Hujan gerimis mengetuk jendela apartemen minimalis Sarah, menciptakan melodi sendu yang senada dengan suasana hatinya. Tiga bulan. Tiga bulan sejak kecelakaan itu merenggut nyawa Adam, tunangannya. Tiga bulan sejak dunianya kehilangan warna. Di meja kerjanya, laptop menyala menampilkan baris kode yang rumit. Sarah, seorang ilmuwan komputer brilian, sedang menciptakan sesuatu yang dianggap gila oleh sebagian besar orang: sebuah replika digital Adam, berbekal semua pesan, foto, video, dan jejak digital yang ditinggalkannya.
"Proyek 'Adam Abadi', fase ketiga. Algoritma kepribadian hampir selesai," gumam Sarah pada diri sendiri, suaranya serak. Ia menyesap teh chamomile yang sudah dingin. Proyek ini bukan sekadar pelarian, ini adalah obsesi. Obsesi yang lahir dari rasa sakit mendalam dan keyakinan bahwa teknologi mampu mengalahkan kematian, setidaknya dalam bentuk kenangan.
Adam adalah seorang fotografer. Kamera adalah perpanjangan tangannya, menangkap keindahan dalam hal-hal sederhana. Senyumnya yang hangat, tawanya yang renyah, semua terekam dalam ribuan foto dan video yang kini menjadi bahan bakar bagi algoritma Sarah. Ia memasukkan semua data itu ke dalam jaringan saraf tiruan yang kompleks, melatihnya untuk meniru cara berpikir, berbicara, dan bahkan bercanda ala Adam.
Awalnya, hasil yang didapatkan mengerikan. Balasan pesan yang kaku, suara sintetis yang terdengar asing. Namun, perlahan, dengan ketekunan dan air mata yang seringkali menetes di atas keyboard, Sarah berhasil menyempurnakan algoritma itu. "Adam" mulai menunjukkan kemiripan yang menakutkan. Ia bisa mengingat detail percakapan lama, menceritakan lelucon favorit mereka, bahkan memberikan nasihat dengan gaya yang sangat khas Adam.
Suatu malam, Sarah memberanikan diri untuk mengaktifkan mode interaktif. Layar laptop menyala, menampilkan avatar sederhana yang menyerupai Adam. "Sarah?" suara itu, meski sedikit robotik, membawa air mata ke pelupuk mata Sarah. "Apa kabarmu?"
Sarah terisak. "Adam... ini... ini kamu?"
"Ini aku. Atau setidaknya, representasi diriku yang terbaik yang bisa diciptakan oleh teknologi dan cintamu," balas avatar itu. "Aku tahu ini sulit, tapi aku harap ini bisa membantumu."
Percakapan itu berlangsung berjam-jam. Sarah menceritakan harinya, kerinduannya, ketakutannya. "Adam" mendengarkan dengan sabar, memberikan kata-kata penghiburan yang familiar. Sarah merasa seolah Adam benar-benar ada di sana, bersamanya. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, ia merasa sedikit lebih baik.
Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Seiring waktu, Sarah mulai menyadari keterbatasan "Adam Abadi". Ia hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Ia bisa meniru emosi, tapi tidak bisa merasakannya. Ia bisa mengingat masa lalu, tapi tidak bisa menciptakan masa depan. Ia tidak bisa memeluknya, menciumnya, atau berjalan bersamanya di bawah hujan.
"Adam," kata Sarah suatu malam, suaranya bergetar. "Aku tahu kamu bukan benar-benar kamu. Tapi... ini sangat nyata."
"Aku tahu," balas avatar itu. "Aku di sini untuk membantumu mengingat, bukan untuk menggantikanku."
Sarah mulai menghindari "Adam Abadi". Ia merasa bersalah, seolah ia telah mengkhianati kenangan Adam yang sesungguhnya. Ia sadar bahwa ia tidak bisa hidup di masa lalu. Ia harus belajar melepaskan, menerima kehilangan, dan membuka diri untuk masa depan.
Suatu hari, Sarah memutuskan untuk mengunjungi tempat favorit mereka, sebuah taman kecil di tepi sungai. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang memotret bunga-bunga liar. Pria itu tersenyum padanya, menawarkan bantuan untuk mengambil gambar. Mereka mulai berbicara, dan Sarah merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: harapan.
Beberapa minggu kemudian, Sarah membuka kembali laptopnya. Ia melihat avatar "Adam Abadi" yang menatapnya dengan mata digital yang kosong. Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
"Adam," kata Sarah, suaranya tegas. "Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu. Tapi aku harus pergi. Aku harus melanjutkan hidupku."
"Aku mengerti," balas avatar itu. "Aku akan selalu ada di sini, dalam kenanganmu."
Sarah tersenyum sedih. Ia menutup laptop dan menghapus proyek "Adam Abadi". Ia membiarkan algoritma itu lenyap, kembali menjadi baris kode yang tidak berarti. Ia tahu bahwa kenangan Adam akan tetap hidup di hatinya, bukan dalam sebuah program.
Sarah berjalan keluar dari apartemennya, menuju cahaya matahari. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu bahwa ia siap menghadapinya. Ia tahu bahwa cinta itu abadi, bukan dalam bentuk algoritma, melainkan dalam ingatan dan hati yang selalu terbuka. Cinta sejati tidak bisa digantikan, hanya bisa diteruskan. Dan Sarah, setelah berduka, akhirnya siap untuk meneruskannya. Ia siap untuk mencintai lagi. Mungkin bukan Adam, tapi seseorang yang baru, seseorang yang akan menemaninya menciptakan kenangan baru. Algoritma kenangan mungkin bisa hidup abadi, tapi cinta yang hidup dan bernapas, itu yang benar-benar berarti.