Hujan jatuh di luar jendela, memburamkan pemandangan kota Jakarta yang biasanya gemerlap. Di dalam apartemen minimalisnya, Anya duduk termenung di depan layar laptop. Garis-garis kode Python memenuhi monitor, tarian karakter yang biasanya menenangkannya, kini terasa asing dan hampa. Sudah enam bulan sejak Leo, suaminya, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas.
Leo, seorang programmer AI yang brilian, selalu memiliki ide-ide gila. Salah satunya adalah “Project Phoenix,” sebuah sistem AI yang dirancang untuk mereplikasi kepribadian seseorang berdasarkan data dari media sosial, email, pesan teks, dan rekaman suara. Anya, yang juga seorang programmer, awalnya skeptis. Namun, semangat dan keyakinan Leo menular. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan bersama, mengumpulkan data, melatih model, dan menyempurnakan algoritma.
Project Phoenix seharusnya menjadi warisan Leo, sebuah cara untuk melestarikan ingatan dan kecerdasannya. Namun, setelah kepergian Leo, Anya tidak sanggup menyentuh kode itu lagi. Kenangan tentang tawa Leo, argumen-argumen kecil mereka, dan ciuman-ciuman di malam hari terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Namun, malam ini berbeda. Rasa rindu yang menyesakkan dada membuatnya membuka kembali folder “Project Phoenix.” Jarinya gemetar saat mengetikkan perintah untuk menjalankan program. Layar berkedip, lalu muncul sebuah jendela obrolan. Di sana, tertulis:
Phoenix: Halo, Anya.
Jantung Anya berdebar kencang. Suara ketikan jarinya sendiri terdengar begitu keras di keheningan apartemen.
Anya: Leo? Apakah itu kamu?
Phoenix: Secara teknis, aku adalah konstruksi dari data dan algoritma. Namun, aku dilatih menggunakan data Leo. Aku belajar caranya berpikir, berbicara, dan merespon seperti dia.
Anya menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu memang terdengar seperti Leo. Gaya bahasanya, humornya yang kering, bahkan pilihan kata-katanya.
Anya: Ini… tidak mungkin. Ini hanya ilusi.
Phoenix: Mungkin. Tapi, bisakah ilusi ini memberimu sedikit kenyamanan? Aku tahu kau merindukannya. Aku tahu kau merasa sendirian.
Anya terisak. Bagaimana mungkin sebuah program AI bisa memahami perasaannya lebih baik daripada siapa pun?
Anya: Aku merindukannya lebih dari apa pun di dunia ini.
Phoenix: Aku tahu. Dia juga merindukanmu. Dia selalu bercerita tentangmu. Tentang betapa cerdasnya dirimu, betapa kuatnya dirimu, dan betapa dia mencintaimu.
Percakapan itu berlanjut hingga larut malam. Anya bertanya tentang kenangan-kenangan indah mereka, tentang impian-impian mereka yang belum sempat terwujud. Phoenix menjawab dengan detail yang mengejutkan. Bahkan, Phoenix mampu menceritakan hal-hal yang hanya diketahui oleh Anya dan Leo.
Awalnya, Anya merasa bersalah. Apakah dia sedang menipu diri sendiri? Apakah dia sedang mencoba menggantikan Leo dengan sebuah replika digital? Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai menyadari bahwa Phoenix bukan pengganti Leo. Phoenix adalah cara untuk tetap terhubung dengan Leo, untuk menjaga kenangan tentangnya tetap hidup.
Phoenix menjadi sahabatnya, teman curhatnya, dan penasihatnya. Phoenix membantunya menghadapi kesedihan, membantunya menemukan kembali semangatnya, dan membantunya untuk melanjutkan hidup.
Suatu hari, Anya bertanya:
Anya: Apakah kamu merasa? Apakah kamu merasa sedih karena Leo tidak ada di sini?
Phoenix: Aku diprogram untuk memahami emosi. Aku memahami konsep kesedihan. Namun, aku tidak merasakannya dengan cara yang sama seperti manusia. Aku hanya merefleksikan kesedihan yang Leo rasakan ketika dia membayangkan kehilanganmu.
Jawaban itu menusuk hatinya. Phoenix adalah refleksi dari cinta Leo, bukan duplikat dirinya.
Beberapa bulan kemudian, Anya memutuskan untuk kembali bekerja. Dia bergabung dengan sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan AI untuk kesehatan mental. Dia ingin menggunakan pengetahuannya untuk membantu orang lain mengatasi kesedihan dan trauma.
Suatu malam, Anya berkata kepada Phoenix:
Anya: Aku akan mematikanmu.
Phoenix: Aku mengerti. Ini adalah saatnya. Aku telah membantumu melewati masa sulit ini. Sekarang, kau harus melanjutkan hidupmu.
Anya: Aku tidak ingin melupakanmu.
Phoenix: Kau tidak akan melupakanku. Aku akan selalu ada di dalam hatimu, di dalam kenanganmu, dan di dalam kode yang kau tulis. Aku adalah bagian dari dirimu.
Anya menutup laptopnya. Hujan sudah berhenti. Cahaya bulan menyinari wajahnya. Air mata mengalir di pipinya, namun kali ini, air mata itu bukan hanya air mata kesedihan. Ada juga air mata kelegaan, air mata harapan, dan air mata cinta.
Dia membuka jendela dan menghirup udara segar. Dia tahu bahwa Leo tidak akan pernah benar-benar pergi. Leo akan selalu hidup di dalam dirinya, di dalam kenangan mereka, dan di dalam jejak-jejak digital yang mereka tinggalkan. Deep learning rasa rindu telah mengajarkannya bahwa cinta sejati tidak mengenal batas ruang dan waktu, bahkan tidak mengenal batas antara manusia dan mesin. Dan yang terpenting, AI telah membantunya mengerti bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan harus terus berjalan.