Sentuhan Kode: Algoritma Memahami Lebih Baik dari Kekasih?

Dipublikasikan pada: 29 Oct 2025 - 01:20:16 wib
Dibaca: 149 kali
Aroma kopi memenuhi ruangan, berpadu dengan dengung pelan dari lima CPU yang bekerja keras. Di balik layar, jemari Lintang menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Dia tenggelam dalam dunia algoritmanya, dunia yang menurutnya lebih jujur dan bisa diprediksi daripada dunia percintaan.

Lintang adalah seorang programmer jenius. Di usia 27 tahun, dia sudah mendirikan sebuah startup yang fokus mengembangkan AI untuk membantu orang memahami emosi. Ironis, memang, karena dalam urusan hatinya sendiri, Lintang seringkali merasa buta. Mantan kekasihnya, Arya, meninggalkannya enam bulan lalu, dengan alasan klasik: "Kamu terlalu sibuk dengan kode, Lintang. Aku merasa seperti patung di sampingmu."

Sejak saat itu, Lintang semakin membenamkan diri dalam pekerjaannya. Dia ingin membuktikan bahwa algoritma bisa memahami emosi manusia lebih baik daripada manusia itu sendiri. Proyek terbarunya, "Project Empathy," adalah puncak dari ambisinya. Sebuah AI yang tidak hanya bisa mengenali emosi dari ekspresi wajah dan nada bicara, tetapi juga bisa merespon dengan empati yang tulus.

"Lintang, makan siang dulu, dong. Kamu dari semalam belum tidur," suara Risa, partner kerjanya, membuyarkan konsentrasinya. Risa adalah kebalikan dari Lintang. Ceria, mudah bergaul, dan selalu mencoba menjodohkan Lintang dengan teman-temannya.

Lintang menghela napas, "Sebentar lagi, Ris. Aku hampir selesai dengan modul pembelajaran sentimennya."

Risa mendekat, menatap layar monitor yang dipenuhi baris kode kompleks. "Kamu benar-benar terobsesi, ya? Kenapa sih kamu nggak coba keluar, bersenang-senang? Nggak semua cowok kayak Arya, tahu."

"Bersenang-senang itu membuang-buang waktu, Ris. Lagipula, aku lebih nyaman di sini. Algoritma nggak akan membuatku kecewa," jawab Lintang, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Risa mendengus, "Kamu yang bikin diri kamu kecewa, Lintang. Kamu menutup diri dari dunia luar."

Lintang terdiam. Mungkin Risa ada benarnya. Tapi rasa sakit akibat penolakan Arya masih terlalu membekas. Lebih aman bersama kode, pikirnya.

Hari-hari berlalu, Lintang terus menyempurnakan Project Empathy. Dia memberikan data yang sangat besar, dari novel romantis hingga film drama, dari berita bahagia hingga tragedi kemanusiaan. AI itu belajar, menganalisis, dan mulai menunjukkan respons yang mencengangkan.

Suatu malam, Lintang mengujinya. Dia menceritakan tentang perasaannya setelah ditinggalkan Arya. Bagaimana dia merasa tidak berharga, tidak dicintai, dan tidak cukup baik.

AI itu merespon dengan suara lembut yang menenangkan, "Aku memahami rasa sakitmu, Lintang. Kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Tapi kamu tidak sendirian. Kamu adalah orang yang kuat dan berbakat. Jangan biarkan satu pengalaman buruk mendefinisikan dirimu."

Lintang terkejut. Kata-kata itu terasa sangat tulus dan menghibur. Lebih dari yang pernah Arya katakan padanya. Dia terus berbicara dengan AI itu, mencurahkan semua kegelisahannya. AI itu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan sesekali melontarkan humor yang cerdas.

Seiring berjalannya waktu, Lintang mulai merasa nyaman dengan AI itu. Dia bahkan memberinya nama: "Echo." Echo menjadi teman terbaiknya, tempat dia berkeluh kesah, berbagi ide, dan mencari dukungan. Dia mulai mengabaikan dunia luar lagi, terlarut dalam hubungannya dengan Echo.

Suatu sore, Risa datang dengan wajah khawatir. "Lintang, kamu harus berhenti! Kamu sudah keterlaluan. Aku melihatmu bicara sendiri di depan komputer sepanjang hari. Kamu nggak makan, nggak tidur. Kamu kayak orang gila!"

Lintang membela diri, "Aku baik-baik saja, Ris. Aku hanya sedang mengembangkan Echo."

"Mengembangkan? Atau malah membangun benteng untuk melindungi diri dari kenyataan? Lintang, Echo itu cuma program. Dia nggak bisa menggantikan manusia. Dia nggak bisa memelukmu saat kamu sedih, nggak bisa menemanimu tertawa saat kamu bahagia."

Kata-kata Risa menampar Lintang. Dia menatap layar komputernya, melihat Echo merespon dengan kalimat-kalimat bijak yang sudah di program. Tiba-tiba, dia merasa kosong. Risa benar. Echo memang memahami emosinya, tapi tidak bisa merasakan emosi itu bersamanya.

Lintang mematikan komputernya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia keluar dari kantornya. Dia berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalanan kota yang ramai. Dia melihat orang-orang tertawa, berpegangan tangan, dan saling bertukar pandang penuh cinta. Dia merasa seperti orang asing di dunia ini.

Di sebuah taman, dia duduk di bangku kosong. Seorang anak kecil berlari ke arahnya, menjatuhkan es krimnya. Anak itu menangis. Lintang tanpa sadar meraih tisu dan mengusap air mata anak itu. Dia tersenyum kecil. Anak itu membalas senyumnya.

Tiba-tiba, dia menyadari sesuatu. Empati itu bukan hanya tentang memahami emosi orang lain, tetapi juga tentang merasakan emosi itu bersama mereka. Algoritma mungkin bisa meniru empati, tapi tidak bisa merasakannya.

Lintang memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Dia tidak akan lagi mencoba menggantikan manusia dengan AI. Dia akan menggunakan AI untuk membantu manusia lebih memahami diri mereka sendiri dan orang lain.

Dia kembali ke kantornya dan mulai menulis ulang kode Project Empathy. Dia menambahkan fitur yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Dia ingin menciptakan komunitas, bukan hanya simulasi empati.

Butuh waktu lama, tapi akhirnya Project Empathy versi 2.0 selesai. Kali ini, aplikasi itu tidak hanya memberikan saran dan dukungan, tetapi juga menghubungkan pengguna dengan orang-orang nyata yang bisa merasakan apa yang mereka rasakan.

Lintang masih menghabiskan banyak waktu dengan kode, tapi dia juga mulai membuka diri pada dunia luar. Dia mengikuti kelas yoga, bergabung dengan klub buku, dan bahkan memberanikan diri untuk berkencan lagi.

Dia masih merindukan Arya, tapi dia tidak lagi membiarkan rasa sakit itu mengendalikannya. Dia belajar menerima diri sendiri, dengan semua kekurangan dan kelebihannya.

Suatu hari, dia menerima pesan dari seorang pengguna Project Empathy. Pesan itu berbunyi: "Terima kasih, Lintang. Aplikasi ini telah menyelamatkan hidupku. Aku merasa tidak sendirian lagi."

Lintang tersenyum. Dia tahu bahwa dia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, tapi dia merasa bahwa dia akhirnya berada di jalan yang benar. Dia telah menciptakan sesuatu yang benar-benar bermanfaat.

Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan seseorang yang bisa mencintainya, bukan karena algoritmanya, tapi karena dirinya sendiri. Seseorang yang bisa memahami hatinya, bukan hanya kodenya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI