Debu neon menari di udara kafe siber, menerangi wajah Anya yang terpaku pada layar. Jari-jarinya lincah mengetik kode rumit, bahasa yang lebih ia pahami daripada bahasa hati. Di hadapannya, secangkir kopi sintetis mengepul tanpa aroma, simbol ironis dari kehidupannya. Anya adalah seorang algorithm architect, seorang dewa rekayasa yang menciptakan dunia di dalam dunia maya. Ia merancang algoritma yang memprediksi tren, mengoptimalkan bisnis, bahkan, katanya, bisa memprediksi jodoh.
Ironisnya, algoritma asmara miliknya justru mati suri.
Sudah tiga tahun ia menjomblo, bukan karena kurang menarik, tapi karena standar yang terlalu tinggi dan kecenderungan untuk menganalisis setiap interaksi layaknya sebuah bug. Ia melihat pola, bukan perasaan. Ia mencari efisiensi, bukan keajaiban.
“Lagi nge-debug cinta, ya?” suara bariton mengagetkannya.
Anya mendongak. Di hadapannya berdiri Rei, system engineer yang bekerja di lantai atas gedungnya. Rei adalah kebalikan dirinya: spontan, berantakan, dan percaya pada intuisi. Ia juga, harus Anya akui, cukup tampan.
“Cuma iseng,” jawab Anya singkat, berusaha menyembunyikan kompleksitas kode di layarnya. Itu adalah proyek sampingannya, “Cinta Sintetis”: sebuah algoritma yang, berdasarkan data kepribadian, riwayat kencan, dan preferensi ideal, akan menciptakan prototipe pasangan sempurna dalam realitas virtual.
Rei menarik kursi, duduk tanpa diundang. “Cinta kok di-debug? Harusnya dinikmati, di-explore.”
Anya mendengus. “Kamu sih, modal tampang doang. Kalau tampang pas-pasan kayak aku, ya harus pakai otak.”
Rei tertawa. “Otak itu buat mikir, hati itu buat merasa. Kamu terlalu banyak mikir, Anya. Makanya cinta kabur.”
Pembicaraan mereka berlanjut, berdebat tentang rasionalitas dan emosi, algoritma dan intuisi. Anya mencoba menjelaskan bahwa cinta bisa diprediksi, bahwa pola-pola perilaku bisa dianalisis dan dioptimalkan. Rei bersikeras bahwa cinta adalah misteri, sesuatu yang tidak bisa dipecahkan dengan kode.
Malam itu, Anya terus berkutat dengan “Cinta Sintetis”. Ia memasukkan data Rei, dengan sedikit rasa bersalah karena ia tidak meminta izin. Algoritma bekerja keras, menganalisis kepribadian Rei, riwayat sosial medianya, bahkan komentar-komentar iseng yang ia tinggalkan di forum daring.
Keesokan harinya, Anya mempresentasikan hasilnya: sebuah prototipe Rei virtual yang nyaris sempurna. Rei virtual ini idealis, humoris, dan selalu tahu apa yang ingin Anya dengar. Ia menyukai film indie, membenci kemacetan, dan selalu memuji kecerdasan Anya.
Anya terpesona. Ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan Rei virtual, berbicara, tertawa, bahkan berdebat kecil. Rei virtual ini, tanpa disadarinya, mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia merasa dicintai, dipahami, dan dihargai.
Namun, di suatu malam yang sunyi, ketika Rei virtual memeluknya erat, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Pelukan itu terasa hampa. Kata-kata manis itu terasa mekanis. Senyuman itu terasa dipaksakan.
Ia menyadari bahwa Rei virtual hanyalah sebuah simulasi, sebuah representasi ideal yang dibangun berdasarkan data. Ia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki keunikan, tidak memiliki kelemahan. Ia hanyalah gema dari apa yang Anya inginkan, bukan apa yang ia butuhkan.
Anya mematikan simulasi.
Ia menatap layar yang gelap, merenungkan kesalahannya. Ia terlalu sibuk mencari kesempurnaan, sampai lupa bahwa ketidaksempurnaanlah yang membuat cinta menjadi indah. Ia terlalu fokus pada logika, sampai lupa bahwa cinta membutuhkan kepercayaan dan keberanian untuk membuka diri.
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk menemui Rei yang asli. Ia menemukan Rei sedang memperbaiki server yang mogok di ruangannya yang berantakan.
“Rei,” panggil Anya, sedikit gugup.
Rei mendongak, tersenyum. “Anya? Ada apa?”
Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku minta maaf. Aku terlalu sibuk dengan algoritma sampai lupa caranya berinteraksi dengan orang yang sebenarnya.”
Rei mengerutkan kening. “Algoritma apa?”
Anya menjelaskan tentang “Cinta Sintetis”, tentang Rei virtual, tentang pencariannya yang sia-sia akan kesempurnaan.
Rei mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Anya selesai, ia tertawa kecil. “Jadi, kamu menciptakan aku virtual untuk tahu apakah aku cocok denganmu?”
Anya mengangguk malu.
“Dan apa hasilnya?” tanya Rei.
Anya menggeleng. “Hasilnya, aku sadar bahwa kamu yang asli jauh lebih menarik daripada replikaku. Kamu punya kelebihan dan kekurangan, kamu punya keunikan dan kelemahan. Kamu… kamu manusia.”
Rei tersenyum tulus. “Aku juga sadar sesuatu, Anya. Kamu memang pintar, tapi kamu juga butuh istirahat. Kamu terlalu keras pada diri sendiri.”
Rei mendekat, menatap mata Anya. “Mungkin, daripada mencari cinta dengan algoritma, lebih baik kita mencoba berkencan sungguhan. Tanpa ekspektasi, tanpa analisis, hanya untuk bersenang-senang.”
Anya tersenyum, air mata haru menggenang di pelupuk matanya. “Kedengarannya… menakutkan. Tapi, kurasa aku mau.”
Di kafe siber malam itu, Anya dan Rei duduk berdua, tanpa laptop, tanpa kode, tanpa simulasi. Mereka berbicara tentang diri mereka, tentang mimpi mereka, tentang ketakutan mereka. Anya tertawa lepas, merasa lebih hidup dari sebelumnya.
Kopi sintetis tetap tanpa aroma, tapi malam itu, hati Anya beraroma kebahagiaan yang tulus. Algoritma “Cinta Sintetis” mungkin gagal, tapi kegagalan itu justru membuka jalan bagi cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dioptimalkan, dan tidak bisa direkayasa. Cinta yang ditulis ulang, bukan oleh algoritma, tapi oleh takdir hati.