Algoritma Cinta Terakhir: Restart Hati, Format Kenangan?

Dipublikasikan pada: 21 Nov 2025 - 01:20:15 wib
Dibaca: 123 kali
Udara kafe beraroma kopi dan kenangan. Di sudut ruangan, aku menatap layar laptop yang menampilkan baris demi baris kode. Bukan kode program biasa, melainkan 'Algoritma Cinta Terakhir', proyek iseng yang seharusnya kubuang jauh-jauh. Tujuannya? Mencoba menghapus Maya dari sistem memoriku, meng-restart hati yang telah diprogram untuknya selama lima tahun.

Lima tahun, bukan waktu yang singkat. Lima tahun berisi tawa, air mata, mimpi-mimpi yang dirajut bersama, dan janji-janji yang kini terasa seperti debu. Lima tahun yang berakhir dengan sebuah pesan singkat: "Kita tidak cocok lagi. Maaf."

Maaf. Kata yang terlalu mudah diucapkan, terlalu sulit untuk diterima.

Aku menyesap kopi pahit. Algoritma ini seharusnya bekerja dengan menganalisis seluruh interaksiku dengan Maya: foto, pesan, catatan suara, bahkan unggahan media sosial. Kemudian, algoritma akan mengidentifikasi pola, emosi, dan momen-momen kunci yang memicu keterikatan emosional. Setelah itu, sistem akan secara bertahap menetralkan emosi tersebut, menggantinya dengan data-data netral, bahkan negatif tentang Maya.

Kedengarannya kejam, bukan? Mungkin memang begitu. Tapi aku sudah lelah menangis, lelah meratapi, lelah mencari alasan mengapa dia pergi. Aku ingin melupakan, secepat dan seefisien mungkin.

"Kerjaan lembur lagi, Dan?" Suara berat itu memecah lamunanku. Arya, sahabat sekaligus rekan kerjaku, duduk di depanku dengan senyum prihatin. "Gue udah bilang kan, jangan dipaksain. Move on itu butuh waktu, bukan algoritma."

Aku menghela napas. "Gue tahu, Ary. Tapi gue nggak punya waktu. Ada proyek besar di depan mata, dan gue nggak bisa konsentrasi kalau terus-terusan kepikiran Maya."

Arya menggelengkan kepala. "Lo pikir algoritma itu jaminan? Hati itu bukan program komputer yang bisa di-reboot seenaknya."

"Gue cuma mencoba," balasku, defensif. "Lagipula, ini cuma eksperimen. Kalau nggak berhasil, ya sudah."

Eksperimen yang sebenarnya sudah berjalan selama seminggu. Hasilnya? Awalnya lumayan. Aku merasa lebih tenang, tidak terlalu terpukul setiap melihat foto Maya di media sosial. Algoritma tampaknya berhasil mengurangi intensitas emosi yang kurasakan.

Namun, ada efek samping yang tidak terduga. Aku mulai kesulitan merasakan emosi apa pun. Film komedi terasa hambar, musik sedih tidak lagi menyentuh. Aku merasa seperti robot, berjalan melalui hari-hari tanpa perasaan.

Malam itu, aku kembali melanjutkan 'proyek' algoritma. Setelah beberapa jam berkutat dengan kode, sistem memberikan sebuah rekomendasi: "Hapus seluruh kontak Maya dari perangkat."

Tanpa ragu, aku menuruti perintah itu. Nomor telepon, akun media sosial, semua jejak digital Maya lenyap dari ponselku. Rasanya hampa. Seperti ada bagian dari diriku yang ikut terhapus.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan Lisa, seorang desainer grafis yang bekerja di departemen lain. Kami sering bertukar sapa di kantor, dan aku selalu terkesan dengan senyumnya yang hangat.

"Hai, Dan," sapanya. "Kamu kelihatan pucat. Istirahat yang cukup ya."

"Makasih, Lis," jawabku. Senyumnya memang menenangkan, tapi tidak ada getaran apa pun dalam diriku. Dulu, sebelum 'Algoritma Cinta Terakhir', aku mungkin akan merasa sedikit tertarik padanya. Sekarang, Lisa hanyalah rekan kerja biasa.

Beberapa hari kemudian, saat sedang berjalan menuju parkiran, aku melihat seorang wanita berdiri di dekat mobilku. Rambutnya panjang, matanya indah, dan senyumnya... senyum itu.

Maya.

Jantungku berdebar kencang. Bukan karena cinta, melainkan karena kebingungan. Algoritma seharusnya sudah menetralkan emosiku terhadapnya. Mengapa aku masih merasa seperti ini?

"Dan," panggilnya lembut. "Bisa bicara sebentar?"

Aku mengangguk kaku.

"Aku tahu ini sulit, Dan," ucapnya, suaranya bergetar. "Tapi aku menyesal. Aku sadar, aku membuat kesalahan besar dengan meninggalkanmu."

Aku terdiam. Apa yang harus kukatakan? Algoritma telah menghapus sebagian besar kenangan indah tentang kami. Aku ingat bahwa aku pernah mencintainya, tapi aku tidak lagi merasakan cinta itu.

"Aku..." Aku kesulitan mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak tahu, Maya. Aku..."

Tiba-tiba, sebuah gambar melintas di benakku: kami berdua sedang tertawa di pantai, matahari terbenam menyinari wajah kami. Lalu, gambar lain: kami berdansa di bawah bintang-bintang, musik mengalun lembut di telinga kami. Dan kemudian, gambar yang paling menyakitkan: Maya menangis di pelukanku, menceritakan tentang masa lalunya yang kelam.

Kenangan-kenangan itu datang seperti banjir, menghancurkan pertahanan yang telah kubangun dengan susah payah. Aku ingat semua emosi yang pernah kurasakan: kebahagiaan, kesedihan, harapan, ketakutan. Aku ingat betapa berartinya Maya bagiku.

"Algoritma itu... gagal," gumamku.

Maya menatapku dengan bingung. "Algoritma apa?"

Aku menceritakan semuanya padanya, tentang proyek isengku, tentang usahaku untuk melupakan.

Maya tertawa kecil, air mata berlinang di matanya. "Kamu bodoh, Dan. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dihapus dengan kode."

Dia benar. Cinta itu seperti program yang berakar kuat dalam sistem operasi hati. Kau bisa mencoba menghapusnya, tapi jejaknya akan selalu ada.

"Aku..." Aku meraih tangannya. "Aku juga menyesal, Maya. Aku menyesal mencoba melupakanmu."

Dia membalas genggamanku. "Bisakah kita mencoba lagi, Dan? Bisakah kita me-restart?"

Aku tersenyum. "Mungkin... mungkin kita bisa mencoba. Tapi kali ini, tanpa algoritma."

Malam itu, aku menghapus 'Algoritma Cinta Terakhir' dari laptopku. Program itu tidak berguna. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan oleh kode. Cinta itu liar, tidak terduga, dan kadang-kadang menyakitkan. Tapi cinta juga indah, penuh harapan, dan layak untuk diperjuangkan.

Aku membuka catatan lamaku, mencari baris-baris kode yang pernah kubuat untuk Maya. Bukan kode penghapus, melainkan kode yang diciptakan untuk merayakan cintaku padanya.

Mungkin, daripada menghapus kenangan, aku harus belajar bagaimana mengelola mereka. Mungkin, daripada me-restart hati, aku harus belajar bagaimana mencintai lagi.

Dan mungkin, hanya mungkin, Maya adalah algoritma cinta terakhirku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI