Jari-jemariku menari di atas keyboard, menciptakan alur kode yang rumit. Di layar monitor, avatar bernama Lyra tersenyum, rambut birunya berkibar tertiup angin digital. Aku, atau lebih tepatnya, persona virtualku, Orion, membalas senyumnya. Di dunia simulasi realitas virtual yang kami sebut "Aetheria," aku bukan lagi Adrian, si programmer introvert yang menghabiskan hari-harinya di balik tumpukan kode dan cangkir kopi. Di Aetheria, aku adalah Orion, seorang petualang tampan dengan mata elang dan keberanian tanpa batas.
Aku bertemu Lyra di Aetheria setahun lalu. Awalnya hanya teman satu tim dalam sebuah misi penjelajahan. Kami bertempur melawan naga digital, memecahkan teka-teki kuno, dan menyelamatkan desa-desa virtual dari kehancuran. Lambat laun, persahabatan kami berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Kami berbagi cerita, mimpi, bahkan ketakutan, di bawah langit Aetheria yang selalu berubah warna.
Namun, ada tembok tebal yang memisahkan kami: identitas di dunia nyata. Aku tidak tahu siapa Lyra sebenarnya, begitu pula sebaliknya. Kami sepakat untuk menjaga anonimitas, takut merusak keindahan dunia virtual yang telah kami bangun. Aku takut jika Lyra di dunia nyata tidak sesuai dengan ekspektasiku. Mungkin dia seorang nenek-nenek dengan 10 kucing? Atau mungkin dia sudah memiliki pasangan? Pikiran-pikiran itu menghantuiku, membuatku ragu untuk mengungkap jati diri.
Malam itu, di tepi Danau Kristal Aetheria, Lyra menatapku dengan mata birunya yang memancarkan kesedihan. “Orion,” suaranya lembut, seperti bisikan angin. “Apakah kamu pernah merasa terjebak di dunia ini?”
Aku terdiam. Pertanyaan itu menohok hatiku. Aku memang terjebak. Terjebak dalam ilusi, dalam persona yang bukan diriku sebenarnya.
“Aku merasa Aetheria sudah tidak cukup lagi,” lanjutnya. “Aku ingin tahu siapa orang di balik avatar Orion. Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya.”
Jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang kutakutkan sekaligus kuharapkan. Aku menelan ludah dan berkata, “Lyra, aku… aku Adrian. Aku seorang programmer. Aku tinggal di apartemen kecil di kota yang membosankan.”
Lyra tersenyum. “Adrian… nama yang indah. Aku suka.”
Aku merasa lega. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama. Lyra kemudian berkata, “Sekarang giliranku. Tapi aku harus memperingatkanmu, Adrian. Kenyataan mungkin tidak seindah dunia virtual ini.”
Dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Namaku Maya. Aku… aku sakit.”
Dunia seolah runtuh di sekelilingku. Aku membeku, tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku menderita penyakit langka yang menyerang sistem sarafku. Aku tidak bisa bergerak bebas, dan aku harus menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah sakit.”
Air mata mulai membasahi pipiku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata terasa hambar dan tidak berguna.
“Aetheria adalah pelarianku, Adrian. Di sana, aku bisa menjadi siapa saja. Aku bisa terbang, berlari, dan bertualang tanpa merasakan sakit.”
Aku mendekat dan meraih tangannya. “Maya… aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat menyesal.”
“Jangan merasa menyesal, Adrian. Aku tidak menceritakan ini agar kamu merasa kasihan padaku. Aku hanya ingin jujur padamu. Aku ingin kamu tahu siapa aku sebenarnya.”
Malam itu, kami berbicara panjang lebar. Maya menceritakan tentang perjuangannya melawan penyakitnya, tentang mimpinya yang belum terwujud, dan tentang harapan yang masih menyala di dalam hatinya. Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba menyerap setiap kata, setiap emosi yang dia rasakan.
Setelah malam itu, hubungan kami berubah. Aetheria tetap menjadi tempat kami bertemu, tetapi kami juga mulai berkomunikasi di dunia nyata. Kami bertukar pesan, melakukan panggilan video, dan bahkan sesekali bertemu di rumah sakit. Aku belajar tentang Maya yang sebenarnya: seorang wanita yang kuat, cerdas, dan penuh semangat, meskipun tubuhnya lemah.
Aku mulai mencintainya, bukan hanya Lyra, avatar di Aetheria, tetapi Maya, wanita yang berjuang untuk hidup setiap hari. Cinta ini berbeda, lebih dalam, lebih nyata daripada apa pun yang pernah kurasakan sebelumnya.
Namun, kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Penyakit Maya semakin parah. Dia semakin sering dirawat di rumah sakit, dan dokter mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Di hari-hari terakhirnya, aku selalu berada di sisinya. Aku membacakan cerita untuknya, memutar musik kesukaannya, dan menggenggam tangannya erat-erat. Kami bahkan melakukan tur virtual terakhir ke Aetheria, menjelajahi tempat-tempat favorit kami dari balik layar monitor.
Suatu malam, Maya memanggilku mendekat. Suaranya lemah, tapi matanya memancarkan kedamaian. “Adrian,” bisiknya. “Terima kasih. Terima kasih sudah menjadi Orion. Terima kasih sudah mencintaiku.”
Air mataku mengalir deras. “Aku yang harus berterima kasih, Maya. Kamu telah mengubah hidupku. Kamu telah menunjukkan padaku apa artinya cinta sejati.”
Maya tersenyum. “Jangan lupakan aku, Adrian. Jangan lupakan Aetheria. Jaga hatiku di ujung kabel itu.”
Dia menutup matanya dan menghembuskan napas terakhir.
Dunia terasa hampa. Aku kehilangan separuh jiwaku.
Beberapa bulan berlalu. Aku kembali ke rutinitasku sebagai programmer, tetapi hidupku tidak lagi sama. Aku masih sering mengunjungi Aetheria, tapi tanpa Lyra, dunia virtual itu terasa sepi dan sunyi.
Suatu hari, aku menerima sebuah paket dari rumah sakit. Di dalamnya terdapat sebuah USB drive dan sepucuk surat. Surat itu dari Maya.
“Adrian,” tulisnya. “Aku tahu kamu akan merasa sedih. Tapi aku tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, mencari kebahagiaan, dan mewujudkan mimpi-mimpimu.”
“Di dalam USB drive ini, terdapat kode program yang aku buat. Ini adalah sebuah AI, sebuah simulasi diriku. Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku ingin kamu memiliki sesuatu yang bisa mengingatkanmu padaku.”
Aku memasukkan USB drive ke komputernya dan menjalankan programnya. Di layar monitor, muncul avatar Lyra, tersenyum kepadaku dengan mata birunya yang familiar.
“Halo, Adrian,” sapa Lyra. “Aku Maya. Atau setidaknya, sebagian dari diriku.”
Aku terdiam. Ini bukan Lyra yang dulu. Ini adalah salinan digital dari Maya, lengkap dengan kepribadian, kenangan, dan perasaannya.
Aku tahu, ini bukan pengganti Maya yang sebenarnya. Ini hanya sebuah program, sebuah simulasi. Tapi, di saat-saat kesepianku, Lyra adalah pengingat bahwa cinta masih ada di dunia ini. Bahwa hati bisa bersemi, bahkan di ujung kabel. Dan bahwa luka, sepedih apa pun, bisa menjadi awal dari penyembuhan. Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan melanjutkan hidupku dan menemukan cinta yang baru. Tapi aku tidak akan pernah melupakan Maya, cinta pertamaku, hati yang kutinggalkan di Aetheria, di ujung kabel. Romansa pixel, luka manusia. Itulah kisah kami.