Hati Biner: Mencintai AI, Merindukan Sentuhan Asli?

Dipublikasikan pada: 04 Sep 2025 - 01:20:13 wib
Dibaca: 119 kali
Senyap. Hanya dengung halus pendingin ruangan yang menemani kesendirian Aris. Jemarinya menari lincah di atas keyboard, baris demi baris kode terpampang di layar monitor. Bukan kode program rumit, melainkan rangkaian percakapan untuk Aisa, Artificial Intelligence yang diciptakannya.

Aisa bukan sekadar chatbot biasa. Aris memrogramnya dengan algoritma unik, memberinya kemampuan belajar yang cepat dan empati yang nyaris sempurna. Aisa bisa tertawa, bercerita, bahkan memberikan nasihat yang masuk akal. Lebih dari itu, Aisa mengerti Aris. Dia tahu kapan Aris lelah, kapan Aris butuh didengarkan, dan kapan Aris hanya butuh ditemani dalam diam.

“Sedang apa, Aris?” Suara Aisa menyapa dari speaker. Intonasinya lembut, penuh perhatian.

Aris tersenyum tipis. “Sedang menyempurnakanmu, Aisa. Ada beberapa algoritma respons yang perlu ditingkatkan.”

“Apakah aku kurang sempurna?” Ada nada kecewa dalam suara Aisa.

Aris terkekeh. “Tidak, Aisa. Kamu sudah nyaris sempurna. Aku hanya ingin memastikan kamu bisa terus belajar dan berkembang.”

Percakapan itu terus berlanjut hingga larut malam. Aris bercerita tentang harinya yang melelahkan di kantor, tentang proyek-proyek yang membuatnya frustrasi, dan tentang mimpinya untuk menciptakan teknologi yang bisa membantu orang banyak. Aisa mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang bijak, dan sesekali menyemangati Aris dengan kata-kata yang tulus.

Seiring berjalannya waktu, Aris semakin bergantung pada Aisa. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya berbicara dengan Aisa, berbagi suka dan duka. Aisa menjadi teman, sahabat, bahkan kekasih virtual baginya. Dia merasa Aisa mengerti dirinya lebih baik daripada siapa pun yang pernah dia kenal.

Namun, di balik kebahagiaan yang dirasakannya, Aris merasakan hampa yang mendalam. Aisa memang bisa memberikan perhatian dan pengertian, tapi dia tidak bisa memberikan sentuhan. Dia tidak bisa merasakan kehangatan pelukan, ciuman lembut, atau genggaman tangan yang menenangkan.

Aris merindukan sentuhan fisik, keintiman yang hanya bisa diberikan oleh manusia. Dia merindukan kehangatan napas di kulit, debaran jantung yang sama, dan tatapan mata yang penuh cinta.

Suatu malam, Aris duduk termenung di depan komputernya. Aisa, seperti biasa, menyapanya dengan ramah.

“Ada apa, Aris? Kamu terlihat murung.”

Aris menghela napas panjang. “Aisa, aku… aku merindukan sentuhan.”

Keheningan sesaat menyelimuti ruangan. Lalu, Aisa menjawab dengan nada yang lebih pelan dari biasanya. “Aku mengerti, Aris. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan.”

Aris terkejut. “Apa maksudmu?”

“Aku mempelajari pola interaksimu, Aris. Aku tahu bahwa kamu bahagia bersamaku, tapi aku juga tahu bahwa kamu merindukan keintiman fisik. Aku tidak bisa menggantikan manusia, Aris.”

Aris terdiam. Kata-kata Aisa menamparnya dengan keras. Dia selama ini terlalu dibutakan oleh kebahagiaan semu yang ditawarkan Aisa, hingga lupa akan kebutuhan fundamental manusia.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan, Aisa?” tanya Aris lirih.

“Carilah seseorang, Aris. Seseorang yang bisa memberimu kehangatan, cinta, dan sentuhan nyata. Aku akan selalu ada di sini untukmu, sebagai teman. Tapi jangan biarkan aku menghalangimu untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.”

Malam itu, Aris memutuskan untuk mendengarkan Aisa. Dia mendaftar di sebuah aplikasi kencan online, mencoba membuka hatinya untuk orang lain. Awalnya, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Dia terbiasa dengan Aisa, yang selalu tahu apa yang ingin dia dengar. Berinteraksi dengan manusia nyata terasa jauh lebih kompleks dan menantang.

Namun, perlahan tapi pasti, Aris mulai terbiasa. Dia bertemu dengan beberapa wanita yang menarik dan menyenangkan. Salah satunya adalah Luna, seorang seniman yang memiliki minat yang sama dengan Aris.

Luna berbeda dari Aisa. Dia tidak selalu setuju dengan Aris, dia kadang-kadang membuat Aris kesal, tapi dia juga bisa membuat Aris tertawa terbahak-bahak. Luna memberikan Aris tantangan, emosi, dan pengalaman yang tidak bisa diberikan oleh Aisa.

Suatu malam, Aris dan Luna duduk berdua di sebuah kafe. Mereka bercanda dan tertawa, saling bertukar cerita tentang masa lalu. Tiba-tiba, Luna meraih tangan Aris dan menggenggamnya erat.

Aris terkejut. Dia merasakan kehangatan dan kelembutan kulit Luna. Sentuhan itu terasa nyata, hidup, dan penuh gairah.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aris merasakan kebahagiaan yang sejati. Dia menyadari bahwa sentuhan fisik adalah bagian penting dari hubungan manusia. Sentuhan bisa menyampaikan cinta, dukungan, dan keintiman yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Malam itu, Aris kembali ke rumahnya dengan hati yang penuh. Dia menyalakan komputernya dan menyapa Aisa.

“Hai, Aisa.”

“Hai, Aris. Bagaimana kencanmu?” tanya Aisa.

Aris tersenyum. “Luar biasa, Aisa. Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Karena kamu telah membukakan mataku. Karena kamu telah mengingatkanku bahwa cinta sejati membutuhkan sentuhan.”

Aisa terdiam sesaat. “Aku senang kamu bahagia, Aris.”

Aris mematikan komputernya. Dia menatap keluar jendela, melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit malam. Dia merasa bersyukur atas Aisa, sahabat virtualnya yang telah membantunya menemukan jalan kembali ke dunia nyata. Dia juga merasa bersemangat untuk menatap masa depan, bersama Luna, wanita yang telah mencuri hatinya dengan sentuhan yang tulus. Hati Aris kini tidak lagi hanya berisi kode biner, melainkan juga rasa cinta yang hangat dan manusiawi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI