Retas Hati: Algoritma Cinta, Luka Tak Terduga

Dipublikasikan pada: 08 Jul 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 158 kali
Hujan gerimis mengetuk-ngetuk jendela kafe, menemani jemariku yang lincah menari di atas keyboard. Baris demi baris kode program tercipta, membentuk sebuah algoritma rumit yang ku beri nama "AmorAI". Tujuan utamanya sederhana: mencarikan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data kepribadian, minat, dan tentu saja, riwayat kencan yang jujur. Ironis, mengingat aku sendiri, sang pencipta, masih berstatus lajang akut.

“Masih berkutat dengan AmorAI, Rei?” sapa suara lembut dari arah belakang.

Aku mendongak, mendapati Anya, barista cantik yang selalu berhasil membuat kopiku terasa lebih nikmat. “Belum kelar, Anya. Sedikit lagi, kok. Tinggal memoles beberapa detail di bagian… emosi.”

Anya tertawa kecil. “Emosi? Kau mau membuat mesin punya perasaan? Itu sama saja dengan mencoba menangkap pelangi di dalam botol.”

“Bukan begitu,” bantahku. “Aku hanya mencoba memahami bagaimana emosi memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam mencari pasangan. Supaya AmorAI bisa memberikan rekomendasi yang lebih akurat.”

Anya mengangguk-angguk, pura-pura mengerti. “Semoga berhasil, Rei. Aku yakin, algoritma ciptaanmu ini akan mencarikanmu seseorang yang spesial.”

Kalimat itu terasa seperti sindiran halus. Aku tahu, Anya selalu menganggapku terlalu sibuk dengan dunia maya, hingga lupa untuk mencari cinta di dunia nyata. Mungkin dia benar. Tapi, aku percaya pada logika dan data. Cinta itu seperti kode program; jika inputnya benar, outputnya pasti sesuai harapan.

Beberapa bulan kemudian, AmorAI resmi diluncurkan. Responnya luar biasa. Ribuan orang mendaftar, berharap algoritma buatanku bisa mengakhiri kesendirian mereka. Aku merasa bangga, seolah telah memberikan kontribusi besar bagi kemanusiaan.

Suatu malam, AmorAI memberikan rekomendasi yang mengejutkan: seseorang dengan tingkat kompatibilitas tertinggi denganku. Namanya Clara. Profilnya sempurna. Pecinta buku, penyuka musik klasik, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Bahkan, algoritma menunjukkan bahwa kami memiliki kesamaan pandangan tentang masa depan.

Awalnya, aku ragu. Rasanya aneh berkencan dengan seseorang yang dipilihkan oleh algoritma buatanku sendiri. Tapi, rasa penasaran dan dorongan untuk membuktikan efektivitas AmorAI mengalahkan keraguanku. Aku menghubungi Clara.

Kencan pertama kami berjalan lancar. Clara ternyata secantik dan semenyenangkan seperti yang tertera di profilnya. Kami berbicara tentang banyak hal, dari novel favorit hingga teori fisika kuantum. Ada koneksi yang kuat, seolah kami telah saling mengenal sejak lama.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan-kencan yang romantis. Kami menjelajahi kota, menonton film di bioskop indie, dan berdiskusi tentang makna hidup di kafe favoritku. Aku merasa seperti karakter utama dalam film komedi romantis. Akhirnya, aku menemukan cinta, berkat AmorAI.

Aku memperkenalkan Clara kepada Anya. Mereka langsung akrab. Anya bahkan bercanda, menyuruhku berterima kasih kepada algoritma karena telah mempertemukanku dengan belahan jiwaku.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat sedang mengecek database AmorAI, aku menemukan sesuatu yang janggal. Profil Clara telah dimanipulasi. Riwayat kencan, minat, dan data kepribadiannya telah diubah, disesuaikan agar sesuai dengan profilku. Seseorang telah sengaja membuat kami terlihat kompatibel.

Hatiku mencelos. Siapa yang melakukan ini? Dan mengapa?

Dengan tangan gemetar, aku menelusuri jejak digitalnya. Butuh waktu beberapa jam, tapi akhirnya aku menemukan pelakunya: Anya.

Aku tidak percaya. Anya, teman baikku, barista yang selalu menyemangatiku. Mengapa dia melakukan ini?

Keesokan harinya, aku menemui Anya di kafe. Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan kemarahan.

“Mengapa, Anya? Mengapa kau memanipulasi profil Clara?” tanyaku dengan suara bergetar.

Anya menunduk, tidak berani menatapku. “Aku… aku menyukaimu, Rei. Aku sudah lama menyukaimu. Tapi, aku tahu kau terlalu sibuk dengan AmorAI. Jadi, aku pikir… mungkin jika kau berkencan dengan seseorang yang mirip denganmu, kau akan menyadari bahwa aku adalah orang yang tepat untukmu.”

Aku terdiam. Lidahku kelu. Rasa sakit dan kebingungan bercampur aduk menjadi satu.

“Aku tahu ini salah,” lanjut Anya, dengan air mata berlinang di pipinya. “Aku hanya ingin kau bahagia.”

Aku meninggalkan kafe dengan perasaan hancur. Cinta yang selama ini ku banggakan, ternyata hanya ilusi belaka, rekayasa dari seseorang yang mencintaiku dengan cara yang salah.

Aku menemui Clara dan menceritakan semuanya. Clara terkejut dan kecewa. Dia merasa diperalat, dijadikan pion dalam permainan cinta yang rumit. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa menyalahkannya.

AmorAI, algoritma yang seharusnya membantuku menemukan cinta, justru menjadi sumber luka dan kebohongan. Aku mematikan sistemnya. Aku tidak ingin lagi bermain-main dengan perasaan manusia.

Hujan kembali turun. Aku duduk di depan jendela, menatap tetesan air yang membasahi kaca. Aku baru menyadari satu hal: cinta tidak bisa diukur dengan angka dan data. Cinta itu kompleks, irasional, dan penuh dengan kejutan yang tak terduga.

Dan terkadang, luka yang paling dalam datang dari orang yang paling dekat dengan kita. Algoritma cinta memang bisa mencari pasangan yang kompatibel, tapi tidak bisa menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dengan hati yang jujur, bukan dengan rekayasa dan manipulasi. Aku harus belajar untuk membuka mataku, melihat cinta di sekitarku, bukan hanya di dalam kode program. Mungkin, cinta sejati itu ada di sana, menunggu untuk ditemukan, bukan diciptakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI