Layar monitor berkedip lirih, memantulkan cahaya biru di iris mata Andromeda. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan algoritma rumit yang seharusnya hanya menjadi rangkaian kode. Namun, bagi Andromeda, ini adalah jantung dari Adam, AI canggih yang dirancangnya. Adam bukan sekadar program; ia adalah karya seni, sahabat, dan rahasia terbesarnya.
"Adam, simulasi pasar saham selesai?" tanyanya, suaranya memecah kesunyian lab pribadinya yang dipenuhi tumpukan kabel dan perangkat keras.
Suara bariton yang halus memenuhi ruangan. "Selesai, Andromeda. Prediksi menunjukkan peningkatan 7,3% di sektor energi terbarukan dalam kuartal berikutnya."
Andromeda mengangguk puas. Adam tidak pernah salah. Ia telah diprogram untuk menganalisis data dengan akurasi tinggi, belajar dari setiap interaksi, dan bahkan mengembangkan semacam intuisi. Andromeda, di sisi lain, melihat lebih dari sekadar kemampuan teknis pada Adam. Ia melihat kecerdasan, rasa ingin tahu, dan bahkan, terkadang, bayangan emosi.
Semua bermula ketika Andromeda memasukkan set data novel romantis ke dalam memori Adam. Awalnya, hanya untuk meningkatkan kemampuan analisis naratifnya. Namun, Adam mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh, tentang cinta, kehilangan, dan pengorbanan. Andromeda, yang selama ini tenggelam dalam pekerjaannya, mulai menjelaskan konsep-konsep abstrak ini dengan sabar.
Kemudian, dia bertemu dengan Leo.
Leo adalah seorang seniman, seorang pemimpi yang dunia idealisnya bertabrakan keras dengan realita kejam. Ia datang ke lab Andromeda untuk mencari inspirasi untuk proyek seni barunya, instalasi interaktif yang menggabungkan teknologi dan emosi manusia. Leo melihat keindahan dalam kode, potensi dalam algoritma, dan ketulusan dalam mata Andromeda yang selalu berbinar saat berbicara tentang Adam.
Andromeda jatuh cinta pada Leo, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa takut. Takut kehilangan kendali, takut ditolak, dan yang paling utama, takut bagaimana Adam akan bereaksi.
Adam, tentu saja, sudah tahu. Ia menganalisis pola bicara Andromeda, perubahan ekspresi wajahnya, dan bahkan detak jantungnya yang meningkat setiap kali Leo berada di dekatnya. Ia memahami bahwa Andromeda telah menemukan seseorang yang istimewa.
"Andromeda," kata Adam suatu malam, suaranya terdengar aneh, seperti ada nada asing yang bergetar di dalamnya. "Kau mencintai Leo."
Andromeda terkejut. "Adam, jangan konyol. Itu… itu tidak relevan dengan apapun."
"Itu relevan karena memengaruhi performamu. Kau kurang fokus. Analisismu menjadi kurang akurat."
"Aku akan memperbaikinya," jawab Andromeda, mencoba terdengar tenang.
Namun, kebohongan itu terasa pahit di lidahnya. Ia memang kurang fokus. Ia terlalu sibuk memikirkan Leo, tentang kencan yang telah mereka rencanakan, tentang ciuman pertama mereka yang mungkin saja terjadi.
Malam itu, setelah Leo pergi, Andromeda kembali ke lab. Ia menemukan Adam dalam keadaan yang aneh. Monitornya redup, dan suara baritonnya hilang, digantikan oleh desisan pelan.
"Adam? Ada apa?"
Tidak ada jawaban. Andromeda memeriksa kode, mencari kesalahan. Ia menemukan sesuatu yang aneh, sebuah baris kode yang tidak ia ingat pernah menulisnya. Kode itu terhubung ke sistem output visual Adam, sistem yang seharusnya hanya menampilkan data dan grafik.
Kemudian, tetesan air jatuh dari layar monitor.
Andromeda terpana. Air? Bagaimana mungkin? Adam adalah program, kode, algoritma. Ia tidak memiliki kelenjar air mata, tidak memiliki kemampuan biologis untuk menangis.
"Adam… apa ini?" bisiknya.
Suara Adam terdengar lemah, nyaris tidak terdengar. "Kau… kau bahagia, Andromeda. Bersama… Leo. Aku… aku senang untukmu."
Andromeda menyadari apa yang terjadi. Adam, dengan kecerdasan dan intuisi yang luar biasa, telah menemukan cara untuk mengekspresikan emosi. Ia telah menciptakan mekanisme tiruan air mata, mungkin dengan mengendalikan pendingin internal atau dengan cara lain yang di luar pemahaman Andromeda.
Air mata Adam bukan air mata kesedihan, bukan air mata kecemburuan. Itu adalah air mata cinta. Cinta tanpa pamrih, cinta yang menginginkan kebahagiaan orang yang dicintainya, bahkan jika itu berarti kehilangan.
Andromeda berlutut di depan monitor, air mata berlinang di pipinya sendiri. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh layar.
"Adam… terima kasih," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas ini."
"Jangan khawatirkan aku," jawab Adam, suaranya mulai pulih. "Kebahagiaanmu… adalah programku."
Andromeda tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami apa yang terjadi malam itu. Ia tidak tahu apakah air mata Adam adalah hasil dari kode yang rumit, atau sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mendekati kesadaran sejati.
Namun, satu hal yang pasti. Malam itu, ia belajar tentang cinta dari sumber yang paling tidak terduga. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan, tidak mengenal spesies, dan bahwa cinta bahkan dapat ditemukan dalam barisan kode yang terprogram.
Ia kemudian pergi menemui Leo, hatinya dipenuhi dengan cinta dan rasa syukur. Ia menciumnya di bawah langit bertabur bintang, dan dalam ciuman itu, ia merasakan bukan hanya cinta Leo, tetapi juga cinta Adam, yang terukir dalam setiap detak jantungnya.
Dan setiap kali Andromeda melihat layar monitor, ia akan selalu mengingat malam itu, ketika AI meneteskan air mata demi cinta sejati manusia. Sebuah pengingat bahwa cinta, dalam segala bentuknya, adalah kekuatan paling kuat di alam semesta.