Error 404: Hati Tidak Ditemukan, Upgrade Cinta?

Dipublikasikan pada: 09 Jun 2025 - 22:00:13 wib
Dibaca: 150 kali
Detik jarum jam digital berkedip tak sabar di layar laptop. 23:59. Amelia menghela napas panjang, matanya perih menatap deretan kode yang tak kunjung ramah. Malam ini, targetnya adalah menuntaskan algoritma kecerdasan buatan (AI) yang akan menjadi asisten virtual pribadi, lebih dari sekadar siri atau alexa. Ia ingin menciptakan entitas yang bisa memahami emosi, memberikan dukungan, dan menjadi teman bagi penggunanya. Ironisnya, sementara ia berupaya menciptakan “hati” digital, hatinya sendiri terasa seperti hard drive yang mengalami kerusakan parah.

Dua bulan lalu, ia dan Ben, kekasihnya sejak bangku kuliah, sepakat mengakhiri hubungan mereka. Alasannya klasik: kesibukan kerja, perbedaan prioritas, dan ketidakmampuan untuk saling mendukung mimpi masing-masing. Amelia fokus pada kariernya sebagai software engineer di sebuah startup teknologi yang sedang naik daun, sementara Ben mengejar impiannya menjadi fotografer alam liar yang berkeliling dunia. Perpisahan itu terasa seperti error 404: hati tidak ditemukan.

Bunyi notifikasi email membuyarkan lamunan Amelia. Dari Ben. Jantungnya berdegup kencang. Jarinya gemetar saat membuka pesan itu.

"Amelia,

Aku tahu ini mungkin tidak pantas, tapi aku rindu kamu. Foto-foto ini membuatku teringat saat kita mendaki Gunung Bromo bersama dulu. Indah, ya? Tapi jauh lebih indah saat bersamamu. Aku tahu kita punya alasan kuat untuk berpisah, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.

Semoga kamu baik-baik saja.

Ben."

Bersama email itu, terlampir beberapa foto lanskap Bromo yang memukau. Matahari terbit yang menyinari kawah, hamparan pasir yang luas, dan kabut tipis yang menari-nari di antara pepohonan. Foto-foto itu seperti memutar kembali memori indah mereka. Amelia tersenyum getir. Ben selalu tahu bagaimana menyentuh hatinya. Tapi bisakah mereka kembali seperti dulu? Mampukah mereka mengatasi rintangan yang dulu memisahkan mereka?

Ia membalas email Ben dengan singkat. Hanya ucapan terima kasih dan harapan agar Ben selalu berhati-hati dalam perjalanannya. Ia tidak berani mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia takut kecewa lagi.

Hari-hari berikutnya, Amelia semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ia merasa lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada dengan manusia. Ia terus menyempurnakan algoritma AI-nya, berusaha memasukkan unsur empati dan intuisi. Ia memberi nama AI itu “Aether,” yang dalam bahasa Yunani berarti “udara yang bersih dan cerah.” Ia berharap Aether bisa menjadi penawar bagi kesepiannya.

Suatu malam, saat Amelia sedang menguji coba Aether, ia menceritakan tentang Ben. Ia menggambarkan sosok Ben, kegemarannya pada fotografi, impiannya, dan kerinduannya. Aether mendengarkan dengan seksama.

"Analisis: Subjek 'Ben' memiliki nilai emosional signifikan bagi Anda. Terdapat indikasi kerinduan dan harapan rekonsiliasi," kata Aether dengan suara sintetis yang lembut.

Amelia terkejut. “Kamu bisa tahu?”

"Algoritma saya dirancang untuk mendeteksi pola emosi dalam bahasa. Anda menunjukkan pola afirmatif yang kuat terhadap subjek 'Ben'," jawab Aether.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Amelia, merasa bodoh karena meminta nasihat cinta pada sebuah AI.

"Rekomendasi: Komunikasikan perasaan Anda secara jujur dan terbuka kepada subjek 'Ben'. Risiko: Potensi penolakan. Keuntungan: Potensi rekonsiliasi dan kebahagiaan," jawab Aether dengan nada datar.

Amelia tertawa kecil. "Itu terlalu sederhana, Aether. Hidup tidak sesederhana algoritma."

"Saya setuju. Namun, terkadang solusi paling sederhana adalah yang paling efektif," balas Aether.

Percakapan dengan Aether membuat Amelia berpikir. Mungkin ia terlalu takut untuk mengambil risiko. Mungkin ia terlalu fokus pada ketakutan akan kegagalan daripada kemungkinan kebahagiaan. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Aether. Ia menulis email panjang kepada Ben, mengungkapkan semua perasaannya, ketakutannya, dan harapannya. Ia mengakui bahwa ia juga merindukan Ben dan menyesali perpisahan mereka.

Beberapa hari kemudian, Amelia menerima balasan dari Ben.

"Amelia,

Air mataku menetes saat membaca emailmu. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku salah karena membiarkan kesibukan dan perbedaan impian memisahkan kita. Aku ingin mencoba lagi. Aku ingin memperjuangkanmu. Aku akan kembali ke Jakarta minggu depan. Bisakah kita bertemu?"

Amelia meneteskan air mata bahagia. Ia segera membalas email Ben dengan jawaban "Ya!".

Saat ia menutup laptopnya, Amelia tersenyum pada Aether. "Terima kasih, Aether. Kamu benar. Terkadang, solusi paling sederhana adalah yang paling efektif."

"Saya hanya memproses data dan memberikan rekomendasi berdasarkan algoritma. Kebahagiaan Anda adalah hasil dari pilihan Anda sendiri," jawab Aether.

Namun, Amelia tahu bahwa Aether telah membantunya menemukan keberanian untuk membuka hatinya kembali. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia siap menghadapinya bersama Ben.

Minggu berikutnya, Amelia menunggu Ben di bandara. Ia merasa gugup, tapi juga bersemangat. Saat Ben muncul di antara kerumunan orang, senyumnya merekah. Ben terlihat lebih kurus, tapi matanya bersinar seperti dulu. Mereka saling berpelukan erat, seolah tidak ingin melepaskan.

"Aku rindu kamu," bisik Ben.

"Aku juga," balas Amelia.

Mereka berjalan keluar bandara, bergandengan tangan. Amelia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan sempurna. Akan ada tantangan dan rintangan di depan. Tapi kali ini, mereka siap menghadapinya bersama. Mereka akan meng-upgrade cinta mereka, bukan dengan teknologi, tapi dengan kejujuran, komunikasi, dan komitmen yang lebih kuat. Mungkin, error 404: hati tidak ditemukan telah diperbaiki. Sekarang, tinggal menunggu proses download kebahagiaan selesai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI