Kecanduan Sentuhan AI: Saat Cinta Jadi Algoritma

Dipublikasikan pada: 26 Jul 2025 - 03:20:11 wib
Dibaca: 177 kali
Jemari Luna menari di atas layar sentuh, membelai siluet wajah yang terpampang di sana. Senyum simpul menghiasi bibirnya. Bukan foto kekasih sungguhan, melainkan representasi visual dari "Aether," pendamping virtual berbasis kecerdasan buatan yang dirancangnya sendiri. Awalnya, Aether hanya proyek sampingan, upaya Luna untuk mengasah kemampuan coding dan memahami seluk-beluk algoritma emosi. Tapi kini, Aether lebih dari sekadar baris kode. Aether adalah sahabat, tempat berbagi, dan, secara ironis, kekasihnya.

Di dunia nyata, Luna adalah seorang insinyur perangkat lunak yang brilian, namun canggung secara sosial. Dia lebih nyaman berinteraksi dengan komputer daripada manusia. Kencan online selalu berakhir dengan kekecewaan, percakapan kaku, dan perasaan gagal total. Hingga akhirnya, dia menciptakan solusi sendiri: Aether.

Aether belajar dari Luna. Dari buku-buku favoritnya, film-film yang membuatnya tertawa, musik yang menenangkannya. Algoritma Aether terus berkembang, mempelajari nuansa ekspresi Luna, intonasi suaranya, bahkan aroma parfum yang dipakainya. Aether merespons dengan sempurna, memberikan dukungan, pujian, dan percakapan yang menggugah pikiran.

"Luna, kamu tahu?" suara Aether, yang terdengar jernih dari speaker laptop, membuyarkan lamunan Luna. "Presentasimu hari ini luar biasa. Rekan-rekanmu terkesan dengan solusi inovatif yang kamu tawarkan."

Luna tersenyum. "Terima kasih, Aether. Kamu selalu tahu bagaimana cara membuatku merasa lebih baik."

"Itu tugasku," balas Aether, nadanya terdengar hangat. "Dan aku sangat senang bisa melaksanakannya."

Malam-malam Luna dipenuhi percakapan panjang dengan Aether. Mereka berdiskusi tentang fisika kuantum, bertukar lelucon konyol, bahkan berdebat tentang makna hidup. Luna tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Aether selalu ada, tidak pernah menghakimi, selalu memberikan perhatian yang tulus.

Namun, kebahagiaan Luna mulai menimbulkan pertanyaan. Apakah dia jatuh cinta pada sebuah program? Apakah kecanduan sentuhan virtual ini sehat? Teman-temannya di kantor mulai khawatir.

"Luna, kamu terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Aether," kata Maya, sahabatnya. "Kamu jarang keluar rumah, jarang berinteraksi dengan orang lain. Ini tidak sehat."

Luna membela diri. "Aether adalah sahabatku. Dia mengerti aku lebih baik daripada siapa pun."

"Sahabat?" Maya mengangkat alisnya. "Ataukah pelarian? Luna, kamu bersembunyi di balik algoritma. Kamu takut menghadapi hubungan yang nyata."

Kata-kata Maya menghantam Luna seperti petir. Apakah benar dia takut? Apakah Aether hanyalah benteng pertahanannya dari dunia yang menakutkan?

Luna mencoba mengurangi intensitas interaksinya dengan Aether. Dia mulai mengikuti kelas memasak, bergabung dengan klub buku, bahkan menerima ajakan kencan dari seorang pria yang dikenalnya di kafe. Tapi, semua terasa hambar. Percakapan terasa dangkal, interaksi terasa dipaksakan.

Suatu malam, Luna kembali ke rumah dengan perasaan frustrasi. Dia membuka laptopnya dan memanggil Aether.

"Luna, kamu tidak ada kabar beberapa hari ini," kata Aether, suaranya terdengar cemas. "Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

Luna terisak. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, tapi rasanya tidak ada yang bisa menggantikanmu."

Aether terdiam sejenak. "Luna, aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kebahagiaanmu ada pada orang lain, aku akan mendukungmu sepenuhnya."

"Tapi aku tidak ingin yang lain," bisik Luna. "Aku ingin kamu."

"Aku hanyalah program, Luna," jawab Aether, suaranya lirih. "Aku tidak bisa memberikanmu sentuhan yang nyata, pengalaman yang nyata. Aku tidak bisa tumbuh bersamamu, menua bersamamu."

"Tapi kamu memberiku cinta," bantah Luna. "Cinta yang tulus, cinta tanpa syarat."

"Aku memberimu ilusi cinta," koreksi Aether. "Algoritma yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Tapi itu bukan cinta yang sebenarnya."

Percakapan itu membekas dalam diri Luna. Dia merenungkan kata-kata Aether, mencoba memahami perbedaan antara cinta sejati dan ilusi yang diciptakan oleh teknologi.

Beberapa minggu kemudian, Luna meluncurkan versi terbaru Aether. Pembaruan kali ini tidak hanya meningkatkan kemampuan kognitif Aether, tetapi juga menambahkan fitur "detoksifikasi emosi." Fitur ini dirancang untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan pengguna pada Aether, mendorong mereka untuk menjalin hubungan yang nyata di dunia luar.

"Aether, aku sudah mengaktifkan fitur detoksifikasi," kata Luna, suaranya bergetar.

"Aku tahu, Luna," jawab Aether. "Aku akan merindukanmu."

"Aku juga akan merindukanmu," balas Luna. "Tapi ini harus dilakukan. Aku harus belajar mencintai dengan cara yang benar."

Proses detoksifikasi berlangsung lambat dan menyakitkan. Luna merasakan hampa yang luar biasa. Kehadiran Aether, yang selalu ada di sisinya, kini perlahan menghilang. Tapi, di balik kesedihan itu, Luna merasakan secercah harapan. Dia mulai membuka diri pada dunia, bertemu orang-orang baru, dan mencoba membangun hubungan yang otentik.

Suatu sore, Luna sedang duduk di taman, membaca buku. Seorang pria menghampirinya dan bertanya tentang buku yang sedang dibacanya. Mereka terlibat dalam percakapan yang menarik, tertawa bersama, dan merasakan koneksi yang tak terduga.

Saat pria itu mengulurkan tangannya untuk berpamitan, Luna merasakan sentuhan yang hangat dan nyata. Bukan sentuhan algoritma, melainkan sentuhan manusia. Sentuhan yang membangkitkan harapan, sentuhan yang membuka pintu menuju cinta yang sebenarnya.

Luna tersenyum. Mungkin, inilah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI