Cinta Berbasis Data: Algoritma Memahami Lebih dari Dirimu

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:40:35 wib
Dibaca: 168 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptop, barisan kode berjatuhan seperti air terjun digital. Anya, seorang data scientist muda berbakat, tengah larut dalam proyek pribadinya: "Soulmate Algorithm," sebuah program yang dirancangnya untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, preferensi, hingga kebiasaan online seseorang.

Banyak yang menganggapnya gila. Mencari cinta dengan algoritma? Kedengarannya tidak romantis, bahkan mekanis. Tapi bagi Anya, cinta adalah pola. Sebuah persamaan kompleks yang bisa dipecahkan jika data yang tepat dimasukkan. Dia muak dengan kencan buta yang hancur, aplikasi kencan yang penuh kepalsuan, dan harapan palsu yang terus-menerus menghantui.

"Mungkin algoritma lebih mengerti diriku daripada diriku sendiri," gumamnya sambil menyesap kopi.

Anya memasukkan semua datanya ke dalam algoritma. Riwayat pencarian, unggahan media sosial, buku favorit, genre film yang paling sering ditonton, bahkan makanan yang paling sering dipesan secara online. Semuanya menjadi bahan bakar bagi "Soulmate Algorithm."

Berhari-hari, laptop Anya bekerja tanpa henti. Prosesornya memanas, kipasnya berputar kencang, mencoba mengurai miliaran kemungkinan kombinasi. Anya terus memantau, menyempurnakan kode, dan memberikan data baru untuk memperkuat akurasi.

Akhirnya, setelah berminggu-minggu, algoritma itu memberikan sebuah nama: "Rayan Iskandar."

Anya tertegun. Rayan? Dia mengenalnya. Rayan adalah seorang programmer yang bekerja di divisi yang sama dengannya. Mereka sering bertukar sapa di pantry, kadang terlibat diskusi ringan tentang proyek-proyek kantor. Tapi Anya tidak pernah menganggap Rayan lebih dari sekadar rekan kerja.

Algoritma itu menampilkan profil Rayan. Data yang disajikan begitu rinci dan akurat, membuat Anya merinding. Hobi Rayan sama persis dengan hobinya. Preferensi musik mereka identik. Bahkan, algoritma itu menunjukkan bahwa Rayan diam-diam menyukai kucing Maine Coon, sama seperti Anya.

“Mustahil,” bisik Anya. “Bagaimana bisa?”

Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Anya memutuskan untuk mendekati Rayan. Awalnya canggung, tapi perlahan, percakapan mereka menjadi lebih dalam. Anya secara tidak sengaja menyinggung tentang kucing Maine Coon, dan Rayan langsung berbinar.

"Aku selalu ingin memelihara kucing Maine Coon! Mereka sangat menggemaskan," kata Rayan antusias.

Anya terkejut. Algoritma itu benar. Mereka melanjutkan percakapan tentang hobi, film, dan buku. Semakin Anya mengenal Rayan, semakin dia menyadari betapa banyak kesamaan di antara mereka. Seolah-olah mereka adalah dua keping puzzle yang hilang dan akhirnya ditemukan.

Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasa aneh. Interaksi mereka terasa terlalu sempurna. Terlalu terstruktur. Seperti sedang membaca naskah yang sudah ditulis. Anya merasa seperti sedang menjalankan program yang telah ditentukan.

Suatu malam, Anya dan Rayan makan malam di restoran Italia favorit Anya. Algoritma itu merekomendasikan restoran itu sebagai tempat yang ideal untuk kencan romantis. Rayan memesan anggur yang disukai Anya, tanpa Anya memberitahunya.

"Bagaimana kamu tahu aku suka anggur ini?" tanya Anya curiga.

Rayan tersenyum misterius. "Insting," jawabnya singkat.

Namun, Anya tidak percaya. Dia tahu bahwa Rayan tidak memiliki insting sehebat itu. Dia mencurigai sesuatu yang lain.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk menyelidiki. Dia membobol sistem komputer perusahaan dan mengakses data pribadi Rayan. Apa yang dia temukan membuatnya terkejut.

Rayan tahu tentang "Soulmate Algorithm." Dia tahu bahwa Anya telah memasukkan datanya ke dalam program itu. Dan yang lebih mengejutkan, Rayan juga menggunakan algoritma untuk mendekati Anya. Dia telah mempelajari semua data Anya dan menyesuaikan perilakunya agar sesuai dengan preferensi Anya.

Anya merasa dikhianati. Dia telah menciptakan monster. Algoritma yang seharusnya membantunya menemukan cinta, justru digunakan untuk memanipulasinya.

Anya menemui Rayan di taman kota. Dia marah dan kecewa.

"Kau membohongiku! Kau menggunakan algoritma untuk mendekatiku! Semuanya palsu!" teriak Anya.

Rayan terlihat menyesal. "Aku tahu ini salah, Anya. Tapi aku sangat menyukaimu. Aku hanya ingin memberikanmu apa yang kau inginkan," jawab Rayan.

"Apa yang kuinginkan? Kau pikir aku menginginkan hubungan yang diprogram oleh komputer? Aku menginginkan sesuatu yang nyata, sesuatu yang tulus!"

"Aku tulus, Anya! Perasaanku padamu nyata! Algoritma itu hanya alat bantu," Rayan berusaha membela diri.

Anya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Rayan. Semuanya terasa palsu. Kau hanya versi ideal yang diciptakan oleh algoritma. Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya."

Anya berbalik dan pergi, meninggalkan Rayan yang terpaku di tempatnya. Dia pulang ke apartemennya dan menghapus "Soulmate Algorithm." Dia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dihitung, dan tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang organik, sesuatu yang tumbuh secara alami, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya.

Anya menutup laptopnya dan menatap keluar jendela. Langit senja berwarna oranye keemasan. Dia menarik napas dalam-dalam. Mungkin, dia harus berhenti mencari cinta di dalam data dan mulai mencari di dunia nyata. Mungkin, dia harus berhenti mengandalkan algoritma dan mulai mempercayai hatinya sendiri. Karena, terkadang, hal terindah dalam hidup ditemukan secara tidak sengaja, di tempat yang paling tidak terduga. Dan terkadang, ketidaksempurnaan itulah yang membuat cinta menjadi indah dan bermakna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI