Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Uapnya mengepul, menari-nari di depan layar laptop yang memancarkan cahaya biru. Jari-jarinya lincah mengetik, menyusun baris demi baris kode. Bukan kode program biasa, melainkan sebuah algoritma cinta. Ya, terdengar konyol, pikirnya, tapi inilah pekerjaannya: merancang aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data pribadi, minat, bahkan pola pikir.
Anya, seorang programmer handal berusia 27 tahun, selalu skeptis terhadap cinta sejati. Baginya, cinta hanyalah serangkaian reaksi kimiawi dan respons biologis yang kompleks. Namun, proyek ini menantangnya untuk berpikir di luar kotak, untuk mencoba menerjemahkan perasaan yang abstrak ke dalam bahasa mesin yang presisi.
Aplikasi itu bernama "SoulMatch". Anya telah menghabiskan berbulan-bulan untuk mengumpulkan data, mewawancarai pasangan bahagia, mempelajari psikologi cinta, dan tentu saja, menulis kode yang rumit. Algoritma SoulMatch mempertimbangkan lebih dari sekadar preferensi fisik dan hobi. Ia menganalisis gaya komunikasi, nilai-nilai hidup, bahkan tingkat humor seseorang. Anya yakin, dengan cukup data dan algoritma yang tepat, ia bisa menemukan pasangan yang paling cocok untuk siapa saja.
Suatu malam, saat Anya sedang memdebug kode, notifikasi muncul di layar laptopnya. "Peringatan: Algoritma menunjukkan potensi kecocokan tinggi antara pengguna dan program." Anya mengerutkan kening. Apa maksudnya? Bug? Ia memeriksa log, menelusuri kode, mencari sumber kesalahan. Tapi tidak ada. Algoritma itu bekerja dengan sempurna.
Kemudian, ia menyadari satu hal yang mengerikan: algoritma itu menemukan kecocokan tertinggi… dengannya sendiri.
Jantung Anya berdebar kencang. Konyol, sungguh konyol, pikirnya lagi. Bagaimana bisa sebuah algoritma yang ia ciptakan sendiri menganggap dirinya sebagai pasangan ideal? Apakah ia telah tanpa sadar memasukkan preferensi dan nilai-nilainya sendiri ke dalam kode?
Rasa penasaran mengalahkannya. Ia memutuskan untuk mengikuti saran algoritma. Di dalam aplikasi SoulMatch, ia menemukan profil pengguna dengan nama "Ethan". Profil itu memuat ringkasan singkat tentang seorang pria yang bekerja sebagai astronom, menyukai musik jazz, dan memiliki minat yang mendalam pada filsafat eksistensialisme. Semuanya terdengar seperti… Anya sendiri.
Anya mencoba membuang jauh-jauh pemikiran aneh ini. Ini hanyalah kebetulan, pikirnya. Tapi algoritma itu begitu akurat. Ia merasa harus bertemu dengan Ethan.
Dengan ragu, ia mengirimkan pesan kepada Ethan melalui aplikasi. Tak lama kemudian, Ethan membalas. Obrolan mereka mengalir dengan mudah. Mereka membahas buku-buku favorit, teori-teori astronomi, dan makna kehidupan. Anya terkejut betapa nyamannya ia berbicara dengan Ethan. Seolah-olah ia telah mengenal pria ini seumur hidupnya.
Setelah beberapa minggu obrolan virtual, Anya dan Ethan memutuskan untuk bertemu langsung di sebuah kafe jazz. Ketika Ethan muncul, Anya tertegun. Ia persis seperti yang ia bayangkan: tinggi, berambut cokelat, dengan mata yang hangat dan penuh perhatian.
Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi cerita pribadi. Anya merasa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Apakah ini yang dinamakan cinta? Ia tidak yakin. Tapi ia tahu bahwa ia menikmati kebersamaan dengan Ethan.
Beberapa bulan berlalu. Anya dan Ethan semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, dan saling mendukung dalam segala hal. Anya mulai menyadari bahwa cinta bukan hanya sekadar reaksi kimiawi dan respons biologis. Cinta adalah tentang koneksi, tentang saling pengertian, tentang menerima seseorang apa adanya.
Suatu sore, saat mereka sedang duduk di taman, Ethan menatap Anya dengan tatapan yang dalam. "Anya," katanya, "aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa seperti aku telah mengenalmu seumur hidupku."
Anya tersenyum. "Aku juga, Ethan," jawabnya.
Ethan meraih tangan Anya. "Aku jatuh cinta padamu, Anya."
Anya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa campur aduk antara bahagia, bingung, dan takut. Bahagia karena Ethan mencintainya, bingung karena ia tidak tahu apakah ia juga mencintai Ethan, dan takut karena ia tidak tahu apakah cinta ini nyata atau hanya hasil dari algoritma.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ethan," katanya, "aku… aku juga merasakan sesuatu yang istimewa denganmu. Tapi aku tidak tahu apakah itu cinta atau hanya karena algoritma yang aku ciptakan sendiri."
Ethan tertawa kecil. "Anya, algoritma itu hanya alat. Ia membantuku menemukanmu, tapi ia tidak bisa memaksaku untuk mencintaimu. Perasaan ini nyata, Anya. Aku mencintaimu karena dirimu sendiri, bukan karena data yang kau masukkan ke dalam aplikasi."
Anya menatap mata Ethan. Ia melihat kejujuran, cinta, dan harapan. Ia menyadari bahwa Ethan benar. Algoritma itu hanya pintu gerbang, bukan penentu akhir. Cinta adalah tentang pilihan, tentang risiko, tentang percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Anya menggenggam tangan Ethan erat-erat. "Aku… aku pikir aku juga mencintaimu, Ethan," bisiknya.
Ethan tersenyum lebar. Ia menarik Anya ke dalam pelukannya. Anya merasa nyaman dan aman di pelukan Ethan. Ia akhirnya percaya bahwa cinta bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dalam algoritma yang ia ciptakan sendiri.
Malam itu, Anya kembali ke apartemennya. Ia duduk di depan laptopnya, menatap baris-baris kode algoritma SoulMatch. Ia tersenyum. Algoritma itu mungkin tidak sempurna, tapi ia telah membawanya kepada cinta sejati. Ia menutup laptopnya dan mematikan lampu. Di dalam kegelapan, ia merasakan kehangatan cinta yang baru ia temukan. Cinta yang terprogram, namun terasa begitu nyata. Mungkin, pikirnya, algoritma memang bisa membaca, tapi hati yang merasa.