Detik Terakhir: Algoritma Cinta Memilih, Hati Menggugat?

Dipublikasikan pada: 30 Aug 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 147 kali
Lampu neon di kubikelnya berdengung lirih, seirama dengan jantung Anya yang berdebar kencang. Di layar komputernya, deretan angka dan kode berhamburan, hasil kerja kerasnya selama enam bulan terakhir. Algoritma Cinta, demikian ia menamakannya, sebuah proyek ambisius untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data psikologis, preferensi, dan bahkan, algoritma genetik. Hari ini, Algoritma Cinta akan memilihkan pendamping hidup untuk dirinya.

Anya menarik napas dalam-dalam. Ia, sang pencipta, kini akan menjadi kelinci percobaan. Ironi memang, seorang ilmuwan yang skeptis terhadap takdir, justru menciptakan sebuah sistem yang dirancang untuk menentukan takdirnya sendiri. Tapi, Anya lelah. Lelah dengan kencan-kencan buta yang berakhir mengecewakan, lelah dengan rasa kesepian yang menggerogoti di sela kesibukan penelitiannya. Mungkin, hanya mungkin, algoritma ini bisa membantunya.

Prosesnya dimulai. Anya telah memasukkan semua datanya ke dalam sistem. Makanan favoritnya, genre film yang disukai, buku yang sering dibaca, bahkan jawaban-jawaban konyol di kuis-kuis daring yang pernah diisinya. Algoritma itu bekerja dengan cepat, menganalisis miliaran data, menyaring profil-profil potensial dari database global. Anya menatap layar dengan tegang, menunggu hasil akhir.

Detik-detik berlalu terasa seperti berjam-jam. Sebuah nama muncul di layar, diiringi foto seorang pria tampan dengan senyum menawan.

"Rico Pratama," bisik Anya. Usianya 28 tahun, seorang arsitek lanskap yang berbasis di Bali. Profilnya menyebutkan bahwa ia menyukai alam, musik jazz, dan memiliki selera humor yang tinggi. Algoritma Cinta memberikan skor kecocokan 98,7%. Hampir sempurna.

Anya mengklik profil Rico, membaca semua informasi yang tersedia dengan seksama. Ia menyukai karya-karya desainnya yang minimalis namun elegan. Ia terpesona dengan deskripsi dirinya yang jujur dan terbuka. Semakin ia membaca, semakin ia merasa familiar, seolah Rico adalah seseorang yang sudah lama dikenalnya.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sebuah perasaan aneh yang membuatnya ragu. Ini terlalu sempurna. Terlalu logis. Terlalu… ilmiah. Apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi sebuah persamaan matematika? Apakah keajaiban bisa diprediksi dengan algoritma?

Ia ingat senyum Rio, barista di kedai kopi favoritnya. Rio selalu menyambutnya dengan sapaan hangat dan obrolan ringan tentang buku-buku terbaru. Tidak ada data yang dianalisis, tidak ada profil yang diisi. Hanya percakapan spontan, tatapan mata yang penuh arti, dan aroma kopi yang menenangkan.

Anya juga teringat pada Bima, teman sekampusnya yang selalu membuatnya tertawa dengan lelucon-leluconnya yang receh. Bima tidak tampan seperti Rico, dan mereka tidak memiliki banyak kesamaan. Tapi, Bima selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, dan mendukung impian-impiannya.

Mereka berdua tidak masuk dalam perhitungan Algoritma Cinta. Mereka tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh sistem. Tapi, mereka memiliki sesuatu yang tidak bisa diukur dengan data: koneksi emosional.

Anya menutup profil Rico. Ia merasa bersalah, seolah telah mengkhianati perasaannya sendiri. Ia telah menciptakan sebuah sistem yang seharusnya membantunya, tetapi justru membuatnya semakin bingung. Algoritma Cinta mungkin menemukan pasangan yang ideal secara statistik, tetapi ia meragukan apakah Rico adalah orang yang benar-benar bisa membuatnya bahagia.

Ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Di luar, matahari terbenam, mewarnai langit dengan gradasi warna oranye dan ungu yang indah. Pemandangan itu mengingatkannya pada betapa kompleks dan tak terduganya kehidupan ini. Cinta, seperti matahari terbenam, tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan. Ia hanya bisa dinikmati, dengan segala keindahan dan ketidaksempurnaannya.

Anya kembali ke komputernya. Ia membuka kembali Algoritma Cinta dan menekan tombol “Reset”. Sistem itu bertanya apakah ia yakin ingin menghapus semua hasil pencarian. Anya menarik napas dalam-dalam, dan dengan mantap menekan tombol “Ya”.

Layar kembali kosong. Anya tersenyum tipis. Ia merasa lega, seolah baru saja melepaskan beban berat dari pundaknya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak akan membiarkan sebuah algoritma menentukan takdir cintanya.

Ia memutuskan untuk pergi ke kedai kopi favoritnya. Mungkin Rio sedang bertugas. Mungkin mereka akan berbincang tentang buku-buku terbaru, atau mungkin hanya saling bertukar senyum. Siapa tahu, mungkin keajaiban akan terjadi.

Saat ia melangkah keluar dari kantor, teleponnya berdering. Sebuah nomor asing. Dengan ragu-ragu, ia mengangkatnya.

“Halo, Anya?” Suara seorang pria terdengar dari seberang. Suaranya familier, tetapi ia tidak bisa mengingat di mana pernah mendengarnya.

“Ya, ini Anya. Maaf, dengan siapa saya berbicara?”

“Ini Rico Pratama. Saya… saya mendapatkan nomor Anda dari sistem Algoritma Cinta.”

Jantung Anya berdebar kencang. Rico! Ia menelan ludah, mencoba mengatur suaranya.

“Oh… halo, Rico.”

“Saya tahu ini mungkin sedikit aneh, tapi saya ingin bertanya, apakah Anda bersedia bertemu dengan saya? Saya ingin mengenal Anda lebih jauh.”

Anya terdiam sejenak. Ia menatap langit yang mulai gelap. Ia teringat pada keputusannya untuk tidak membiarkan algoritma menentukan takdirnya.

“Rico,” kata Anya, “saya menghargai tawaran Anda. Tapi, saya rasa… saya rasa saya tidak ingin melanjutkan ini. Saya tidak yakin bahwa algoritma bisa menemukan cinta sejati.”

Terdengar helaan napas dari seberang. “Saya mengerti,” kata Rico. “Terima kasih atas kejujuran Anda. Selamat malam, Anya.”

Panggilan itu berakhir. Anya merasa sedikit bersalah, tetapi ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia lebih memilih untuk mempercayai intuisinya, perasaannya, daripada sebuah algoritma.

Ia melanjutkan langkahnya menuju kedai kopi. Mungkin Rio tidak sedang bertugas malam ini. Mungkin Bima tidak akan mengirimkan lelucon-leluconnya yang receh. Tapi, Anya tidak peduli. Ia akan terus mencari cinta, dengan caranya sendiri. Dengan hati yang terbuka, dengan keberanian untuk mengambil risiko, dan dengan keyakinan bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi, tetapi selalu mungkin untuk ditemukan. Dan mungkin, dalam detik-detik terakhir keyakinannya, hatinya akan membuktikan bahwa algoritma bisa salah, dan cinta, meskipun abstrak, akan selalu menemukan jalannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI