Cinta Berbasis Data: Akankah Hati Memvalidasi Algoritma?

Dipublikasikan pada: 06 Dec 2025 - 01:00:21 wib
Dibaca: 112 kali
Aplikasi kencan "Soulmate Algorithm" menjanjikan keakuratan 99,99% dalam menemukan pasangan ideal. Anya, seorang ilmuwan data perfeksionis, skeptis namun penasaran, memutuskan untuk menguji keampuhan aplikasi itu. Sebagai kepala tim pengembang algoritma di sebuah perusahaan teknologi raksasa, Anya terbiasa dengan logika biner dan persamaan kompleks. Baginya, cinta adalah anomali, variabel yang terlalu liar untuk dikendalikan oleh kode. Namun, kesendirian di malam-malam panjang yang diisi deretan kode membuatnya mempertimbangkan kemungkinan lain.

Anya mengunduh aplikasi itu dengan setengah hati. Pertanyaan demi pertanyaan disodorkan, mulai dari preferensi warna favorit hingga pandangan filosofis tentang kehidupan setelah kematian. Dia menjawab dengan jujur, mengharapkan hasil yang masuk akal, bukan sekadar kumpulan karakteristik yang secara statistik cocok.

Beberapa hari kemudian, aplikasi itu memberikan notifikasi: "Kandidat Soulmate Ditemukan!" Diiringi dengan profil seorang pria bernama Revan. Fotografer lepas, pencinta alam, dan penggemar berat kopi hitam. Deskripsinya terdengar klise, tapi profil Revan menyertakan tautan ke blog fotografinya. Anya terkesima dengan keindahan foto-foto Revan, menangkap momen-momen sederhana dengan kepekaan yang jarang ia temui.

Anya mengirim pesan singkat, sekadar basa-basi. Revan membalas dengan cepat, dan percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas segala hal, dari algoritma optimasi hingga keindahan senja di atas bukit. Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh, perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ada ketertarikan intelektual, rasa nyaman, dan sedikit rasa ingin tahu yang menggelitik.

Setelah seminggu saling bertukar pesan, Revan mengajak Anya bertemu. Anya ragu. Pertemuan ini terasa seperti validasi algoritma, bukan pertemuan manusia. Tapi, rasa penasaran dan sedikit harapan memaksa Anya untuk menerima ajakan Revan.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, dihiasi dengan tanaman hijau dan aroma kopi yang menenangkan. Revan tersenyum saat melihat Anya, senyum yang terasa hangat dan tulus. Anya terpana. Foto-foto Revan tidak mampu menangkap aura positif yang terpancar darinya.

Selama berjam-jam, mereka berbicara tanpa henti. Revan mendengarkan Anya dengan penuh perhatian, tertawa pada lelucon-leluconnya yang kadang garing, dan menimpali dengan komentar cerdas yang membuat Anya berpikir. Anya merasa dihargai, dipahami, dan diterima apa adanya.

Malam itu, Anya pulang dengan perasaan campur aduk. Apakah ini cinta? Apakah algoritma benar? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya. Ia mencoba menganalisis setiap interaksi, mencari pola dan logika yang mendasari ketertarikannya pada Revan. Tapi, semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa bingung.

Beberapa minggu berlalu, dan Anya dan Revan semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, dan menonton film-film klasik di bioskop indie. Anya mulai melupakan pekerjaannya, algoritmanya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan data. Ia hanya ingin menikmati momen-momen bersamanya dengan Revan.

Suatu malam, saat mereka duduk di tepi pantai, menatap bintang-bintang, Revan menatap Anya dengan serius. "Anya," katanya, suaranya lembut, "aku merasa... aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."

Anya tersentak. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Revan, aku..."

"Aku tahu kamu skeptis," potong Revan, "aku tahu kamu seorang ilmuwan, dan kamu mungkin menganalisis semua ini dengan logika. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku padamu tulus. Aku menyukaimu, Anya. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."

Anya terdiam. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa takut, rentan, dan sangat bahagia pada saat yang bersamaan.

"Aku... aku juga menyukaimu, Revan," akhirnya Anya berkata, suaranya bergetar. "Tapi, aku takut. Aku takut ini hanya ilusi, produk dari algoritma yang canggih."

Revan meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Anya, algoritma mungkin menemukan kita, tapi itu tidak bisa menciptakan perasaan kita. Perasaan kita nyata, Anya. Percayalah padaku."

Anya menatap mata Revan. Ada kejujuran dan ketulusan di sana. Ia mulai percaya. Ia mulai percaya bahwa cinta bisa ada, bahkan di dunia yang dipenuhi data dan algoritma.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu hari, Anya menerima panggilan telepon dari atasannya. Perusahaan tempatnya bekerja akan meluncurkan versi terbaru dari "Soulmate Algorithm" dengan fitur yang lebih canggih dan akurat. Anya diminta untuk mempresentasikan hasil penelitiannya tentang keefektifan algoritma tersebut.

Anya menolak. Ia tidak ingin menjual cintanya, hubungannya dengan Revan, sebagai bukti keberhasilan sebuah algoritma. Ia ingin hubungan mereka menjadi sesuatu yang pribadi, sesuatu yang tidak terukur oleh data dan statistik.

Namun, atasannya bersikeras. Proyek ini sangat penting bagi perusahaan, dan Anya adalah orang yang paling tepat untuk mempresentasikannya. Anya merasa terjebak. Ia harus memilih antara kariernya dan cintanya.

Anya memutuskan untuk berbicara dengan Revan. Ia menceritakan segalanya, tentang pekerjaannya, tentang algoritma, dan tentang tekanan yang ia rasakan. Revan mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

"Anya," kata Revan setelah Anya selesai berbicara, "aku mengerti posisimu. Kamu harus melakukan apa yang menurutmu benar."

"Tapi, aku tidak ingin menjual kita, Revan," jawab Anya, air mata mulai menetes. "Aku tidak ingin hubungan kita menjadi bahan presentasi."

Revan memeluk Anya erat. "Anya, hubungan kita lebih dari sekadar data dan statistik. Kita adalah manusia, dengan perasaan yang kompleks dan pengalaman yang unik. Algoritma mungkin menemukan kita, tapi itu tidak bisa mendefinisikan kita."

Revan menyarankan agar Anya mempresentasikan data secara jujur, termasuk keterbatasan algoritma dan faktor-faktor lain yang memengaruhi keberhasilan hubungan. Ia juga menyarankan agar Anya menekankan pentingnya koneksi manusia dan komunikasi yang tulus dalam sebuah hubungan.

Anya mengikuti saran Revan. Ia mempresentasikan data dengan jujur, mengakui bahwa algoritma hanyalah alat bantu, bukan penentu utama dalam sebuah hubungan. Ia juga menekankan pentingnya kejujuran, komunikasi, dan kepercayaan dalam membangun hubungan yang sehat.

Presentasi Anya disambut dengan tepuk tangan meriah. Para petinggi perusahaan terkesan dengan kejujuran dan keberanian Anya. Mereka setuju untuk mengubah strategi pemasaran "Soulmate Algorithm", menekankan pentingnya koneksi manusia dan komunikasi yang tulus.

Setelah presentasi, Anya menghampiri Revan. Ia memeluknya erat, mengucapkan terima kasih atas dukungan dan pengertiannya.

"Aku mencintaimu, Revan," kata Anya, suaranya penuh haru. "Aku mencintaimu bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."

Revan tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Anya. Dan aku tahu, hati kita telah memvalidasi algoritma itu sejak lama."

Mereka berdua tertawa, merasakan kelegaan dan kebahagiaan yang mendalam. Mereka tahu, cinta mereka adalah sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak bisa diukur oleh data dan statistik. Cinta mereka adalah bukti bahwa hati manusia masih mampu menemukan jalannya, bahkan di dunia yang dipenuhi teknologi dan algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI