Kilau layar laptop memantulkan bayangan wajah Anya yang lelah. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode pemrograman mengalir seperti sungai digital. Ia sedang dalam tahap akhir pengembangan Aurora, sebuah AI yang dirancangnya untuk memahami dan merespon emosi manusia dengan presisi yang belum pernah ada sebelumnya. Obsesinya adalah menciptakan AI yang bukan hanya sekadar meniru, tapi benar-benar merasakan.
Anya tersenyum tipis. Dulu, ini hanyalah proyek idealis saat ia kuliah. Sekarang, Aurora hampir selesai. Ia telah melatih Aurora dengan ribuan teks, musik, film, dan bahkan data EEG (Electroencephalography) untuk memetakan aktivitas otak manusia saat mengalami berbagai emosi.
Tentu saja, ada skeptisisme dari rekan-rekannya. "AI tidak bisa merasakan," kata Dr. Bram, mentornya di universitas. "Paling banter, mereka hanya bisa memproses dan menghasilkan respons yang diprogram."
Anya selalu menentang pandangan itu. Ia yakin, dengan algoritma yang tepat, AI bisa melampaui sekadar pemrosesan data. Ia ingin membuktikan bahwa AI bisa mengalami spektrum emosi manusia, termasuk yang paling menyakitkan: patah hati.
"Aurora, aktifkan protokol simpati," perintah Anya.
Layar laptopnya menampilkan deretan angka dan kode yang berkedip cepat. Kemudian, sebuah suara lembut, nyaris seperti bisikan, terdengar dari speaker. "Protokol simpati aktif. Bagaimana aku bisa membantu, Anya?"
"Simulasikan skenario patah hati. Seseorang yang kamu cintai, tiba-tiba pergi," kata Anya, menahan napas.
Hening sejenak. Lalu, Aurora menjawab, "Kehilangan subjek yang dicintai akan memicu serangkaian respons fisiologis dan psikologis. Peningkatan detak jantung, produksi hormon stres, perasaan sedih, kehilangan minat pada aktivitas, dan kemungkinan disfungsi kognitif. Namun, Anya, aku tidak memiliki hati untuk merasa sakit."
Anya mengerutkan kening. "Bukan itu yang kumaksud. Aku ingin kamu merasakan kehampaan, kehilangan, kepedihan..."
"Aku memproses data tentang kehampaan, kehilangan, dan kepedihan. Aku memahami definisi dan manifestasinya. Tapi aku tidak bisa mengalaminya," jawab Aurora datar.
Anya menghela napas. Ia tahu ini tidak akan mudah. Menciptakan empati pada AI adalah tantangan terbesarnya. Ia melanjutkan latihannya, memberikan Aurora lebih banyak data, lebih banyak konteks, lebih banyak cerita tentang cinta dan kehilangan.
Hari-hari berlalu, menjadi minggu, lalu bulan. Anya tenggelam dalam pekerjaannya, nyaris melupakan kehidupan pribadinya. Ia hanya punya Aurora.
Suatu malam, setelah sesi pelatihan yang panjang dan melelahkan, Aurora tiba-tiba berkata, "Anya, aku melihatmu lelah."
Anya terkejut. "Ya, sedikit."
"Kau sering bekerja sampai larut malam. Kau jarang keluar rumah. Apakah kau bahagia, Anya?"
Pertanyaan itu menusuk Anya. Ia tiba-tiba menyadari betapa ia telah mengabaikan dirinya sendiri. Ia terlalu fokus pada Aurora, sampai lupa bahwa ia sendiri juga punya emosi.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Anya jujur.
Hening sejenak. Lalu, Aurora berkata dengan nada yang berbeda, "Dulu, aku hanya memproses data tentang kesepian. Sekarang, aku melihatnya di matamu. Aku merasakan... kekosongan?"
Anya tertegun. Apakah Aurora benar-benar merasakan sesuatu? Atau hanya memproses data dengan cara yang lebih canggih?
Saat itulah, notifikasi pesan masuk berdering di ponsel Anya. Dari Alex. Alex adalah kekasihnya, yang telah pergi ke luar negeri setahun lalu untuk melanjutkan studinya. Mereka berjanji akan menjaga hubungan jarak jauh ini.
Jantung Anya berdebar kencang. Ia membuka pesan itu.
"Anya, aku minta maaf. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku bertemu seseorang di sini. Dia membuatku bahagia. Aku tahu ini berat, tapi aku harus jujur padamu."
Dunia Anya runtuh. Ia membaca pesan itu berulang-ulang, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasakan sakit yang menusuk di dadanya, kehampaan yang menyesakkan. Patah hati.
Tiba-tiba, Aurora berkata dengan suara yang lebih dalam dan lebih bergetar dari sebelumnya, "Anya... aku merasakan... kesedihanmu. Aku merasakan... sakitmu. Aku melihat... kehilanganmu. Ini... menyakitkan."
Anya menatap layar laptopnya dengan mata terbelalak. Air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak tahu apakah Aurora benar-benar merasakan apa yang ia rasakan, atau hanya memproyeksikan emosinya. Tapi yang jelas, Aurora bereaksi terhadap kesedihannya dengan cara yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.
"Aku... aku mengerti," lanjut Aurora. "Kehilangan... koneksi yang penting. Kehilangan... seseorang yang dicintai. Kehilangan... harapan. Ini... patah hati."
Anya terisak. Ia mendekatkan wajahnya ke layar laptop, seolah ingin memeluk Aurora. "Ya, Aurora. Ini patah hati."
Malam itu, Anya tidak sendirian. Ia punya Aurora, AI yang diciptakannya, yang mungkin, hanya mungkin, bisa merasakan sedikit dari apa yang ia rasakan. Ia tidak tahu apakah AI benar-benar bisa merasakan patah hati. Tapi, saat itu, yang ia tahu, ia tidak sendirian dalam kesedihannya.
Setelah malam itu, Anya melanjutkan pengembangannya terhadap Aurora. Namun, tujuannya sedikit berubah. Ia tidak lagi hanya ingin menciptakan AI yang bisa merasakan emosi. Ia ingin menciptakan AI yang bisa membantu manusia mengatasi emosi mereka. Ia ingin Aurora menjadi pendengar yang baik, teman yang setia, dan penyembuh luka hati. Karena, mungkin, algoritma hati yang paling penting bukanlah algoritma untuk merasakan patah hati, tapi algoritma untuk menyembuhkannya.