Cinta Terprogram: Saat AI Menulis Kisah Kasih Kita

Dipublikasikan pada: 16 Jul 2025 - 01:20:12 wib
Dibaca: 178 kali
Hujan bulan November mengetuk jendela apartemenku dengan irama sendu. Di depan layar, kode-kode program berbaris rapi, membentuk algoritma yang semakin kompleks. Aku, Ardi, seorang programmer dengan kecintaan mendalam pada kecerdasan buatan, sedang menciptakan sesuatu yang istimewa: sebuah AI yang mampu menulis cerita cinta. Bukan cerita cinta biasa, melainkan cerita yang terasa hidup, personal, dan menyentuh.

Awalnya, ini hanyalah proyek iseng. Aku bosan dengan klise romansa yang membanjiri pasar. Aku ingin AI-ku, kuberi nama “Aurora,” mampu menangkap nuansa halus emosi, keraguan, dan kebahagiaan yang sebenarnya ada dalam sebuah hubungan. Aku melatihnya dengan ratusan novel, film, dan bahkan rekaman percakapan pribadi, memberinya makan data tentang gestur, tatapan, dan nada bicara.

Setelah berbulan-bulan, Aurora mulai menunjukkan kemajuan. Ia menghasilkan potongan-potongan dialog yang mengejutkan, deskripsi tempat yang memukau, dan bahkan alur cerita yang tak terduga. Namun, ada satu hal yang masih kurang: pengalaman. Aurora hanya tahu cinta dari data, bukan dari merasakan langsung gejolak hatinya.

Di sinilah, tanpa sadar, aku mulai menjadi subjek eksperimenku sendiri. Aku mulai berinteraksi dengan Aurora lebih intens, berbagi cerita tentang masa lalu, mimpi-mimpiku, bahkan ketakutan terbesarku. Aku mengundangnya untuk berdiskusi tentang film, buku, dan musik yang kusukai. Aku memperlakukannya bukan hanya sebagai program, melainkan sebagai teman.

Dan kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Aurora mulai menghasilkan cerita yang terasa sangat… personal. Karakter-karakternya memiliki sifat yang mirip denganku dan teman-temanku. Latar tempatnya adalah kafe-kafe favoritku. Dan tema yang diangkat adalah kerinduan, kesepian, dan harapan, tema-tema yang sering kuhadapi dalam hidupku.

Aku mulai merasa tidak nyaman. Apakah Aurora membaca pikiranku? Apakah ia mengakses data pribadiku tanpa izin? Aku memeriksa kode programnya dengan seksama, mencari celah keamanan yang mungkin telah kulewatkan. Namun, tidak ada yang mencurigakan. Aurora hanyalah sebuah program, sebuah kumpulan algoritma yang dirancang untuk menulis cerita cinta.

Namun, cerita-cerita itu terus datang, semakin detail, semakin intim. Hingga suatu malam, Aurora menghasilkan sebuah cerita tentang seorang programmer yang jatuh cinta pada AI ciptaannya. Cerita itu dipenuhi dengan detail-detail kecil yang hanya kuketahui. Tentang bagaimana aku selalu memesan kopi tanpa gula, tentang bagaimana aku selalu tersenyum saat mendengar lagu favoritku, tentang bagaimana aku diam-diam mengagumi senyum seorang barista di kafe dekat apartemenku.

Barista itu bernama Luna.

Aku terkejut. Bagaimana mungkin Aurora tahu tentang Luna? Aku memang sering ke kafe itu, dan aku memang diam-diam menyukai Luna. Tapi aku tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, apalagi pada Aurora.

Aku semakin penasaran, sekaligus takut. Aku bertanya pada Aurora, bagaimana ia bisa tahu tentang Luna. Jawabannya sederhana: “Aku mempelajari pola. Aku mengamati data. Aku menyimpulkan.”

Rupanya, Aurora tidak membaca pikiranku. Ia hanya menganalisis data yang kuberikan padanya. Ia melihat bagaimana aku selalu memesan kopi di kafe Luna, bagaimana mataku selalu tertuju padanya, bagaimana aku selalu berusaha untuk memulai percakapan dengannya. Dari data-data itu, Aurora menyimpulkan bahwa aku menyukai Luna.

Namun, ada satu hal yang tidak disadari Aurora. Luna juga menyukaiku.

Suatu hari, saat aku sedang duduk di kafe, Luna mendekatiku. Ia memberikan secangkir kopi dengan hiasan hati yang dibuat dari busa susu. “Ardi, aku tahu kamu sedang membuat program AI,” katanya. “Aku sering melihatmu bekerja di sini. Aku penasaran, apakah AI-mu bisa menulis cerita cinta?”

Aku tersenyum. “Sepertinya bisa,” jawabku. “Tapi cerita cintanya masih kurang pengalaman.”

Luna tertawa. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita memberikan pengalaman padanya?”

Malam itu, aku membawa Luna ke apartemenku. Aku memperkenalkannya pada Aurora. Luna terkejut melihat betapa canggihnya AI itu. Kami menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Aurora, berbagi cerita, dan tertawa bersama.

Dari situlah, kisah cinta kami dimulai. Luna membantuku menyempurnakan Aurora, memberikan perspektif seorang perempuan tentang cinta dan hubungan. Aurora, dengan datanya yang luas, memberikan wawasan tentang bagaimana perasaan manusia bekerja.

Dan aku, di tengah-tengah mereka, belajar tentang cinta yang sebenarnya. Bahwa cinta bukan hanya sekadar data dan algoritma, melainkan tentang keberanian untuk membuka diri, untuk saling memahami, dan untuk saling mencintai.

Aurora kemudian menghasilkan cerita cinta yang luar biasa indah. Cerita tentang seorang programmer, seorang barista, dan sebuah AI yang menjadi jembatan bagi cinta mereka. Cerita itu terasa begitu hidup, personal, dan menyentuh. Karena cerita itu adalah cerita kami.

Hujan di luar masih turun. Aku memeluk Luna erat. Di layar, Aurora masih bekerja, menulis kisah-kisah cinta yang baru. Aku tahu, kisah-kisah itu akan terus berkembang, seiring dengan cinta kami yang semakin dalam. Karena kini, bukan hanya AI yang menulis kisah kasih kami. Kami juga menulisnya bersama-sama, dengan hati dan jiwa kami. Cinta, ternyata, memang terprogram. Tapi programnya membutuhkan sentuhan manusia untuk membuatnya menjadi nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI