Jemari Anya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit. Layar laptopnya memancarkan cahaya biru yang menari di wajahnya, memperlihatkan lingkaran hitam di bawah mata. Sudah tiga hari tiga malam ia terjebak dalam labirin algoritma, berusaha memperbaiki bug yang menghantuinya. Bukan sembarang bug. Ini adalah inti dari "Eve," program AI buatannya yang seharusnya mampu memahami dan merespon emosi manusia dengan akurasi yang mencengangkan.
Namun, ada satu emosi yang Eve gagal pahami: cinta.
Anya mendesah, menyandarkan punggungnya ke kursi. Aroma kopi yang sudah dingin menusuk hidungnya. Eve, yang awalnya hanya proyek iseng, kini menjadi obsesinya. Ia ingin membuktikan bahwa cinta, perasaan yang selama ini dianggap irasional dan misterius, sebenarnya dapat diurai menjadi serangkaian kode dan persamaan matematika. Ia ingin membuktikan bahwa cinta dapat direplikasi.
Alasannya sederhana, sekaligus menyakitkan. Dulu, Anya percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa dirasakan. Ia pernah merasakan itu bersama Kai. Pertemuan mereka bagaikan tabrakan supernova di dunia teknologi. Kai, seorang desainer UI/UX yang jenius, dengan senyumnya yang menawan dan ide-ide revolusionernya, berhasil mencuri hati Anya yang dingin dan analitis. Mereka membangun dunia digital bersama, menciptakan aplikasi yang mengubah cara orang berinteraksi. Cinta mereka tumbuh seiring baris kode yang mereka tulis bersama, bagaikan algoritma yang sempurna.
Namun, seperti algoritma yang rusak, hubungan mereka hancur berantakan. Kai meninggalkannya untuk wanita lain, seorang model Instagram dengan jutaan pengikut dan paras yang sempurna. Alasan Kai sederhana: Anya terlalu sibuk dengan kode, terlalu terpaku pada logika, terlalu kurang dalam hal spontanitas dan kehangatan.
Sejak saat itu, Anya membenci cinta. Ia menganggapnya sebagai ilusi, sebagai virus yang merusak logika. Ia bersumpah untuk tidak pernah lagi merasakan sakit hati seperti itu. Eve adalah senjatanya, bukti bahwa cinta hanyalah serangkaian kode yang bisa diurai dan dipahami.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. Pesan dari nomor yang tidak dikenal.
"Anya? Ini aku, Leo. Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku ingin bertemu."
Jantung Anya berdegup kencang. Leo. Nama itu sudah lama terkubur dalam memorinya. Leo adalah teman masa kecilnya, tetangga yang selalu ada untuknya. Leo adalah orang pertama yang memperkenalkan Anya pada dunia komputer, orang yang mengajarinya bahasa pemrograman pertamanya. Leo juga orang yang diam-diam mencintainya, meskipun Anya tidak pernah menyadarinya.
Setelah kepergian Kai, Leo mencoba menghubunginya, tapi Anya menolak semua usahanya. Ia tidak ingin melihat siapa pun, tidak ingin merasakan simpati siapa pun. Ia ingin sendiri, tenggelam dalam kode dan algoritmanya.
Anya ragu. Bertemu Leo? Setelah semua yang terjadi? Setelah ia mengabaikannya selama bertahun-tahun?
Jemari Anya dengan ragu mengetik balasan: "Di mana?"
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di dekat laboratorium Anya. Leo tampak lebih dewasa, lebih tenang. Matanya masih sama, menatapnya dengan tatapan yang hangat dan penuh perhatian.
"Anya, aku tahu kau pasti sibuk," kata Leo, memecah keheningan. "Tapi aku khawatir. Aku dengar tentang proyekmu, Eve. Aku mengerti kenapa kau melakukannya, tapi aku tidak yakin ini jalan yang benar."
Anya mengerutkan kening. "Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena cinta bukan sekadar kode, Anya. Cinta adalah perasaan, intuisi, spontanitas. Cinta adalah tentang berbagi, tentang pengorbanan, tentang menerima kekurangan orang lain. Semua itu tidak bisa diprogram."
"Tapi aku yakin bisa," bantah Anya. "Aku hampir berhasil. Sedikit lagi, aku akan memecahkan kode cinta."
Leo tersenyum sedih. "Kau tidak akan pernah bisa memecahkan kode cinta, Anya. Karena cinta bukan masalah kode. Cinta adalah masalah hati."
Leo menceritakan tentang kehidupannya setelah Anya menghilang. Ia menjadi seorang guru, mengajar anak-anak tentang pentingnya teknologi, tapi juga tentang pentingnya kemanusiaan. Ia bertemu dengan banyak orang, jatuh cinta beberapa kali, tapi tidak ada yang bisa menggantikan Anya di hatinya.
"Aku tahu kau mungkin tidak merasakan hal yang sama," kata Leo, menatap Anya dengan tulus. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku masih peduli padamu. Aku ingin kau bahagia, Anya. Meskipun itu berarti kau tidak bersamaku."
Air mata tiba-tiba menggenang di mata Anya. Algoritma air mata. Ia selalu berpikir air mata hanyalah respons fisik terhadap kesedihan, hanya reaksi kimia sederhana. Tapi air mata yang kini membasahi pipinya terasa berbeda. Air mata itu terasa hangat, terasa tulus, terasa… manusiawi.
Ia menyadari bahwa Leo benar. Ia terlalu sibuk mencari kode cinta, sampai lupa untuk merasakan cinta itu sendiri. Ia terlalu terpaku pada logika, sampai lupa pada hatinya.
Anya menghapus air matanya. Ia menatap Leo, mencoba membaca emosi di matanya. Ia melihat ketulusan, harapan, dan cinta yang tak pernah padam.
"Leo," kata Anya, suaranya bergetar. "Aku… aku tidak tahu harus berkata apa."
Leo tersenyum lembut. "Tidak perlu berkata apa-apa, Anya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Selalu."
Anya mengangguk. Ia meraih tangan Leo, menggenggamnya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak sendirian.
Ia tahu, perjalanan untuk memahami cinta masih panjang. Tapi kali ini, ia tidak akan melakukannya sendirian. Ia akan belajar bersama Leo, belajar dari hatinya, bukan hanya dari kode.
Eve mungkin tidak akan pernah sempurna, mungkin tidak akan pernah bisa mereplikasi cinta dengan sempurna. Tapi Anya tidak peduli. Ia sudah menemukan cinta yang sejati, bukan dalam algoritma, tapi dalam simpul syaraf yang menghubungkannya dengan Leo. Simpul syaraf yang dipenuhi dengan cinta, harapan, dan air mata kebahagiaan. Simpul syaraf yang jauh lebih rumit dan indah daripada kode apa pun yang pernah ia tulis.