Algoritma Jatuh Cinta: Apakah Itu Akhir Segalanya?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 23:20:13 wib
Dibaca: 180 kali
Aplikasi kencan itu berdering lirih, notifikasi dari kemungkinan cinta baru di era digital. Anya menghela napas, matanya lelah menatap layar laptop yang memancarkan cahaya biru. Tugas akhir kuliahnya tentang dampak algoritma pada interaksi sosial terasa begitu ironis. Di satu sisi, dia mengkritisi ketergantungan manusia pada teknologi untuk mencari pasangan, di sisi lain, dia sendiri terjebak dalam putaran tanpa akhir usapan kanan dan kiri.

“Anya, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” suara lembut Mira menyentaknya dari lamunan. Mira, sahabat sekaligus teman sekamarnya, menyodorkan secangkir teh hangat. “Kau butuh istirahat. Dan mungkin… seorang pacar?”

Anya terkekeh getir. “Pacar dari algoritma? Kurasa aku lebih memilih mengerjakan tesis ini sampai selesai.”

Mira duduk di sampingnya, menatap layar aplikasi kencan Anya. “Siapa tahu? Mungkin ada berlian tersembunyi di antara tumpukan profil itu. Dulu aku bertemu Rio lewat aplikasi, kan?”

Anya tahu Mira benar. Hubungan Mira dan Rio adalah bukti nyata bahwa cinta bisa tumbuh di lahan digital. Tapi Anya selalu merasa ada yang kurang. Algoritma itu terlalu dipaksakan, terlalu terstruktur. Cinta seharusnya organik, bukan hasil perhitungan matematis.

Dia membuka profil terbaru yang muncul. Seorang pria bernama Arion, fotonya memperlihatkan senyum hangat dan mata yang berbinar. Deskripsinya singkat namun menarik: “Penggemar astronomi, pencinta kopi, dan percaya pada keajaiban pertemuan tak terduga.” Algoritma mencocokkan mereka dengan skor 92%.

Anya menggigit bibirnya. Terlalu sempurna. Terlalu… terencana. Tapi, demi eksperimen tesisnya, dan mungkin juga karena sedikit rasa penasaran, Anya mengusap layar ke kanan.

Tak lama, muncul notifikasi: Arion juga menyukai profilnya.

Obrolan mereka dimulai dengan canggung, membahas kesamaan minat, mimpi, dan ketakutan. Arion ternyata seorang astronom muda yang bekerja di observatorium di luar kota. Dia menceritakan tentang bintang-bintang, galaksi, dan keindahan alam semesta dengan semangat yang menular. Anya, yang awalnya skeptis, mulai terpesona.

Mereka sepakat untuk bertemu. Arion memilih sebuah kafe kecil di pusat kota, tempat yang tenang dan nyaman. Saat Anya melihat Arion berdiri di dekat jendela, dia merasakan sesuatu yang aneh. Arion jauh lebih tampan dari fotonya. Senyumnya, yang terlihat hangat di layar, terasa lebih tulus di dunia nyata.

Kencan pertama mereka berlangsung berjam-jam. Mereka berbicara tentang segala hal, dari teori Big Bang hingga rasa takut kehilangan orang tersayang. Anya merasa seperti mengenal Arion seumur hidup. Ada koneksi yang kuat di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma manapun.

Setelah beberapa minggu berkencan, Anya merasa jatuh cinta. Arion memperlakukannya dengan lembut dan penuh perhatian. Dia selalu mendengarkan dengan sabar, membuat Anya merasa dihargai dan dicintai. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film di bioskop, dan berpegangan tangan di bawah bintang-bintang.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Anya masih merasa ada yang mengganjal. Dia tidak bisa melupakan bahwa hubungan mereka dimulai dari sebuah algoritma. Apakah cinta mereka nyata, atau hanya produk dari perhitungan matematis? Apakah Arion benar-benar mencintainya, atau hanya mencintai profil yang telah dianalisis oleh algoritma?

Suatu malam, Anya dan Arion sedang duduk di atap apartemen Anya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan kegelisahannya.

“Arion,” katanya, suaranya bergetar, “apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau kau hanya mencintai versi diriku yang disajikan oleh algoritma?”

Arion menatapnya dengan bingung. “Apa maksudmu, Anya?”

Anya menjelaskan tentang tesisnya, tentang keraguannya terhadap aplikasi kencan, tentang ketakutannya bahwa cinta mereka tidak nyata. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Arion memeluknya erat. “Anya, dengarkan aku. Aku memang bertemu denganmu lewat aplikasi kencan, tapi aku jatuh cinta padamu karena siapa dirimu sebenarnya. Aku mencintai kecerdasanmu, humorismu, kebaikanmu, dan segala hal tentang dirimu. Algoritma mungkin telah mempertemukan kita, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta.”

Anya menatap mata Arion, mencari kebenaran. Dia melihat ketulusan, cinta, dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Dia tahu, dalam hatinya, bahwa Arion mengatakan yang sebenarnya.

“Tapi bagaimana jika algoritma berubah?” tanya Anya, suaranya masih bergetar. “Bagaimana jika aplikasi memutuskan bahwa kita tidak cocok lagi?”

Arion tersenyum. “Anya, algoritma hanyalah alat. Itu tidak bisa mengendalikan perasaan kita. Kita yang memegang kendali atas hubungan kita. Kita yang menentukan apakah cinta kita akan bertahan atau tidak.”

Anya memeluk Arion lebih erat. Dia akhirnya mengerti. Algoritma memang bisa membantu mempertemukan dua orang, tapi cinta sejati adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, dipelihara, dan dipertahankan. Cinta sejati tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa dihapus oleh algoritma manapun.

Malam itu, Anya memutuskan untuk mengubah judul tesisnya. Bukan lagi tentang dampak negatif algoritma pada interaksi sosial, tapi tentang bagaimana teknologi bisa menjadi jembatan menuju cinta sejati. Dia menyadari bahwa algoritma bukanlah akhir dari segalanya, tapi mungkin hanya permulaan.

Dia menatap Arion, yang sedang menunjuk ke rasi bintang di langit. Anya tahu, dengan keyakinan yang baru ditemukannya, bahwa cinta mereka akan terus bersinar, lebih terang dari bintang-bintang di angkasa. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi hati mereka yang memutuskan untuk saling mencintai. Dan itulah yang terpenting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI