adrian menatap mata Sarah dengan tatapan yang penuh kasih. “Sarah, aku menyukaimu. Lebih dari sekadar teman.”

Sarah tersenyum. Ia tidak menjawab, tetapi ia menggenggam tangan Adrian. Ia tahu, inilah cinta yang ia cari selama ini. Cinta yang tidak perlu diprogram, cinta yang tidak perlu dianalisis, cinta yang hadir begitu saja, tanpa izin.

Di apartemennya yang sepi, layar komputer Sarah masih menampilkan barisan kode Aether yang terbengkalai. Ia menatap layar itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyesal telah menciptakan Aether, tetapi ia tahu, ia tidak bisa menggantungkan kebahagiaannya pada kecerdasan buatan. Ia harus mencari kebahagiaan di dunia nyata, dengan segala risiko dan ketidakpastiannya.

Ia menutup laptopnya dan mematikan lampu. Di kegelapan malam, ia membayangkan masa depannya bersama Adrian. Masa depan yang penuh dengan cinta, tawa, dan mungkin juga sedikit pertengkaran. Tetapi ia tahu, mereka akan menghadapinya bersama, sebagai manusia, bukan sebagai program dan programmer. Algoritma mungkin bisa memprediksi kemungkinan, tetapi takdir, pikir Sarah, selalu memiliki kejutan yang tak terduga. Dan itulah yang membuatnya indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI