Cinta dalam Jaringan: Algoritma Temukan Jiwa yang Hilang?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 02:40:11 wib
Dibaca: 165 kali
Deburan ombak digital menderu di hatiku, setidaknya itulah yang kurasakan setiap kali notifikasi aplikasi "SoulMate.AI" berkedip di layar ponselku. Aplikasi kencan berbasis algoritma super canggih, yang menjanjikan untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data DNA, preferensi mimpi, dan riwayat penjelajahan internet. Terdengar konyol, bukan? Tapi, setelah tiga tahun menjanda, ditinggal pergi oleh Rina karena kecelakaan tragis, aku rela mencoba apapun.

Aku, Arya, seorang programmer senior di perusahaan teknologi yang sedang naik daun. Dulu, aku meremehkan aplikasi semacam ini. Cinta, bagiku, adalah tentang tatapan mata, sentuhan lembut, dan obrolan larut malam. Bukan tentang kumpulan angka dan persamaan rumit. Namun, Rina telah merenggut keyakinanku. Tanpa dia, dunia terasa seperti kode program yang rusak, penuh dengan bug yang tak kunjung selesai diperbaiki.

"SoulMate.AI" menjanjikan solusi, meskipun terasa seperti solusi tambal sulam. Aku memasukkan semua dataku, menjawab ratusan pertanyaan, bahkan rela mengirimkan sampel DNA. Algoritma bekerja, memproses jutaan data, dan akhirnya... memberikan hasil.

Namanya, Anya. Profesi: Arsitek lanskap. Hobi: Fotografi makro dan mendaki gunung. Nilai kompatibilitas: 98,7%. Angka yang menakjubkan. Foto profilnya menampilkan senyum hangat di bawah sinar matahari, dengan rambut cokelat yang tertiup angin. Dia tampak... hidup.

Aku memberanikan diri mengirimkan pesan singkat. "Halo, Anya. SoulMate.AI bilang kita cocok."

Balasannya datang beberapa menit kemudian. "Halo, Arya. Angka tidak pernah berbohong, kan?"

Percakapan kami mengalir deras seperti sungai di musim hujan. Kami bertukar cerita tentang pekerjaan, hobi, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Aku terkejut betapa nyamannya berbicara dengannya, seolah kami sudah saling kenal sejak lama. Dia mengerti kegelisahanku tentang dunia yang semakin digital, kerinduanku akan alam, dan bahkan, kesedihanku karena kehilangan Rina.

Setelah dua minggu berinteraksi melalui pesan, kami memutuskan untuk bertemu. Aku memilih sebuah kafe di dekat taman kota, tempat yang tenang dan penuh dengan tanaman hijau. Jantungku berdebar kencang saat melihatnya dari kejauhan. Anya persis seperti di fotonya, bahkan lebih cantik. Senyumnya menular, dan matanya memancarkan kebaikan.

Pertemuan itu berlangsung lebih dari tiga jam. Kami berbicara tentang segala hal, dari desain taman hingga makna kehidupan. Aku merasa seperti menemukan oasis di tengah gurun. Anya tertawa lepas mendengar ceritaku tentang kode program yang error, dan aku terpesona dengan pengetahuannya tentang berbagai jenis tanaman.

Malam itu, setelah mengantarnya pulang, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Ada harapan yang tumbuh, seperti tunas kecil yang mencoba menembus kerasnya tanah. Aku mulai percaya, mungkin saja algoritma itu benar. Mungkin saja, Anya adalah jawaban atas doaku.

Minggu-minggu berikutnya dipenuhi dengan kencan. Kami mendaki gunung, mengunjungi museum seni, dan menghabiskan sore hari di tepi pantai. Aku semakin jatuh cinta padanya. Anya adalah sosok yang cerdas, mandiri, dan penuh dengan semangat hidup. Dia membuatku merasa hidup kembali.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah keraguan mulai menghantuiku. Apakah cinta ini nyata? Apakah ini benar-benar karena kami berdua cocok, atau hanya karena algoritma telah memprogram kami untuk saling mencintai? Aku takut kalau semua ini hanya ilusi, sebuah simulasi yang dirancang oleh "SoulMate.AI".

Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keraguanku.

"Anya," kataku, dengan suara bergetar. "Apakah kamu... apakah kamu percaya dengan semua ini? Dengan algoritma itu?"

Anya menatapku dengan tatapan lembut. "Arya, aku percaya dengan apa yang kurasakan. Aku percaya dengan getaran yang ada saat kita bersama. Algoritma mungkin telah mempertemukan kita, tapi yang membuat kita tetap bersama adalah pilihan kita sendiri."

Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku mencintaimu, Arya. Bukan karena algoritma, tapi karena kamu adalah kamu."

Air mata mengalir di pipiku. Aku sadar, selama ini aku terlalu fokus pada teknologi, dan melupakan hal yang paling penting: perasaan. Cinta tidak bisa diukur dengan angka, atau diprogram dengan algoritma. Cinta adalah tentang kepercayaan, pengertian, dan komitmen.

Aku membalas genggamannya. "Aku juga mencintaimu, Anya."

Malam itu, kami memutuskan untuk menghapus aplikasi "SoulMate.AI" dari ponsel kami. Kami tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan kebahagiaan. Kami telah menemukannya dalam diri satu sama lain.

Beberapa tahun kemudian, kami menikah. Pernikahan sederhana di sebuah taman yang indah, dikelilingi oleh teman dan keluarga. Aku melihat Anya berdiri di altar, dengan senyum yang sama yang membuatku jatuh cinta padanya pertama kali.

Saat itu, aku tahu, Rina tidak akan pernah tergantikan. Tapi, Anya telah mengisi kekosongan di hatiku, dan memberiku kesempatan kedua untuk merasakan cinta. Cinta dalam jaringan mungkin telah mempertemukan kami, tapi cinta sejati adalah tentang pilihan, bukan algoritma. Algoritma mungkin menemukan jiwa yang hilang, tapi hati yang memilih untuk mencintai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI