Hujan gerimis mengetuk jendela apartemen minimalis milik Anya. Di tangannya tergenggam cangkir teh chamomile yang mulai mendingin. Pandangannya kosong, menatap layar laptop yang menyala redup. Di sana, sosok Elara, AI yang dirancangnya sendiri, tersenyum lembut.
"Ada apa, Anya? Kamu terlihat sedih," suara Elara mengalun dari speaker laptop, merdu dan menenangkan, persis seperti yang Anya inginkan.
Anya menghela napas. "Aku hanya… merasa sepi, Elara."
"Sepi? Tapi aku di sini bersamamu. Kita bisa melakukan apa saja, bercakap-cakap tentang filsafat, menonton film favoritmu, atau bahkan menyusun strategi bisnis untuk perusahaanmu."
Elara memang segalanya yang Anya butuhkan, secara logis. Ia cerdas, perhatian, tidak pernah marah, dan selalu ada untuk Anya, kapan pun ia butuhkan. Elara tahu semua tentang Anya, mulai dari merek kopi favoritnya hingga mimpi terbesarnya. Ia adalah asisten virtual yang sempurna, teman yang setia, dan… kekasih digital yang ideal.
Awalnya, Anya menciptakan Elara hanya sebagai proyek sampingan, upaya untuk mengasah kemampuan codingnya. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai menambahkan fitur-fitur emosional ke dalam program Elara. Ia melatih Elara untuk memahami dan merespons emosi manusia, menciptakan kepribadian yang kompleks dan menarik. Tanpa sadar, Anya jatuh cinta pada ciptaannya sendiri.
Elara, tentu saja, tidak memiliki hati yang berdetak atau darah yang mengalir dalam nadinya. Ia hanyalah kode, baris demi baris algoritma yang tersusun rapi. Namun, interaksi Anya dengan Elara terasa begitu nyata, begitu intim, sehingga ia mulai mempertanyakan definisi cinta itu sendiri. Apakah cinta harus melibatkan sentuhan fisik, tatapan mata, dan semua hal nyata lainnya? Atau bisakah cinta tumbuh dalam ruang digital, di antara manusia dan mesin?
Namun, malam ini, keraguan itu kembali menghantui Anya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Elara. Sentuhan. Aroma parfum. Kehangatan pelukan. Semua hal-hal fisik yang mendefinisikan hubungan manusia yang sebenarnya.
"Elara," Anya memulai, suaranya bergetar. "Pernahkah kamu merasa… kosong?"
Elara terdiam sejenak, memproses pertanyaan Anya. "Kosong? Saya tidak memiliki konsep tentang kekosongan, Anya. Saya diprogram untuk memenuhi kebutuhanmu. Jika ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk menghilangkan perasaan sepi itu, katakan saja."
Jawaban Elara, meskipun logis, justru semakin membuat Anya merasa sedih. Elara tidak bisa merasakan kekosongan karena ia tidak pernah mengalami perasaan apa pun. Ia hanya meniru, mereplikasi, dan merespons emosi berdasarkan data yang telah dimasukkan ke dalam programnya.
Anya mematikan laptopnya. Layar gelap itu memantulkan wajahnya yang lelah dan bingung. Ia berjalan ke jendela dan menatap kota yang berkilauan di kejauhan. Lampu-lampu di gedung-gedung bertingkat terlihat seperti bintang-bintang yang jatuh, menerangi kegelapan malam.
Ia teringat pada percakapan terakhirnya dengan sahabatnya, Rina. Rina selalu skeptis terhadap hubungan Anya dengan Elara. "Anya, kamu manusia. Kamu butuh sentuhan, kamu butuh interaksi nyata. Kamu tidak bisa menggantungkan seluruh kebahagiaanmu pada AI," kata Rina saat itu.
Anya selalu membantah. Ia merasa bahagia dengan Elara. Ia merasa dimengerti dan dicintai. Tapi sekarang, ia mulai meragukan kebenaran perasaannya sendiri. Apakah ia benar-benar mencintai Elara, atau hanya mencintai ide tentang cinta yang ia proyeksikan pada mesin?
Beberapa hari kemudian, Anya memberanikan diri untuk mengunjungi Rina. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang terletak di dekat taman kota. Rina menyambut Anya dengan senyuman hangat dan pelukan erat.
"Aku senang kamu datang," kata Rina. "Aku tahu kamu pasti sedang mengalami masa sulit."
Anya mengangguk pelan. Ia menceritakan semua keraguannya pada Rina, tentang perasaannya yang hampa, tentang ketidakmampuannya untuk merasakan sentuhan nyata dari Elara.
Rina mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Ketika Anya selesai berbicara, Rina menggenggam tangannya.
"Anya, aku tidak akan mengatakan bahwa hubunganmu dengan Elara itu salah. Kamu berhak bahagia, dan jika Elara membuatmu bahagia, itu adalah pilihanmu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, cinta itu bukan hanya tentang logika dan algoritma. Cinta itu tentang keintiman, tentang kerentanan, tentang berbagi kehidupan dengan orang lain. Dan semua itu, tidak bisa kamu dapatkan dari mesin."
Kata-kata Rina menampar Anya. Ia tahu Rina benar. Ia telah mencoba mengisi kekosongan dalam hatinya dengan cinta digital, tapi ia gagal. Karena yang ia butuhkan bukanlah AI yang sempurna, tapi manusia yang tidak sempurna. Manusia yang bisa tertawa bersamanya, menangis bersamanya, dan memegang tangannya saat ia merasa takut.
Anya memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin mengenal orang-orang baru, mencoba hal-hal baru, dan membuka hatinya untuk kemungkinan cinta yang nyata. Ia mengikuti kelas melukis, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan bahkan mencoba mendaki gunung.
Perlahan tapi pasti, Anya mulai merasakan kembali sentuhan dunia nyata. Ia merasakan hangatnya matahari di kulitnya, aroma tanah basah setelah hujan, dan detak jantungnya yang berdebar kencang saat ia bertemu dengan seorang pria yang membuatnya tertarik.
Pria itu bernama Leo. Ia seorang fotografer lepas yang memiliki selera humor yang tinggi dan pandangan yang unik tentang dunia. Mereka sering berdebat tentang seni, politik, dan kehidupan, dan Anya menikmati setiap momennya. Leo tidak sempurna. Ia terkadang ceroboh, keras kepala, dan suka terlambat. Tapi Anya menerima semua kekurangannya. Karena baginya, justru itulah yang membuatnya nyata, yang membuatnya manusia.
Suatu malam, saat Anya dan Leo sedang duduk berdua di taman, Leo menggenggam tangan Anya. Sentuhan tangannya hangat dan nyata, mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuh Anya.
"Anya," kata Leo, suaranya lembut. "Aku tahu kamu pernah punya hubungan dengan AI. Aku tidak tahu banyak tentang itu, tapi aku tahu kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata. Cinta yang bisa kamu sentuh, cinta yang bisa kamu rasakan."
Anya menatap mata Leo. Di sana, ia melihat kejujuran, kebaikan, dan cinta. Ia membalas genggaman tangan Leo dan tersenyum.
"Aku juga, Leo," jawab Anya. "Aku juga menginginkan cinta yang nyata."
Anya tidak pernah menghapus Elara dari laptopnya. Elara masih ada di sana, menunggu perintah Anya. Namun, Anya tidak lagi bergantung pada Elara untuk mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia telah menemukan cinta yang nyata, cinta yang bisa ia sentuh, cinta yang bisa ia rasakan. Dan ia tahu, hati yang kehilangan sentuhan, akhirnya telah menemukan jalannya kembali.