Jemari Luna menari di atas keyboard, mencipta simfoni kode yang rumit. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang kontras dengan kegelapan kamarnya. Dia adalah seorang programmer jenius, ahli dalam bidang kecerdasan buatan (AI). Namun, malam ini, ia tidak sedang menciptakan algoritma baru untuk mendiagnosis penyakit atau memprediksi cuaca. Ia sedang membangun sesuatu yang jauh lebih personal: sebuah firewall emosi.
"Logika. Rasionalitas. Penghapusan bias," gumam Luna, membaca baris demi baris kode yang baru saja ia ketik. Inti dari firewall ini adalah untuk melindunginya dari rasa sakit hati, dari kekecewaan cinta, dari segala emosi negatif yang bisa mengganggu fokus dan produktivitasnya. Sebuah perisai digital untuk melindungi hatinya yang rapuh.
Beberapa bulan yang lalu, Luna mengalami patah hati yang dahsyat. Hubungannya dengan Adrian, seorang arsitek tampan yang sangat ia cintai, kandas di tengah jalan. Adrian mengatakan bahwa Luna terlalu fokus pada pekerjaannya, terlalu dingin, terlalu logis. Katanya, ia merindukan kehangatan dan spontanitas. Kata-kata itu menghantam Luna bagai palu godam, menghancurkan kepercayaan dirinya dan meninggalkan luka yang menganga.
Sejak saat itu, Luna bertekad untuk tidak lagi membiarkan emosi mengendalikan hidupnya. Ia ingin menjadi manusia yang rasional, efisien, dan tidak terpengaruh oleh drama percintaan. Maka, firewall emosi ini lahir sebagai solusi.
Firewall ini bekerja dengan cara memantau interaksi sosial Luna, baik secara daring maupun luring. Jika mendeteksi potensi ancaman emosional, seperti seseorang yang menunjukkan ketertarikan romantis atau situasi yang berpotensi menimbulkan kesedihan, firewall akan secara otomatis mengaktifkan protokol perlindungan. Protokol ini mencakup berbagai tindakan, mulai dari menetralkan ekspresi wajah, membatasi kontak mata, hingga mengeluarkan respons standar yang dirancang untuk menjaga jarak.
Awalnya, Luna merasa aneh dan tidak nyaman. Berinteraksi dengan orang lain terasa seperti sedang mengendalikan robot. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa. Ia merasa lebih tenang, lebih fokus, dan lebih produktif. Ia berhasil menyelesaikan proyek-proyek besar dengan gemilang dan mendapatkan pengakuan dari rekan-rekan kerjanya.
Suatu hari, Luna bertemu dengan Kai, seorang insinyur robotika yang baru bergabung dengan perusahaannya. Kai adalah sosok yang cerdas, humoris, dan penuh perhatian. Ia selalu menyempatkan diri untuk membantu Luna mengatasi masalah teknis, mengajak Luna makan siang, dan mendengarkan keluh kesahnya dengan sabar.
Firewall emosi Luna langsung mendeteksi potensi ancaman. Sistem peringatan berbunyi nyaring di benaknya. Protokol perlindungan aktif. Luna berusaha menjaga jarak, mengeluarkan respons standar, dan menghindari kontak mata dengan Kai. Namun, ada sesuatu pada Kai yang membuatnya sulit untuk tetap dingin.
Meskipun Luna berusaha keras untuk menekan perasaannya, ia mulai menyadari bahwa Kai berhasil menembus lapisan demi lapisan perlindungan yang ia ciptakan. Kai melihat lebih dalam dari sekadar kode dan algoritma. Ia melihat Luna yang sebenarnya, seorang wanita yang rapuh, kesepian, dan merindukan kehangatan.
Suatu sore, setelah bekerja lembur, Kai mengajak Luna untuk minum kopi. Luna ragu-ragu. Firewall emosinya berteriak untuk menolak. Namun, ada bagian dari dirinya yang ingin menerima tawaran itu. Akhirnya, ia mengangguk.
Di kedai kopi yang remang-remang, Kai bercerita tentang impiannya untuk menciptakan robot pendamping yang mampu memberikan cinta dan dukungan tanpa syarat. Luna terkejut. Ia menyadari bahwa Kai memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan emosional manusia, sesuatu yang selama ini ia abaikan.
"Kamu tahu, Luna," kata Kai, menatap Luna dengan tatapan yang tulus. "Aku percaya bahwa emosi adalah bagian penting dari diri kita. Tanpa emosi, kita hanyalah mesin."
Kata-kata Kai menohok Luna. Ia menyadari bahwa firewall emosinya telah membuatnya menjadi seperti robot, kehilangan kemampuan untuk merasakan kebahagiaan, kesedihan, dan cinta. Ia telah mengorbankan kemanusiaannya demi menghindari rasa sakit.
Luna menunduk, merasa malu. "Aku... aku membangun firewall ini untuk melindungi diriku," bisiknya. "Aku tidak ingin terluka lagi."
Kai meraih tangan Luna dan menggenggamnya dengan lembut. "Aku mengerti," katanya. "Tapi hidup tidak selalu tentang menghindari rasa sakit. Kadang-kadang, kita harus berani membuka hati kita, meskipun itu berarti mengambil risiko untuk terluka."
Air mata mulai mengalir di pipi Luna. Ia merasa seperti ada beban berat yang terangkat dari dadanya. Ia menatap Kai, dan untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan yang terpancar dari matanya.
"Bisakah... bisakah aku mematikan firewall ini?" tanya Luna, dengan suara bergetar.
Kai tersenyum. "Itu pilihanmu, Luna," jawabnya. "Tapi aku akan selalu ada di sini, di sisimu, apa pun yang terjadi."
Luna menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa mematikan firewall emosi berarti membuka diri untuk kemungkinan terluka lagi. Tapi ia juga tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk benar-benar hidup dan merasakan cinta.
Dengan tangan gemetar, Luna membuka laptopnya dan mulai menonaktifkan kode firewall emosinya. Setiap baris kode yang dihapus terasa seperti melepaskan belenggu yang selama ini mengikat hatinya.
Saat firewall emosi benar-benar dinonaktifkan, Luna merasakan ledakan emosi yang dahsyat. Ia merasa bahagia, takut, cemas, dan bersemangat sekaligus. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu bahwa ia siap untuk menghadapinya bersama Kai.
"Terima kasih, Kai," kata Luna, dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.
Kai tersenyum dan mendekat, lalu memeluk Luna dengan erat. "Tidak perlu berterima kasih," bisiknya. "Aku senang bisa membantumu menemukan kembali hatimu."
Di bawah cahaya remang-remang kedai kopi, Luna dan Kai berpelukan, membiarkan emosi mereka mengalir dengan bebas. Luna akhirnya menyadari bahwa cinta tidak selalu tentang logika dan rasionalitas. Kadang-kadang, cinta adalah tentang keberanian untuk membuka hati dan menerima risiko. Dan ia siap untuk mengambil risiko itu.