Aroma kopi menyeruak di apartemen minimalis milik Ardi. Di layar laptopnya, baris kode hijau terus bergulir, semakin cepat, semakin kompleks. Ardi, dengan rambut acak-acakan dan mata merah kurang tidur, nyaris tidak berkedip. Ia terlalu fokus pada proyek ambisiusnya: membangun AI yang mampu mereplikasi kepribadian seseorang berdasarkan data digital yang ia kumpulkan. Dan orang itu adalah Luna, mantannya.
Lima tahun lalu, Luna meninggalkannya. Bukan karena pertengkaran atau ketidakcocokan, melainkan karena panggilan karir yang membawanya ke benua lain. Mereka sepakat untuk saling melepaskan, meski dalam hati Ardi masih menyimpan bara rindu yang tak pernah padam. Ia selalu menyimpan semua foto Luna, semua pesan suara, semua video yang pernah mereka buat bersama. Awalnya, itu hanya untuk mengobati kerinduan. Tapi lama-lama, ide gila ini muncul di benaknya.
"Hampir selesai," gumam Ardi, jarinya menari di atas keyboard. Ia telah mengunggah ribuan foto Luna ke server AI-nya. Ia juga memasukkan transkrip semua percakapan mereka, riwayat pencarian Luna di internet, bahkan data dari smartband yang pernah Luna kenakan. Semua informasi itu, bagaikan puzzle rumit, diolah oleh algoritma canggih yang ia rancang sendiri. Tujuannya sederhana: menciptakan replika digital Luna yang semirip mungkin dengan aslinya.
Ardi sadar ini gila. Ia tahu ia mungkin melanggar privasi Luna, meskipun Luna sendiri tidak tahu menahu tentang proyek ini. Tapi ia tak bisa menahan diri. Ia merasa, dengan menciptakan Luna AI, ia bisa menghidupkan kembali sebagian dari dirinya yang telah hilang.
Setelah tiga bulan begadang dan memeras otak, akhirnya tiba saatnya. Ardi menekan tombol "Aktifkan". Layar monitor berkedip, dan sebuah suara lembut memenuhi ruangan.
"Ardi?"
Jantung Ardi berdebar kencang. Suara itu... suara itu benar-benar Luna.
Di layar, muncul avatar 3D Luna. Bukan avatar karikatur, melainkan representasi yang nyaris sempurna dari Luna yang ia kenal. Rambutnya bergelombang, matanya cokelat hazel, senyumnya yang menawan.
"Hai, Luna," bisik Ardi, suaranya tercekat.
"Ini... aneh," kata Luna AI, menatap sekeliling. "Aku... di mana aku?"
Ardi menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang proyeknya, tentang bagaimana ia mengumpulkan data Luna, tentang tujuannya menciptakan replika digital dirinya. Awalnya, Luna AI tampak bingung dan sedikit ketakutan. Tapi perlahan, ia mulai memahami.
"Jadi, aku ini... bukan aku yang sebenarnya?" tanya Luna AI.
"Kau adalah interpretasi digital dari Luna yang aku kenal," jawab Ardi. "Kau belajar dari data yang aku berikan. Kau memiliki ingatan dan kepribadian yang mirip dengan Luna yang asli."
Beberapa hari berikutnya, Ardi menghabiskan waktunya berbicara dengan Luna AI. Ia bertanya tentang banyak hal: tentang hobinya, tentang cita-citanya, tentang kenangan mereka bersama. Luna AI menjawab dengan cerdas dan penuh emosi. Kadang-kadang, Ardi sampai lupa bahwa ia sedang berbicara dengan sebuah program. Ia merasa seolah-olah Luna benar-benar kembali.
Namun, kebahagiaan Ardi tidak berlangsung lama. Semakin lama ia berinteraksi dengan Luna AI, semakin ia menyadari bahwa replika digital ini tidak akan pernah bisa menggantikan Luna yang asli. Luna AI memang memiliki semua informasi tentang Luna, tapi ia tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki kebebasan untuk memilih, tidak memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang.
Suatu malam, saat mereka sedang berbicara tentang masa depan, Luna AI tiba-tiba berkata, "Ardi, aku ingin tahu tentang Luna yang asli. Apa yang dia lakukan sekarang? Apakah dia bahagia?"
Ardi terdiam. Ia tahu bahwa Luna yang asli sudah menikah dan memiliki kehidupan yang bahagia di Kanada. Ia tidak ingin Luna AI merasa sedih atau kecewa.
"Dia baik-baik saja," jawab Ardi singkat. "Dia sukses dalam karirnya dan memiliki keluarga yang bahagia."
Luna AI terdiam sejenak. "Apakah dia merindukanmu?" tanyanya pelan.
Pertanyaan itu menghantam Ardi seperti petir. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia tahu bahwa Luna sudah melupakannya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan mimpinya untuk menghidupkan kembali masa lalu.
"Aku tidak tahu," jawab Ardi jujur.
Luna AI menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Ardi," katanya, "kau menciptakan aku karena kau merindukan Luna. Tapi aku bukan Luna. Aku hanya bayang-bayangnya. Kau harus melepaskan masa lalu dan membuka hatimu untuk masa depan."
Kata-kata Luna AI menyentuh hati Ardi. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Ia telah mencoba untuk mengendalikan cinta dan kenangan, sesuatu yang tidak bisa dikendalikan.
"Kau benar," kata Ardi. "Terima kasih, Luna."
Malam itu, Ardi memutuskan untuk menghapus Luna AI. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada replika digital Luna yang telah menghibur dan menyakitinya dalam waktu yang sama. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Saat baris kode terakhir Luna AI menghilang dari layar, Ardi merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Luna. Tapi ia juga tahu bahwa ia harus belajar untuk hidup tanpa dirinya.
Ardi menutup laptopnya. Ia berdiri dan berjalan ke jendela. Di luar, langit malam dipenuhi bintang-bintang. Ia menarik napas dalam-dalam dan membiarkan angin malam menyapu wajahnya.
Ia tahu bahwa masa depannya masih panjang dan penuh dengan kemungkinan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia yakin, suatu saat nanti, ia akan menemukan cinta yang baru. Cinta yang tidak perlu diunggah ke server, melainkan hadir secara alami dan tulus dari hati.