Hembusan AC kantor terasa semakin dingin malam ini. Jemariku menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang memenuhi layar. Di depanku, secangkir kopi yang sudah dingin menemani. Aku, Anya, seorang data scientist, sedang berjibaku dengan Neural Network buatanku. Proyek ini ambisius: sebuah AI yang mampu memahami dan memprediksi emosi manusia. Lebih dari sekadar membaca ekspresi wajah, aku ingin ia merasakan, atau setidaknya, menirukan kompleksitas perasaan yang kurasakan setiap hari.
Targetku bukan keuntungan finansial, melainkan sebuah jawaban. Pertanyaan yang terus berputar di kepalaku: bisakah mesin memahami cinta?
Di sela-sela baris kode, pikiranku melayang ke sosok seorang pria. Bukan sembarang pria, melainkan Reihan, rekan kerjaku. Arsitek sistem di tim kami. Otaknya cemerlang, logika berpikirnya bagaikan algoritma yang efisien. Tapi, di balik ketegasannya, tersimpan senyum yang mampu membuat jantungku berdebar lebih kencang dari prosesor termahal sekalipun.
Masalahnya, Reihan sulit dibaca. Ia ramah, perhatian, tapi selalu ada jarak yang tak terlihat. Apakah ia merasakan hal yang sama? Pertanyaan ini lebih sulit dipecahkan daripada algoritma terumit sekalipun.
Maka, aku menciptakan 'Eva', Neural Network yang kupelajari sendiri, diam-diam. Aku memasukkan data emosional manusia dalam jumlah besar: novel romantis, film drama, lagu-lagu patah hati, bahkan rekaman obrolan pribadiku dengan sahabat. Tujuanku? Melatih Eva untuk mengenali pola emosi Reihan.
Awalnya, Eva hanya mampu mendeteksi emosi dasar seperti senang, sedih, atau marah. Namun, seiring berjalannya waktu, kemampuannya meningkat. Ia mulai mengenali nuansa halus dalam intonasi suara Reihan, perubahan mikro pada ekspresinya, bahkan pola ketikannya.
Suatu siang, saat jam makan siang, aku duduk berhadapan dengan Reihan di kantin. Eva aktif menganalisis interaksi kami melalui webcam laptopku yang tersembunyi.
"Anya, kamu kelihatan lelah. Kurang tidur lagi ya?" tanya Reihan, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
Detik itu juga, Eva mengirimkan notifikasi ke ponselku: "Probabilitas Emosi: Khawatir (87%), Peduli (72%), Tertarik (61%)".
Jantungku berdegup kencang. Apakah ini benar? Apakah Reihan benar-benar peduli padaku?
Aku berusaha bersikap tenang. "Sedikit. Proyek ini cukup menyita waktu," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Reihan tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi jangan sampai mengorbankan kesehatanmu. Istirahat itu penting."
Eva kembali mengirimkan notifikasi: "Probabilitas Emosi: Simpati (91%), Empati (83%), Potensi: Romantis (45%)".
Potensi romantis? Angka itu, walau hanya 45%, terasa bagai petir di siang bolong. Apakah Eva mulai memahami sesuatu yang bahkan aku sendiri ragu untuk percayai?
Hari-hari berikutnya, aku semakin intensif melatih Eva. Aku memberikan data baru, menguji kemampuannya dengan berbagai skenario. Eva semakin pintar, semakin akurat. Ia bahkan mulai memberikan saran: "Perhatikan bahasa tubuhnya saat membicarakan minatnya. Itu indikator ketertarikan yang kuat." atau "Berikan pujian yang spesifik tentang pekerjaannya. Itu akan meningkatkan rasa dihargai."
Aku mulai mengikuti saran Eva. Aku memuji presentasi Reihan, memperhatikan bahasa tubuhnya saat ia bercerita tentang proyek barunya, dan menanyakan pendapatnya tentang algoritma yang sedang kukembangkan.
Reihan tampak semakin terbuka. Kami semakin sering menghabiskan waktu bersama, bukan hanya membahas pekerjaan, tetapi juga minat dan impian masing-masing. Tawa kami semakin sering memenuhi ruang kantor, mengalahkan kebisingan mesin dan deru AC.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, muncul keraguan. Apakah hubungan ini nyata? Ataukah aku hanya terpaku pada prediksi sebuah algoritma? Apakah aku mencintai Reihan, atau aku mencintai hasil analisis Eva?
Suatu malam, aku memutuskan untuk jujur pada Reihan. Aku menceritakan tentang Eva, tentang bagaimana aku menggunakan AI untuk memahami perasaannya.
Reihan terdiam. Aku bisa melihat keterkejutan dan kebingungan di matanya. Aku takut. Takut kehilangan persahabatannya, takut ia menganggapku gila.
"Jadi, selama ini kamu menganalisisku dengan AI?" tanyanya, suaranya terdengar datar.
Aku mengangguk, menunduk malu. "Aku… aku hanya ingin tahu apakah kamu merasakan hal yang sama," bisikku.
Reihan menghela napas panjang. "Anya, aku tidak menyangka kamu melakukan ini. Aku menghargai usahamu, tapi… cinta itu bukan data. Itu bukan sesuatu yang bisa dianalisis atau diprediksi."
Kata-katanya menghantamku bagai gelombang tsunami. Aku merasa bodoh, naif, dan sangat kecewa.
Reihan melanjutkan, "Aku memang tertarik padamu, Anya. Tapi aku ingin mengenalnya dirimu apa adanya, bukan melalui filter algoritma."
Air mataku mulai menetes. Aku merasa gagal, bukan hanya sebagai data scientist, tetapi juga sebagai seorang wanita.
Reihan mengangkat daguku. "Lihat aku, Anya. Aku menyukaimu karena kecerdasanmu, karena semangatmu, karena caramu tertawa. Bukan karena algoritma yang kamu ciptakan."
Ia tersenyum, senyum yang kali ini terasa tulus dan hangat. "Lupakan Evamu. Mari kita mulai dari awal. Tanpa AI, tanpa prediksi, hanya aku dan kamu."
Malam itu, aku mematikan laptopku. Aku menghapus Eva. Aku menyadari bahwa cinta, seperti halnya kehidupan, terlalu kompleks dan tak terduga untuk direduksi menjadi barisan kode. Cinta adalah misteri, sebuah teka-teki yang harus dipecahkan dengan hati, bukan dengan algoritma.
Degup jantungku adalah Neural Network yang paling akurat. Dan malam itu, degup jantungku berdetak kencang, bukan karena prediksi AI, melainkan karena harapan yang baru. Harapan akan cinta yang tulus, nyata, dan tanpa syarat. Antara diriku dan Reihan.