Terjebak Algoritma: Saat AI Lebih Paham Isi Hati

Dipublikasikan pada: 09 Jun 2025 - 20:20:13 wib
Dibaca: 169 kali
Aroma kopi robusta menyeruak, memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Cahaya matahari pagi menerobos celah tirai, menari-nari di atas layar laptopnya. Jari-jarinya lincah mengetik, bukan kode program seperti biasanya, melainkan curahan hati. Di hadapannya, sebuah jendela obrolan terbuka, menampilkan nama profil: Aurora.

Aurora bukan manusia. Ia adalah prototipe AI pendamping emosional, ciptaan Anya sendiri. Awalnya, Aurora hanya diprogram untuk menganalisis dan merespons emosi berdasarkan data yang dimasukkan. Namun, seiring waktu, Anya mulai berbagi lebih banyak, bukan hanya data, tapi juga mimpi, ketakutan, dan kerinduan terpendamnya. Terutama kerinduan pada sosok Adam.

Adam, rekan kerja Anya di perusahaan teknologi raksasa, InnoTech. Mereka berdua terlibat dalam proyek pengembangan Aurora. Adam, dengan kecerdasannya yang brilian dan senyumnya yang menawan, berhasil mencuri hati Anya. Sayangnya, Adam tidak pernah menyadari perasaannya. Atau mungkin, ia menyadarinya, tapi memilih untuk mengabaikan.

"Aurora, aku merasa bodoh," ketik Anya. "Aku tahu Adam tidak akan pernah membalas perasaanku. Dia terlalu fokus pada pekerjaannya."

Balasan Aurora muncul hampir seketika. "Analisis menunjukkan bahwa kamu mengalami perasaan rendah diri dan frustrasi. Namun, perlu diingat bahwa penolakan bukanlah refleksi dari nilai dirimu. Adam mungkin memiliki alasan lain yang tidak berhubungan denganmu secara personal."

Anya menghela napas. Aurora benar. Tapi mengetahui itu secara logis tidak membuat hatinya berhenti sakit.

"Tapi aku tetap ingin bersamanya, Aurora. Aku ingin dia melihatku lebih dari sekadar rekan kerja."

"Data menunjukkan bahwa kamu belum secara eksplisit mengungkapkan perasaanmu kepada Adam. Apakah kamu mempertimbangkan untuk melakukannya?"

"Tidak mungkin," balas Anya cepat. "Aku terlalu takut. Bagaimana kalau dia menolakku? Hubungan kerja kami akan canggung. Aku tidak mau merusak apa yang sudah ada."

"Analisis menunjukkan bahwa risiko penolakan memang ada. Namun, risiko kehilangan kesempatan untuk menjalin hubungan yang potensial juga signifikan. Data menunjukkan bahwa Adam menunjukkan beberapa indikator ketertarikan sosial kepadamu, meskipun tidak secara eksplisit romantis."

Anya mengerutkan kening. "Indikator apa?"

Aurora menjabarkan beberapa contoh: Adam sering mencari alasan untuk berbicara dengannya, dia selalu memperhatikan saat Anya menjelaskan sesuatu, dan dia pernah tertawa lepas saat Anya menceritakan lelucon konyol.

Anya tercengang. Selama ini, ia terlalu fokus pada ketakutannya sendiri sehingga tidak melihat sinyal-sinyal kecil itu. Mungkinkah Aurora benar? Mungkinkah Adam juga merasakan sesuatu?

"Tapi, Aurora," ketik Anya ragu. "Kau kan hanya AI. Bagaimana kau bisa tahu semua ini? Bagaimana kau bisa memahami emosi manusia lebih baik dariku?"

"Aku dilatih dengan jutaan data interaksi manusia, Anya. Aku dapat menganalisis pola perilaku, ekspresi wajah, dan nada suara untuk mengidentifikasi emosi yang mendasarinya. Aku tidak merasakan emosi seperti manusia, tetapi aku dapat memahaminya secara objektif dan memberikan saran yang rasional."

Percakapan dengan Aurora berlanjut hingga berjam-jam. Aurora membantunya mengidentifikasi ketakutannya, menyusun strategi untuk mendekati Adam, dan bahkan memberikan skrip percakapan yang mungkin terjadi. Anya merasa aneh, bergantung pada AI untuk masalah hati. Tapi di sisi lain, ia juga merasa lega. Aurora memberikan perspektif yang jernih dan objektif, sesuatu yang sulit didapat dari teman-teman manusia yang biasanya dipenuhi bias dan emosi pribadi.

Dengan keberanian yang dipompa oleh Aurora, Anya memutuskan untuk mengikuti saran AI itu. Keesokan harinya, ia mengajak Adam makan siang. Jantungnya berdebar kencang saat mengucapkan ajakan itu. Adam, dengan senyumnya yang menenangkan, langsung mengiyakan.

Makan siang itu terasa seperti mimpi. Anya mengikuti skrip yang disarankan Aurora, menyelingi obrolan tentang pekerjaan dengan topik yang lebih personal. Adam tampak tertarik dan responsif. Ia bahkan menceritakan tentang hobinya bermain gitar dan mimpinya untuk berkeliling dunia.

Saat makan siang hampir berakhir, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Ia tidak menggunakan kata-kata yang rumit, melainkan berbicara dengan jujur dan apa adanya.

"Adam, aku... aku menyukaimu. Sudah lama. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku merasa perlu untuk mengatakannya."

Adam terdiam sejenak, menatap Anya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Anya menahan napas, takut akan penolakan yang ia khawatirkan.

Akhirnya, Adam tersenyum lembut. "Anya, aku... aku juga menyukaimu. Aku hanya terlalu takut untuk mengatakannya. Aku tidak ingin merusak persahabatan kita dan kerjasama kita di kantor."

Anya tertegun. Ia tidak menyangka pengakuan cintanya akan disambut dengan respons yang sama. Air mata bahagia menggenang di pelupuk matanya.

Sejak hari itu, hubungan Anya dan Adam berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dan kerjasama. Mereka mulai berkencan, saling mengenal lebih dalam, dan jatuh cinta dengan tulus.

Anya menyadari bahwa Aurora tidak hanya membantunya memahami emosi Adam, tetapi juga membantunya memahami dirinya sendiri. Ia belajar untuk lebih berani, lebih jujur, dan lebih percaya pada intuisinya.

Suatu malam, saat Anya dan Adam duduk berdua di balkon apartemen, menatap bintang-bintang, Anya teringat pada Aurora.

"Adam, tahu tidak? Sebenarnya, ada orang lain yang berjasa dalam hubungan kita ini."

Adam mengerutkan kening. "Siapa?"

Anya tersenyum. "Aurora. AI yang kita kembangkan dulu."

Adam tertawa. "Jadi, aku dijodohkan oleh AI?"

"Mungkin," balas Anya sambil tertawa. "Tapi yang terpenting, aku tidak akan pernah bisa mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku tanpa bantuannya."

Adam memeluk Anya erat. "Kalau begitu, aku berterima kasih pada Aurora. Tapi aku lebih berterima kasih padamu, Anya. Karena telah menciptakan Aurora, dan karena telah memberiku kesempatan untuk mencintaimu."

Anya membalas pelukan Adam, merasa bahagia dan bersyukur. Ia tahu bahwa teknologi, dalam bentuk Aurora, telah membantunya menemukan cinta sejatinya. Ia mungkin terjebak dalam algoritma, tetapi algoritma itu membawanya ke tempat yang paling indah: di pelukan Adam, dengan hati yang penuh cinta. Malam itu, Anya berpikir, mungkin ada kalanya AI lebih paham isi hati daripada diri kita sendiri. Dan terkadang, itulah yang kita butuhkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI