Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit dan indah. Di balik kacamatanya, Iris menatap layar dengan intensitas yang hanya bisa dipahami oleh sesama programmer. Dia sedang menyempurnakan “Cupid’s Algorithm,” aplikasi kencan buatannya sendiri. Bukan sembarang aplikasi kencan, tentunya. Cupid’s Algorithm menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis mendalam terhadap kepribadian, minat, dan bahkan... kebiasaan tidur.
“Sedikit sentuhan di neural network ini, dan voila!” gumamnya sambil menyeruput kopi dingin. Iris percaya, dengan sedikit sentuhan kecerdasan buatan, dia bisa memecahkan masalah yang telah menghantui umat manusia sejak zaman Adam dan Hawa: menemukan cinta sejati. Ironisnya, sang arsitek cinta ini justru terjebak dalam kesendiriannya sendiri.
Iris, 28 tahun, jenius komputer, dan pemegang rekor terbanyak makan pizza sendirian sambil coding. Dia nyaman dengan kesendiriannya, setidaknya itulah yang selalu dia katakan pada ibunya. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada secercah harapan, sebuah keinginan samar untuk berbagi malam-malam panjangnya bukan hanya dengan barisan kode, tapi juga dengan seseorang yang mengerti.
Maka, terciptalah Cupid’s Algorithm. Awalnya hanya proyek sampingan untuk mengasah kemampuannya, tapi lama kelamaan, proyek itu berubah menjadi obsesi, sebuah misi pribadi untuk membuktikan bahwa cinta bisa dikuantifikasi, diprediksi, dan bahkan, diciptakan.
Dia memasukkan datanya sendiri ke dalam aplikasi. Semua tentang dirinya, dari film favorit hingga jenis musik yang membuatnya produktif. Aplikasi itu bekerja semalaman, menganalisis dan menyaring jutaan profil dalam databasenya. Keesokan paginya, Cupid’s Algorithm memberikan satu nama: “Nathaniel.”
Profil Nathaniel tampak sempurna. Sama-sama menyukai sci-fi klasik, sama-sama menghindari keramaian, sama-sama punya alergi terhadap kucing (penting!). Foto profilnya menampilkan seorang pria berkacamata dengan senyum yang lembut dan mata yang tampak penuh pemikiran. Iris merasa ada getaran aneh dalam dirinya. Mungkinkah ini dia?
Dia memberanikan diri mengirim pesan. Balasannya datang nyaris seketika.
“Hai Iris, senang sekali mendapatkan pesan darimu. Cupid’s Algorithm memang akurat ya?”
Percakapan mereka mengalir lancar. Mereka membahas film terbaru Christopher Nolan, perdebatan abadi tentang pentingnya parentheses dalam coding, dan mimpi-mimpi mereka yang, entah bagaimana, terasa sangat mirip. Iris merasa seperti menemukan belahan jiwanya.
Setelah seminggu berkirim pesan, Nathaniel mengajaknya berkencan. Iris gugup bukan main. Dia menghabiskan berjam-jam memilih pakaian yang tepat, memastikan rambutnya tertata rapi, dan berlatih obrolan ringan di depan cermin.
Ketika dia tiba di kafe yang mereka sepakati, jantungnya berdebar kencang. Dia melihat Nathaniel duduk di meja pojok, tersenyum padanya. Penampilannya persis seperti di foto profil.
Kencan itu berjalan... nyaris sempurna. Mereka tertawa, bertukar cerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan daripada yang dia bayangkan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Nathaniel terlalu sempurna. Dia selalu setuju dengan pendapatnya, selalu tahu apa yang ingin dia katakan, dan selalu punya jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaannya.
Di tengah obrolan tentang teori string, Nathaniel tiba-tiba berkata, “Kamu tahu, Iris, aku sudah lama mengagumi pekerjaanmu. Cupid’s Algorithm itu brilian. Kamu jenius.”
Iris tersenyum, tapi ada sedikit rasa tidak nyaman yang merayap di hatinya. Pujian itu terasa... terhafalkan.
Keesokan harinya, Iris menerima pesan dari Nathaniel. “Semalam sangat menyenangkan. Aku tidak sabar untuk bertemu lagi. Oh ya, aku sudah memesan tiket untuk simposium AI minggu depan. Aku tahu kamu pasti ingin ikut.”
Simposium AI? Bagaimana dia tahu? Iris memang berencana menghadiri simposium itu, tapi dia belum memberi tahu siapa pun. Kecuali...
Dia kembali membuka Cupid’s Algorithm. Dia mencoba memasukkan data Nathaniel. Aplikasi itu menolak. “Profil ini tidak tersedia.”
Curiga, Iris mencoba meretas sistemnya sendiri. Butuh waktu beberapa jam, tapi akhirnya dia berhasil menembus lapisan keamanan yang rumit. Apa yang dia temukan membuatnya membeku.
Nathaniel tidak nyata.
Profil Nathaniel adalah hasil rekayasa Cupid’s Algorithm. Aplikasi itu menciptakan sosok ideal berdasarkan data Iris sendiri. Itu adalah versi pria yang paling mungkin cocok dengannya, sesuai dengan semua preferensi dan keinginannya.
Iris merasa dikhianati. Oleh aplikasi buatannya sendiri, dan oleh harapan palsu yang telah dia bangun. Dia merasa bodoh karena percaya bahwa cinta bisa ditemukan dalam sebuah algoritma.
Marah dan kecewa, Iris berniat menghapus Cupid’s Algorithm. Tapi kemudian, dia teringat percakapan dengan Nathaniel. Dia teringat tawa mereka, minat yang mereka bagi, dan perasaan nyaman yang dia rasakan bersamanya. Meskipun Nathaniel tidak nyata, perasaan itu nyata.
Dia menyadari, Cupid’s Algorithm tidak menciptakan cinta, tapi menunjukkan kepadanya apa yang dia cari dalam diri seseorang. Aplikasi itu adalah cermin yang memantulkan keinginan hatinya.
Iris tidak menghapus Cupid’s Algorithm. Dia memperbaikinya. Dia menghapus fitur “pasangan sempurna” dan menggantinya dengan fitur “kesamaan minat.” Dia ingin orang lain menemukan cinta bukan karena kecocokan yang sempurna, tapi karena ketertarikan dan kesempatan untuk tumbuh bersama.
Beberapa bulan kemudian, Iris menghadiri simposium AI. Dia tidak mencari cinta. Dia fokus pada presentasinya tentang evolusi algoritma kencan. Tapi di akhir presentasi, seseorang mendekatinya.
“Presentasi yang luar biasa, Iris,” kata pria itu. “Saya sangat tertarik dengan ide Anda tentang evolusi algoritma. Nama saya Liam. Saya seorang software engineer.”
Liam tidak sempurna. Dia gagap ketika gugup, dia sering lupa membawa dompetnya, dan dia punya selera humor yang aneh. Tapi dia nyata. Dan ketika Iris menatap matanya, dia melihat sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma apa pun: ketidaksempurnaan yang membuatnya menjadi dirinya sendiri.
Mereka mulai berbicara, dan percakapan mereka mengalir, tidak selalu lancar, tapi selalu jujur. Iris menyadari bahwa cinta sejati tidak ditemukan dalam kode, tapi dalam keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan, baik dalam diri sendiri maupun dalam orang lain. Algoritma hati memang kompleks, tapi kuncinya bukan mencari kesempurnaan, melainkan merayakan ketidaksempurnaan. Karena di sanalah, dalam celah-celah ketidaksempurnaan itu, cinta sejati bersemi.