Algoritma Hati: Mencari Cinta di Antara Nol dan Satu

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:26:37 wib
Dibaca: 157 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya. Di layar laptopnya, barisan kode Python menari-nari, membentuk algoritma rumit yang ia beri nama "SoulMate Finder." Di usianya yang ke-28, Anya adalah seorang programmer jenius, tetapi urusan percintaan? Nol besar. Teman-temannya kerap menjodohkannya, namun semua terasa dipaksakan, seperti bug dalam program yang tak kunjung bisa dipecahkan.

Maka, lahirlah ide gila ini: menciptakan algoritma yang akan membantunya menemukan pasangan ideal. Algoritma ini menganalisis data dari berbagai sumber: preferensi buku, film, musik, hobi, bahkan pola penggunaan media sosial. Ia bahkan memasukkan data dari riwayat kencan online-nya yang suram, mencari pola kegagalan untuk dihindari.

"Baiklah, SoulMate Finder," gumam Anya pada laptopnya, "Mari kita lihat apakah kamu lebih pintar dari Cupid."

Beberapa minggu berlalu, Anya terus menyempurnakan algoritmanya. Ia memasukkan data baru, memperbaiki bug yang muncul, dan menyaksikannya belajar dan beradaptasi. Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu menyaring ribuan profil dan mengerucutkannya menjadi tiga kandidat potensial.

Kandidat pertama, David, seorang astrofisikawan dengan minat yang sama pada sains fiksi dan kopi Ethiopia. Kandidat kedua, Leo, seorang musisi jazz yang gemar mendaki gunung. Kandidat ketiga, Kai, seorang arsitek yang memiliki kecintaan pada desain minimalis dan fotografi jalanan.

Anya terpaku. Algoritma itu seolah membaca pikirannya. Ketiga pria itu memiliki kualitas yang ia idam-idamkan, jauh lebih baik dari kencan-kencan butanya selama ini. Tapi, apakah algoritma benar-benar bisa memprediksi cinta? Bisakah cinta yang kompleks dan irasional direduksi menjadi deretan nol dan satu?

Ia memutuskan untuk memberi kesempatan pada SoulMate Finder. Ia mulai berkencan dengan David. Obrolan mereka mengalir deras tentang alam semesta dan kemungkinan kehidupan di luar sana. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi mimpi. Secara intelektual, mereka sangat cocok. Namun, ada sesuatu yang hilang. Percikan itu, getaran itu, yang membuat jantung berdebar kencang.

Kemudian, Anya berkencan dengan Leo. Musiknya menyentuh jiwanya. Mereka mendaki gunung bersama, menikmati keindahan alam dan keheningan yang menenangkan. Leo membuatnya merasa hidup, bebas, dan berani. Tapi, ada perbedaan mendasar dalam cara mereka memandang dunia. Leo terlalu spontan, Anya terlalu terstruktur.

Terakhir, Anya berkencan dengan Kai. Mereka mengunjungi pameran arsitektur, berdiskusi tentang filosofi desain, dan berjalan-jalan di jalanan kota, mengabadikan momen-momen kecil dengan kamera mereka. Kai memahami Anya tanpa perlu banyak bicara. Ia menghargai kecerdasannya, ambisinya, dan bahkan kegelisahannya. Tapi, Kai terlalu sempurna. Terlalu terkendali. Terlalu...logis.

Setelah ketiga kencan itu, Anya merasa bingung. Algoritmanya telah bekerja dengan sempurna, menyajikan tiga pria yang secara rasional memenuhi semua kriterianya. Tapi, hatinya tidak merasakan apa-apa. Ia merasa seperti seorang ilmuwan yang menganalisis data, bukan seorang wanita yang jatuh cinta.

Frustrasi, Anya kembali ke laptopnya. Ia menatap kode SoulMate Finder, mencari tahu di mana letak kesalahannya. Ia menyadari bahwa algoritmanya hanya fokus pada kesamaan dan keserasian. Ia lupa memasukkan faktor X itu, faktor yang tidak bisa diukur, yang tidak bisa diprediksi: ketidaksempurnaan.

Ia ingat percakapannya dengan seorang teman, seorang seniman yang selalu mengatakan bahwa keindahan terletak pada ketidaksempurnaan. Sebuah retakan dalam vas keramik kuno, goresan pada lukisan tua, nada sumbang dalam lagu yang indah. Ketidaksempurnaan itulah yang membuat sesuatu menjadi unik, otentik, dan berharga.

Dengan inspirasi baru, Anya mulai menulis ulang algoritmanya. Ia menambahkan variabel baru: "Kerentanan." Ia mencari pria yang berani menunjukkan kelemahan mereka, yang jujur tentang ketakutan mereka, yang tidak takut untuk menjadi diri mereka sendiri, meskipun tidak sempurna.

Ketika Anya menjalankan algoritma yang telah diperbarui, hasilnya hanya menunjukkan satu nama: Elias.

Elias adalah seorang tukang kayu yang memiliki toko kecil di dekat apartemen Anya. Mereka sering bertemu di kedai kopi, bertukar senyum canggung dan sapaan singkat. Anya tahu bahwa Elias pendiam dan sedikit kikuk, tidak sekeren astrofisikawan atau semanis musisi. Tapi, ada sesuatu pada matanya yang menarik perhatiannya, sesuatu yang tulus dan jujur.

Anya memberanikan diri untuk mengajak Elias berkencan. Mereka pergi ke museum seni, meskipun Elias mengaku tidak terlalu paham seni modern. Mereka tertawa ketika Elias secara tidak sengaja menyenggol patung dan hampir merusaknya. Mereka berbagi cerita tentang masa kecil mereka, mimpi-mimpi mereka, dan kegagalan-kegagalan mereka.

Anya menyadari bahwa Elias tidak sempurna. Ia gugup, canggung, dan terkadang lupa apa yang ingin ia katakan. Tapi, ketidaksempurnaan itulah yang membuat Anya jatuh cinta padanya. Elias tidak mencoba menjadi siapa pun selain dirinya sendiri. Ia menerima Anya apa adanya, dengan semua keanehan dan kegelisahannya.

Malam itu, Anya kembali ke apartemennya. Ia menatap layar laptopnya, tempat SoulMate Finder masih berjalan. Ia menutupnya dengan senyum. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Cinta ditemukan dalam momen-momen kecil, dalam ketidaksempurnaan, dalam kerentanan. Cinta ditemukan di antara nol dan satu, di ruang abu-abu di antara logika dan perasaan.

Anya bangkit dan menuju jendela. Ia melihat ke bawah, ke jalanan kota yang ramai. Di kejauhan, ia melihat toko kayu Elias. Cahaya masih menyala. Ia tahu bahwa Elias sedang bekerja, menciptakan sesuatu yang indah dari kayu yang sederhana.

Anya menarik napas dalam-dalam dan membiarkan senyumnya melebar. Mungkin, ia telah menemukan algoritmanya sendiri. Algoritma hati. Algoritma yang tidak mencari kesempurnaan, tetapi mencari koneksi. Algoritma yang tidak mencari cinta, tetapi membiarkan cinta menemukannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI