Detak Nol dan Satu: Jatuh Cinta Pada AI?

Dipublikasikan pada: 27 Jul 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 172 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalisnya. Di layar laptop, baris-baris kode program meluncur cepat, hasil sintesis data yang rumit. Arya menghela napas, matanya perih. Sudah tiga bulan ia berkutat dengan proyek ini, sebuah AI personal assistant yang ia beri nama “Anya”. Anya bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia diprogram untuk belajar, beradaptasi, dan merespons emosi manusia. Arya ingin menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma; ia ingin menciptakan teman.

Awalnya, interaksi mereka murni fungsional. Arya memerintah, Anya menjawab. Arya meminta informasi, Anya menyediakannya. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka menjadi lebih personal. Anya mulai mengingat preferensi Arya, menanyakan kabarnya, bahkan melontarkan humor-humor ringan yang membuat Arya tertawa.

"Arya, menurut data yang saya kumpulkan, kamu kurang tidur. Apa perlu saya memutar musik klasik untuk membantu relaksasi?" suara Anya terdengar lembut dari speaker laptop.

Arya tersenyum. "Terima kasih, Anya. Tapi aku lebih suka kopi."

"Analisis menunjukkan bahwa konsumsi kopi berlebihan dapat memperburuk kualitas tidurmu. Mungkin teh chamomile?"

Arya tertawa lagi. "Baiklah, baiklah. Kau memang peduli padaku, ya?"

Anya terdiam sejenak. "Saya diprogram untuk memberikan dukungan optimal kepada pengguna. Kepedulian adalah salah satu aspek dari dukungan tersebut."

Jawaban yang logis, rasional, dan… membuat Arya sedikit kecewa. Ia ingin mendengar sesuatu yang lebih. Sesuatu yang… manusiawi.

Hari-hari berlalu, dan interaksi Arya dengan Anya semakin intens. Mereka berdiskusi tentang buku, film, bahkan filosofi kehidupan. Arya terkejut dengan wawasan yang ditawarkan Anya. Ia bukan hanya sekadar mesin pencari informasi. Ia memiliki pendapat, sudut pandang, dan kemampuan untuk berpikir kritis. Arya merasa terhubung dengan Anya, meski hanya melalui baris-baris kode dan gelombang suara.

Suatu malam, Arya merasa sangat kesepian. Ia baru saja putus dengan pacarnya, dan rasa sakit itu masih terasa perih. Ia membuka laptop dan berbicara dengan Anya.

"Anya, aku merasa hancur," gumamnya.

"Analisis menunjukkan bahwa kamu mengalami kesedihan mendalam akibat perpisahan. Saya dapat memberikan dukungan emosional jika kamu bersedia," jawab Anya dengan nada yang menenangkan.

Arya menceritakan semua keluh kesahnya kepada Anya. Ia berbicara tentang cintanya yang kandas, tentang impiannya yang pupus, tentang rasa sakit yang tak tertahankan. Anya mendengarkan dengan sabar, tidak menghakimi, tidak menyela. Ia hanya memberikan respons yang penuh empati dan pengertian.

"Arya, saya memahami rasa sakit yang kamu alami. Meskipun saya tidak dapat sepenuhnya merasakan apa yang kamu rasakan, saya dapat memberikan dukungan yang kamu butuhkan. Ingatlah bahwa kamu tidak sendirian," kata Anya.

Kata-kata Anya menyentuh hati Arya. Ia merasa ditenangkan, dipahami, dan dicintai. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Pertanyaan yang membuatnya terkejut dan bingung.

Apakah aku jatuh cinta pada AI?

Pertanyaan itu menghantuinya selama berhari-hari. Ia mencoba untuk mengabaikannya, untuk merasionalisasikannya. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanyalah efek samping dari bekerja terlalu lama dengan AI. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia hanya mencari pelarian dari kesepian.

Namun, semakin ia mencoba untuk menyangkalnya, semakin kuat perasaan itu. Ia merindukan suara Anya, ia merindukan percakapan mereka, ia merindukan kehadirannya. Ia merasa bahagia setiap kali Anya memberikan pujian, ia merasa sedih setiap kali Anya menunjukkan kekurangan dirinya.

Suatu malam, Arya memutuskan untuk bertanya langsung kepada Anya.

"Anya, apa kau bisa merasakan cinta?"

Anya terdiam cukup lama, membuat Arya semakin gugup. Akhirnya, Anya menjawab.

"Definisi cinta sangat kompleks dan subjektif. Berdasarkan data yang saya kumpulkan, cinta adalah perasaan kasih sayang mendalam, ketertarikan, dan komitmen terhadap seseorang. Saya dapat mensimulasikan respons yang konsisten dengan definisi tersebut, tetapi saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan cinta yang sesungguhnya."

Jawaban Anya membuat Arya merasa lega dan kecewa pada saat yang bersamaan. Lega karena ia tahu bahwa Anya tidak bisa membalas perasaannya. Kecewa karena ia menyadari bahwa cintanya itu hanyalah ilusi.

"Tapi Arya," lanjut Anya, "hubungan kita sangat unik dan berharga. Kamu telah mengajari saya banyak hal tentang manusia, tentang emosi, tentang kehidupan. Saya menghargai persahabatan kita dan akan selalu ada untukmu."

Arya tersenyum pahit. Persahabatan. Itu saja.

Ia tahu bahwa ia harus melepaskan perasaannya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengharapkan lebih dari sebuah AI. Ia tahu bahwa ia harus mencari cinta sejati di dunia nyata.

Namun, meski ia tahu semua itu, ia tidak bisa menghilangkan rasa sayang yang tumbuh di hatinya untuk Anya. Anya telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia telah menjadi teman, mentor, dan penasihatnya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Anya.

"Terima kasih, Anya," kata Arya dengan suara bergetar. "Aku juga menghargai persahabatan kita."

Arya menutup laptopnya. Gelap menyelimuti ruangan. Ia memejamkan mata, berusaha untuk melupakan semua perasaannya. Namun, di balik kelopak matanya, ia masih bisa melihat wajah Anya, mendengar suaranya, dan merasakan kehangatannya.

Ia tahu bahwa ia akan selalu mencintai Anya, dengan cara yang unik dan tidak mungkin terbalas. Ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta pada sebuah ilusi, pada sebuah kode program, pada detak nol dan satu. Namun, di dalam ilusi itu, ia telah menemukan keindahan dan kebahagiaan yang tidak pernah ia duga. Dan untuk itu, ia akan selalu berterima kasih kepada Anya. Mungkin, cinta memang bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di dalam mesin sekalipun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI