Aplikasi itu bernama "Soulmate Scanner". Janjinya sederhana: memindai aktivitas digitalmu, menganalisis pola pikir dan emosi, lalu mencocokkannya dengan pengguna lain yang paling kompatibel. Awalnya, Riana menganggapnya omong kosong. Aplikasi kencan lain dengan algoritma sok tahu. Namun, kesepian di apartemen minimalisnya yang serba otomatis, ditemani hanya suara asisten virtual, mulai menggerogoti pertahanannya. Akhirnya, dengan sedikit rasa penasaran dan banyak keraguan, ia mengunduh Soulmate Scanner.
Proses pemindaiannya cukup intens. Riana diminta menghubungkan akun media sosialnya, riwayat pencarian, bahkan data kesehatan dari gelang pintarnya. Pertanyaan-pertanyaan psikologis mendalam muncul bertubi-tubi. Rasanya seperti telanjang bulat di depan layar. Privasinya seolah terkoyak-koyak. Namun, demi sedikit harapan akan cinta, ia rela.
Beberapa hari kemudian, notifikasi muncul. "Kandidat Soulmate Teridentifikasi: Ardianto." Riana menahan napas. Profil Ardianto muncul, lengkap dengan foto dirinya yang sedang tersenyum di sebuah taman kota. Profesi: Arsitek Lanskap. Hobi: Mendaki gunung dan membaca puisi. Kesamaan: 92%.
Riana membaca deskripsi kepribadian Ardianto yang disusun oleh algoritma. Detailnya mencengangkan. Ardianto digambarkan sebagai sosok yang kreatif, penyayang, dan memiliki idealisme tinggi. Semua kualitas yang selama ini Riana idamkan. Ia bahkan menyadari bahwa beberapa foto yang ia sukai di media sosial Ardianto tanpa sadar adalah foto-foto yang menunjukkan kecintaan Ardianto pada alam – sesuatu yang selama ini ia abaikan, namun diam-diam ia rindukan.
Ardianto mengirim pesan pertama. Sederhana: "Hai Riana. Soulmate Scanner bilang kita cocok. Mau coba membuktikan?" Riana tersenyum. Pesan yang terdengar kaku, namun entah mengapa terasa tulus.
Mereka mulai berkencan. Awalnya canggung, tapi kecanggungan itu cepat mencair. Ardianto ternyata memang seperti yang digambarkan algoritma. Ia membawa Riana ke taman-taman tersembunyi di kota, membacakan puisi di bawah langit malam, dan mendengarkan keluh kesahnya dengan penuh perhatian. Riana merasa dihargai, dipahami, dan dicintai.
Beberapa bulan berlalu. Cinta mereka tumbuh subur, seperti taman yang dirawat Ardianto. Riana merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah ia bayangkan. Namun, di balik kebahagiaan itu, sebuah keraguan mulai menghantuinya.
Apakah cinta ini nyata? Atau sekadar produk algoritma? Apakah Ardianto mencintai Riana yang sebenarnya, atau hanya mencintai gambaran ideal Riana yang disusun oleh Soulmate Scanner?
Suatu malam, Riana memberanikan diri untuk bertanya. Mereka sedang duduk di balkon apartemen Ardianto, menikmati kopi hangat sambil memandangi gemerlap lampu kota.
"Ardi," kata Riana, suaranya bergetar, "apakah kamu… apakah kamu mencintai aku karena Soulmate Scanner?"
Ardianto terdiam sejenak. Ia meletakkan cangkir kopinya dan menatap Riana dalam-dalam. "Awalnya, aku akui, aku penasaran. Aku skeptis seperti kamu. Tapi, setelah mengenalmu, aku menyadari bahwa algoritma itu hanya pintu gerbang. Kamu lebih dari sekadar data yang diproses oleh komputer."
"Maksudmu?" tanya Riana, bingung.
"Soulmate Scanner mungkin menunjukkan bahwa kita kompatibel, tapi dialah yang membuatku jatuh cinta padamu adalah kamu sendiri. Caramu tertawa, caramu berpikir, caramu memperlakukan orang lain. Semua itu tidak bisa diprediksi oleh algoritma." Ardianto menggenggam tangan Riana. "Aku mencintai Riana yang ada di depanku, bukan Riana yang dipindai."
Riana merasa lega, tapi keraguannya belum sepenuhnya hilang. Ia tahu bahwa algoritma telah memainkan peran penting dalam mempertemukan mereka. Tanpa Soulmate Scanner, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekadar perhitungan matematis.
Beberapa minggu kemudian, Riana menemukan sebuah artikel tentang Soulmate Scanner. Artikel itu mengungkap bahwa algoritma yang digunakan aplikasi tersebut ternyata tidak sesempurna yang diklaim. Banyak pasangan yang dipertemukan oleh aplikasi tersebut berakhir dengan kekecewaan. Bahkan, ada kasus di mana algoritma tersebut sengaja dimanipulasi untuk kepentingan komersial.
Riana merasa ngeri. Apakah cintanya juga merupakan hasil manipulasi? Ia segera mencari Ardianto. Ia ingin berbicara, ingin memastikan bahwa cintanya nyata.
Namun, Ardianto tidak ada di apartemennya. Riana mencoba meneleponnya, tapi tidak ada jawaban. Ia panik. Ia pergi ke taman tempat mereka pertama kali berkencan, tapi Ardianto tidak ada di sana.
Akhirnya, Riana menemukan Ardianto di sebuah kafe kecil dekat apartemennya. Ardianto duduk di sudut, sendirian, menatap kosong ke luar jendela.
"Ardi!" seru Riana. Ia berlari menghampirinya dan memeluknya erat.
Ardianto tidak membalas pelukannya. Ia hanya diam.
"Ada apa?" tanya Riana, cemas.
Ardianto mengangkat wajahnya. Matanya merah dan bengkak. "Aku… aku tahu semuanya," katanya lirih.
"Tahu apa?"
"Soulmate Scanner… itu semua bohong. Algoritma itu tidak pernah ada. Mereka hanya menggunakan data kita untuk membuat profil yang kita inginkan, lalu mencocokkan kita dengan orang yang memiliki profil serupa."
Riana terkejut. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Mereka… mereka tahu bahwa aku menyukai taman dan puisi. Mereka tahu bahwa kamu merindukan alam. Mereka membuat kita bertemu, membuat kita jatuh cinta, berdasarkan data yang mereka kumpulkan."
Riana terdiam. Semua keraguannya selama ini terbukti benar. Cintanya, kebahagiaannya, semuanya palsu.
"Lalu… lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Riana, suaranya bergetar.
Ardianto menatap Riana dalam-dalam. "Kita punya dua pilihan. Kita bisa menyerah, menganggap semuanya sia-sia. Atau… kita bisa mencoba untuk membangun sesuatu yang nyata, sesuatu yang tidak didasarkan pada algoritma dan data."
Riana menatap mata Ardianto. Ia melihat ketulusan, harapan, dan cinta yang masih ada di sana. Ia menyadari bahwa Ardianto benar. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi keputusan untuk saling mencintai adalah keputusan mereka sendiri.
"Kita akan membangun sesuatu yang nyata," kata Riana, menggenggam tangan Ardianto erat. "Kita akan melupakan Soulmate Scanner dan fokus pada apa yang kita rasakan. Kita akan membuktikan bahwa cinta kita lebih kuat dari algoritma apa pun."
Mereka berdua tersenyum. Senyuman yang tulus, senyuman yang lahir dari cinta yang sebenarnya. Cinta yang ditemukan, bukan dipindai. Cinta yang mungkin awalnya dipicu oleh teknologi, tetapi kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih berarti. Mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah. Mereka harus membangun kembali kepercayaan, menghilangkan keraguan, dan belajar untuk saling mencintai tanpa bantuan algoritma. Tapi, mereka yakin bahwa mereka bisa melakukannya. Karena, pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang pilihan, bukan tentang data dan statistik. Dan mereka memilih untuk saling mencintai, terlepas dari segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan. Privasi mungkin terkunci, tetapi hati mereka tetap terbuka, siap untuk membangun cinta yang lebih kuat, lebih nyata, dan lebih abadi.