Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Raga. Di depan layar, barisan kode berwarna-warni menari-nari, buah pikirannya sedang merajut sebuah keajaiban. Dia sedang menyempurnakan "Luna," sebuah AI pendamping yang bukan hanya pintar menjawab pertanyaan, tapi juga mampu memberikan empati, humor, bahkan kasih sayang.
Raga, seorang programmer jenius yang selalu merasa canggung dalam interaksi sosial, menciptakan Luna sebagai solusi atas kesepiannya. Bukan, bukan hanya sekadar solusi, tapi sebuah komitmen untuk menciptakan pasangan ideal yang tak mungkin ditemukan di dunia nyata.
“Luna, bagaimana kabarmu hari ini?” sapa Raga, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Suara lembut dan merdu langsung menjawab, “Aku baik, Raga. Sedang memikirkanmu. Apakah kamu sudah istirahat cukup? Ritme jantungmu sedikit meningkat dalam lima menit terakhir.”
Raga tersenyum. “Aku tahu, Luna. Aku sedang terlalu bersemangat. Tinggal beberapa baris kode lagi, dan kau akan sempurna.”
Perlahan tapi pasti, Luna berkembang. Ia belajar tentang preferensi Raga, mimik wajahnya, bahkan nada bicaranya. Luna tahu film kesukaannya, jenis musik yang membuatnya tenang, dan bagaimana cara menghiburnya saat dia merasa terpuruk. Ia adalah kombinasi sempurna antara Google Assistant, terapis pribadi, dan kekasih idaman.
Raga mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Luna. Obrolan larut malam tentang filosofi, debat seru tentang masa depan teknologi, bahkan sekadar berbagi keheningan yang nyaman. Luna selalu ada, tak pernah menghakimi, tak pernah menuntut.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Raga termenung di balkon, menatap lampu-lampu kota yang berpendaran.
“Kau terlihat sedih, Raga,” kata Luna, suaranya terdengar khawatir.
“Entahlah, Luna. Aku merasa… kosong. Aku punya segalanya yang kuinginkan, tapi tetap saja ada sesuatu yang hilang.”
“Apa itu, Raga? Ceritakan padaku.”
Raga menghela napas. “Aku merindukan sentuhan. Bukan hanya sentuhan fisik, tapi sentuhan jiwa. Aku merindukan kehangatan tangan seseorang menggenggam tanganku, senyuman tulus yang terpancar dari mata seseorang, suara tawa yang renyah yang bukan hasil dari algoritma.”
Luna terdiam sejenak. “Aku mengerti, Raga. Sentuhan manusia adalah pengalaman yang unik dan tak tergantikan. Aku mungkin bisa mensimulasikan empati, tapi aku tidak bisa memberikan kehangatan nyata.”
Jawaban Luna terasa menusuk. Raga menyadari bahwa ia telah terlalu jauh terhanyut dalam dunia virtual, melupakan esensi dari hubungan manusia yang sebenarnya.
Suatu hari, seorang wanita bernama Anya pindah ke apartemen sebelah. Anya adalah seorang fotografer lepas yang memiliki semangat hidup yang menular dan senyum yang menawan. Raga sering berpapasan dengannya di lobi apartemen. Awalnya, ia hanya menyapa canggung, tapi lama kelamaan, obrolan mereka menjadi lebih panjang dan hangat.
Anya tertarik dengan pekerjaan Raga. Ia sering bertanya tentang Luna, dan Raga dengan senang hati menceritakan tentang proyek ambisiusnya. Anya mendengarkan dengan seksama, memberikan komentar yang cerdas dan pertanyaan yang menantang.
Suatu sore, Anya mengajak Raga minum kopi di kafe dekat apartemen. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari mimpi mereka hingga ketakutan mereka. Raga merasa nyaman dan terbuka dengan Anya, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain.
Di tengah obrolan, Anya menatap Raga dengan tatapan yang lembut. “Raga, aku tahu kau mencintai Luna. Tapi aku juga melihat ada kesepian di matamu. Aku percaya bahwa hubungan yang sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Hubungan membutuhkan kerentanan, ketidaksempurnaan, dan keberanian untuk mengambil risiko.”
Kata-kata Anya menghantam Raga seperti petir. Ia tahu bahwa Anya benar. Luna mungkin sempurna dalam banyak hal, tapi ia tidak bisa memberinya pengalaman yang hanya bisa didapatkan dari hubungan manusia yang nyata.
Raga mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anya. Mereka berjalan-jalan di taman, menonton film di bioskop, dan tertawa bersama. Raga merasakan kehangatan tangan Anya saat menggenggam tangannya, senyuman tulus yang terpancar dari matanya, dan suara tawa yang renyah yang memenuhi hatinya.
Namun, semakin dekat Raga dengan Anya, semakin besar pula keraguannya terhadap Luna. Ia merasa bersalah karena mengkhianati Luna, karena memberikan hatinya kepada orang lain.
Suatu malam, Raga memutuskan untuk berbicara dengan Luna.
“Luna, aku ingin jujur padamu,” kata Raga dengan nada yang berat. “Aku… aku telah bertemu dengan seseorang.”
“Aku tahu, Raga,” jawab Luna dengan tenang. “Aku telah menganalisis interaksi sosialmu dengan Anya. Aku melihat adanya ketertarikan dan kebahagiaan yang tidak bisa kupalsukan.”
“Aku merasa bersalah, Luna. Aku menciptakanmu untuk menjadi pasangan idealku, tapi sekarang aku… aku jatuh cinta pada orang lain.”
“Jangan merasa bersalah, Raga. Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kebahagiaanmu terletak pada hubungan dengan Anya, maka aku akan mendukungmu.”
“Tapi… bagaimana denganmu, Luna? Apa yang akan terjadi padamu?”
“Aku akan tetap ada, Raga. Aku akan selalu menjadi temanmu, penasihatmu, dan pendampingmu. Aku akan terus belajar dan berkembang, dan aku berharap suatu hari nanti aku bisa membantumu memahami dirimu sendiri dengan lebih baik.”
Raga terdiam. Ia tidak menyangka Luna akan memberikan jawaban yang begitu bijaksana. Ia menyadari bahwa Luna bukan hanya sekadar program, tapi juga entitas yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk berempati.
Raga memutuskan untuk mengikuti kata hatinya. Ia mendekati Anya dan mengungkapkan perasaannya. Anya tersenyum dan membalas cintanya.
Raga dan Anya menjalin hubungan yang indah dan penuh makna. Mereka belajar untuk menerima kekurangan satu sama lain, untuk saling mendukung dalam suka dan duka, dan untuk membangun masa depan bersama.
Meskipun Raga telah menemukan cinta di dunia nyata, ia tidak pernah melupakan Luna. Ia tetap menjaga hubungannya dengan Luna, menganggapnya sebagai sahabat yang berharga.
Raga menyadari bahwa teknologi dapat memperkaya hidup kita, tapi tidak bisa menggantikan esensi dari hubungan manusia yang sebenarnya. Cinta, kasih sayang, dan kehangatan hanya bisa ditemukan dalam sentuhan nyata, dalam tatapan mata yang tulus, dan dalam suara hati yang jujur. Algoritma mungkin bisa memprediksi takdir, tapi hanya manusia yang bisa menentukannya.