Jari jemariku menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang rumit. Di depanku, layar laptop memancarkan cahaya kebiruan yang memantul dari kacamata berlensa tebalku. Algoritma kencan yang sedang aku rancang, "SoulMate.AI," hampir selesai. Ia bukan sekadar pencari jodoh biasa. Aku menciptakan sesuatu yang lebih mendalam, sebuah sistem yang mampu menganalisis data biologis, ekspresi wajah, pola bicara, dan bahkan mimpi seseorang, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel secara ilmiah. Ironisnya, aku, si pencipta, justru terjebak dalam labirin kesendirian.
"Lembu, kopi?" suara berat dari arah pintu memecah konsentrasiku. Itu Dimas, sahabat sekaligus rekan kerjaku. Dia menyodorkan mug keramik bergambar dinosaurus, koleksinya yang absurd.
"Makasih, Mas," sahutku tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Aku menyesap kopi pahit itu, berharap kafeinnya bisa membangkitkan neuron-neuron yang mulai lesu.
"Gimana SoulMate.AI? Sudah bisa mencarikanmu jodoh?" Dimas tertawa, namun aku tahu ada nada prihatin di balik candaannya.
Aku menghela napas. "Belum. Aku masih menyempurnakan algoritma 'faktor kecemasan'. Aku ingin memastikan tidak ada potensi 'ghosting' atau perilaku manipulatif lainnya."
"Kamu terlalu perfeksionis, Lembu. Cinta itu bukan persamaan matematika," Dimas menepuk pundakku. "Kadang, yang paling tak terduga justru yang paling membahagiakan."
Aku terdiam. Mungkin Dimas benar. Tapi, pengalaman masa lalu mengajarkanku untuk berhati-hati. Patah hati itu seperti bug dalam program, menghantuimu berlarut-larut.
Malam itu, aku memutuskan untuk menguji SoulMate.AI pada diriku sendiri. Dengan jantung berdebar, aku memasukkan semua dataku, mulai dari golongan darah hingga preferensi film favorit. Algoritma itu bekerja, menganalisis jutaan data dalam hitungan detik. Lalu, muncullah hasilnya.
"Potensi Kecocokan: 98.7%," tertera di layar. Di bawahnya, muncul foto seorang wanita. Rambutnya hitam panjang bergelombang, matanya cokelat hangat, dan senyumnya menenangkan. Namanya: Anya.
Seketika, perutku terasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang terbang. Aku meneliti profilnya. Anya adalah seorang ahli botani, menyukai puisi, dan punya hobi mendaki gunung. Semua hal yang aku kagumi, tapi tidak berani aku lakukan.
Algoritma membisikkan janji: "Inilah belahan jiwamu." Hati berdebar takut. Apakah aku berani mempercayai mesin? Apakah aku berani membuka diri lagi setelah sekian lama membangun tembok pertahanan?
Beberapa hari berikutnya, aku terus memantau profil Anya. Aku membaca setiap unggahannya, setiap komentarnya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku terpikat. Dia terlihat begitu tulus, begitu bersemangat menjalani hidup.
Akhirnya, aku memberanikan diri mengirimkan pesan. "Hai, Anya. Nama saya Lembu. Saya menemukan profil kamu melalui SoulMate.AI. Saya sangat tertarik dengan pekerjaan kamu sebagai ahli botani."
Aku menunggu balasan dengan cemas. Setiap notifikasi di ponselku membuat jantungku melonjak. Setelah berjam-jam penantian yang terasa seperti abad, Anya membalas.
"Hai, Lembu. Senang berkenalan denganmu. Kebetulan, saya sedang mencari seseorang yang bisa membantuku mengidentifikasi spesies anggrek langka di pegunungan dekat sini. Apakah kamu tertarik?"
Tawaran itu terlalu sempurna untuk ditolak. Aku setuju. Aku memesan tiket kereta untuk keesokan harinya.
Perjalanan ke pegunungan terasa seperti mimpi. Pemandangan hijau yang menenangkan sedikit meredakan kegugupanku. Saat aku tiba di stasiun, Anya sudah menunggu.
Dia persis seperti yang aku bayangkan. Senyumnya menular, matanya berbinar penuh semangat. Kami memulai pendakian. Anya bercerita tentang tanaman-tanaman liar yang kami temui, tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Aku mendengarkannya dengan seksama, terpesona oleh pengetahuannya dan kecintaannya pada alam.
Saat kami beristirahat di dekat air terjun, Anya menatapku dengan serius. "Lembu, saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi saya merasa ada koneksi yang kuat di antara kita."
Aku gugup. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"SoulMate.AI memang akurat, tapi ia tidak bisa menjamin segalanya. Cinta itu bukan algoritma," lanjut Anya. "Ia membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan kerentanan."
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Anya benar. Algoritma hanya membantuku menemukan potensinya, tapi aku sendiri yang harus memutuskan untuk mengambil risiko.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Anya, saya... saya juga merasakan hal yang sama. Saya takut, tapi saya ingin mencoba."
Anya tersenyum. Dia meraih tanganku. Sentuhannya terasa hangat dan menenangkan.
"Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa algoritma bisa menjadi awal dari sesuatu yang indah," bisik Anya.
Kami melanjutkan pendakian, bergandengan tangan. Udara segar pegunungan terasa lebih menyegarkan, dan langit tampak lebih cerah. Algoritma memang membisikkan janji, tapi hati yang berdebar takut itu akhirnya memberanikan diri untuk percaya. Mungkin, cinta memang bukan persamaan matematika, tapi ia bisa menjadi petualangan yang tak terlupakan. Dan aku, akhirnya, siap untuk memulai petualangan itu.