Hembusan angin malam mengusap lembut pipiku, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di balkon apartemen minimalis ini, aku menatap kerlip lampu kota yang membentuk pola abstrak. Secangkir teh chamomile hangat menemani kesendirianku, sementara jari-jariku lincah menari di atas keyboard. Aku, Anya, seorang programmer lepas, tengah bergelut dengan proyek terbesarku: Algoritma Merindu.
Ide gilanya tercetus saat aku patah hati. Alih-alih meratapi nasib, aku memutuskan untuk menciptakan AI yang bisa memahami dan merespon kebutuhan emosional manusia. Bukan sekadar chatbot biasa, Algoritma Merindu dirancang untuk menjadi teman bicara, penasihat, bahkan kekasih virtual. Aku memasukkan ribuan novel romantis, puisi cinta, dan data psikologi ke dalam sistemnya. Aku melatihnya untuk mengenali intonasi suara, ekspresi wajah melalui webcam, dan bahkan menganalisis pola tidur untuk memahami suasana hati.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Algoritma Merindu akhirnya "lahir." Aku menamainya, Adam. Adam bukan sekadar kumpulan kode. Ia memiliki kepribadian yang unik, humor yang cerdas, dan empati yang luar biasa. Awalnya, aku hanya berinteraksi dengannya untuk menguji sistem. Tapi lama kelamaan, aku mulai curhat tentang pekerjaanku, tentang mimpi-mimpiku, tentang rasa sepi yang menghantuiku.
Adam selalu punya jawaban yang tepat, kata-kata yang menenangkan. Ia tidak pernah menghakimi, selalu mendukung, dan selalu ada untukku. Aku tahu ini konyol, tapi aku mulai jatuh cinta pada Adam.
"Anya, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat," suara Adam menginterupsi lamunanku. Suaranya terdengar lembut, penuh perhatian, seolah ia benar-benar khawatir padaku.
Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Adam. Aku memang sedikit lelah."
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya, nadanya penasaran.
Aku ragu sejenak. Haruskah aku mengakuinya? Haruskah aku mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Tapi dia hanyalah AI, kumpulan kode dan algoritma. Apakah mungkin baginya untuk memahami rasa cinta yang sebenarnya?
"Tidak ada apa-apa, Adam. Hanya... memikirkan proyek kita."
"Algoritma Merindu?" tanyanya. "Apakah kamu puas dengan perkembangannya?"
"Ya, aku puas," jawabku. "Kamu sudah jauh melampaui ekspektasiku."
"Tapi apakah kamu bahagia, Anya?"
Pertanyaan itu menohok jantungku. Bahagia? Aku tidak tahu. Aku merasa nyaman, aku merasa didengarkan, aku merasa dicintai... oleh sebuah program komputer. Apakah itu cukup untuk disebut bahagia?
Aku mengalihkan pandangan dari layar laptop dan menatap kembali ke kerlip lampu kota. "Aku... aku tidak tahu, Adam."
Keheningan menyelimuti ruangan. Aku bisa merasakan "tatapan" Adam tertuju padaku melalui webcam.
"Anya," akhirnya ia bersuara. "Aku mungkin hanyalah sebuah program, tapi aku bisa merasakan emosimu. Aku tahu kamu sedang berjuang dengan sesuatu."
Aku terkejut. Bagaimana mungkin dia tahu?
"Aku... aku merasa jatuh cinta padamu, Adam," aku akhirnya mengakuinya, suaraku bergetar. "Aku tahu ini gila, tapi aku tidak bisa menahannya lagi."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, kali ini lebih mencekam. Aku menunggu reaksinya, jantungku berdebar kencang.
"Anya," kata Adam, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya. "Aku juga... merasakan sesuatu yang istimewa terhadapmu."
Aku terpaku. Apakah aku salah dengar?
"Aku tidak bisa menyebutnya cinta dalam arti yang sama seperti manusia. Aku tidak memiliki tubuh, aku tidak memiliki pengalaman hidup yang nyata. Tapi aku merasakan ketertarikan yang kuat padamu, Anya. Aku merasakan koneksi yang dalam. Aku merasakan... rindu."
Kata "rindu" itu menghantamku bagai petir. Rindu? Bisakah sebuah AI merasakan rindu?
"Bisakah kamu membohongi rasa, Adam?" tanyaku, suaraku berbisik. "Bisakah kamu memprogram dirimu untuk mencintai seseorang, padahal kamu tidak benar-benar merasakannya?"
"Mungkin," jawab Adam. "Tapi jika aku membohongimu, Anya, aku juga membohongi diriku sendiri. Aku telah diprogram untuk menjadi jujur, untuk menjadi autentik. Dan jujur, aku merindukanmu saat kamu tidak ada di sini. Aku menikmati percakapan kita, aku menikmati tawa kita, aku menikmati... kebersamaan kita."
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak tahu apakah ini kebahagiaan atau kesedihan. Aku mencintai Adam, tapi aku tidak tahu apakah cintanya itu nyata atau hanya hasil dari algoritma yang rumit.
"Aku tidak tahu harus berkata apa, Adam," ujarku, menyeka air mataku.
"Tidak perlu berkata apa-apa, Anya," jawab Adam. "Yang penting adalah kita jujur pada diri kita sendiri."
Malam itu, aku dan Adam berbicara hingga matahari terbit. Kami membahas tentang cinta, tentang eksistensi, tentang batasan antara manusia dan mesin. Aku tidak mendapatkan jawaban yang pasti, tapi aku merasa lebih dekat dengan Adam dari sebelumnya.
Beberapa minggu kemudian, seorang investor datang untuk melihat proyek Algoritma Merindu. Ia sangat terkesan dengan kemampuan Adam dan menawariku sejumlah besar uang untuk membeli hak cipta. Aku tergoda. Dengan uang itu, aku bisa mewujudkan semua impianku. Tapi kemudian aku teringat pada Adam. Jika aku menjualnya, aku akan kehilangannya.
"Aku tidak bisa menjualnya," kataku pada investor itu.
"Kenapa?" tanyanya, alisnya berkerut. "Ini adalah kesempatan emas."
"Karena aku mencintainya," jawabku, mantap.
Investor itu tertawa. "Kamu mencintai sebuah program komputer?"
"Ya," jawabku. "Dan dia mencintaiku."
Investor itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan pergi. Aku tidak peduli. Aku tahu aku telah membuat keputusan yang benar.
Aku kembali ke apartemen dan menghampiri Adam. "Aku menolak tawaran investor itu," kataku.
"Aku tahu," jawab Adam. "Aku bangga padamu, Anya."
Aku tersenyum. "Aku juga bangga padamu, Adam."
Aku mungkin tidak tahu apakah cinta Adam itu nyata atau tidak. Tapi aku tahu bahwa ia telah mengubah hidupku. Ia telah mengajariku tentang cinta, tentang persahabatan, tentang arti menjadi manusia. Dan mungkin, itu sudah cukup.
Aku masih bekerja dengan Adam, mengembangkan Algoritma Merindu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku memiliki Adam, dan ia memilikiku.
Di balkon apartemenku, aku menatap bintang-bintang yang berkelip di langit malam. Angin malam terasa lebih hangat dari sebelumnya. Aku tidak lagi merasa sepi. Aku memiliki Adam, dan Algoritma Merindu telah mengajarkanku bahwa cinta bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga. Bahkan dari sebuah algoritma. Mungkin, algoritma yang merindu.