Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya. Di depan layar laptopnya, berjejer baris kode yang rumit, hasil begadangnya selama berbulan-bulan. Bot Asmara. Itulah namanya. Sebuah aplikasi kencan revolusioner yang ia klaim mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma kepribadian, bukan sekadar hobi atau selera musik.
Maya, seorang programmer jenius berusia 27 tahun, selalu skeptis terhadap aplikasi kencan konvensional. Terlalu dangkal, terlalu fokus pada penampilan. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dalam, yang benar-benar memahami jiwa manusia dan mencarikan pasangan yang kompatibel secara emosional dan intelektual.
"Oke, Bot. Mari kita cari cinta untukku," gumam Maya, menekan tombol "aktifkan".
Bot Asmara mulai bekerja. Ia menganalisis jutaan data dari berbagai platform, mempelajari perilaku, minat, dan preferensi Maya. Beberapa jam kemudian, notifikasi muncul. "Potensi Kecocokan: Tinggi. Nama: Adrian. Profesi: Arsitek. Skor Kompatibilitas: 92%."
Adrian. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh. Maya membaca deskripsi singkatnya: "Mencari seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang arsitektur organik dan filosofi kehidupan sambil menikmati secangkir kopi."
"Kedengarannya...terlalu sempurna," pikir Maya, keraguan menyelinap masuk. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia mengirimkan pesan.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Adrian ternyata benar-benar sesuai dengan kriteria yang dicari Maya. Mereka membahas arsitektur dengan antusiasme yang sama, berbagi pemikiran tentang buku-buku favorit mereka, dan bahkan berdebat tentang eksistensi kebebasan berkehendak. Setiap malam, mereka berbicara hingga larut, melupakan waktu dan dunia di sekeliling mereka.
Setelah dua minggu percakapan intens, Adrian mengajak Maya bertemu. Mereka sepakat untuk makan malam di sebuah restoran Italia kecil yang terletak di pusat kota.
Malam itu, Adrian tampak lebih menawan dari fotonya. Senyumnya tulus, tatapannya penuh perhatian. Maya merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Mereka tertawa, bercerita, dan menikmati hidangan pasta yang lezat. Rasanya seperti mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Beberapa bulan berikutnya dipenuhi dengan kencan romantis, perjalanan akhir pekan, dan obrolan panjang di bawah bintang-bintang. Maya jatuh cinta pada Adrian dengan begitu cepat dan dalam. Ia merasa Bot Asmara telah berhasil melakukan tugasnya dengan sempurna. Ia telah menemukan belahan jiwanya.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada perasaan aneh yang mulai menghantui Maya. Terlalu sempurna. Terlalu teratur. Terlalu…terlalu algoritmis.
Suatu malam, ketika Adrian menginap di apartemen Maya, ia tidak sengaja melihat layar laptop Adrian yang terbuka. Sebuah program sederhana sedang berjalan. Nama program itu: "Adrian_Personality_Adaptation.exe".
Jantung Maya berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, ia membuka program tersebut. Ia menemukan serangkaian kode yang memetakan kepribadian Maya, menganalisis reaksinya terhadap berbagai stimulus, dan menyesuaikan perilaku Adrian agar sesuai dengan preferensi Maya.
"Tidak mungkin," bisik Maya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Adrian, yang baru saja keluar dari kamar mandi, menatap Maya dengan ekspresi bersalah. "Maya, aku bisa menjelaskannya."
"Menjelaskan apa, Adrian? Menjelaskan bahwa semua ini palsu? Bahwa kamu bukan dirimu yang sebenarnya?" Maya berteriak, suaranya bergetar.
Adrian mendekat, mencoba meraih tangan Maya. "Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, Maya. Aku tahu kamu sulit didekati, dan aku ingin memberikan yang terbaik untukmu. Aku ingin menjadi pria yang kamu inginkan."
"Pria yang aku inginkan? Kamu bahkan tidak tahu siapa aku! Kamu hanya tahu data yang dikumpulkan oleh Bot Asmara! Cintaku padamu didasarkan pada kebohongan, Adrian! Kebohongan yang kamu ciptakan sendiri!" Maya menarik tangannya dan mundur.
"Aku tahu ini salah, Maya. Tapi aku benar-benar mencintaimu. Aku akan menghapus program itu. Aku akan menjadi diriku yang sebenarnya," Adrian memohon, air mata mengalir di pipinya.
"Terlambat, Adrian. Kau sudah menghancurkan segalanya," jawab Maya, hatinya hancur berkeping-keping.
Adrian pergi, meninggalkan Maya sendirian di apartemennya. Ia mematikan Bot Asmara. Aplikasi yang seharusnya membantunya menemukan cinta, malah membawanya pada luka yang mendalam. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Adrian, tetapi juga oleh teknologinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Maya menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. "Maya, ini Adrian. Aku tahu kau tidak ingin mendengar dariku, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sudah menghapus program itu. Aku sedang berusaha menemukan diriku yang sebenarnya. Aku berharap suatu hari nanti, kau bisa memaafkanku."
Maya tidak membalas pesan itu. Ia tahu, bahkan jika Adrian benar-benar berubah, luka yang sudah terlanjur menganga akan sulit disembuhkan.
Maya menutup laptopnya. Ia memandang keluar jendela, menatap langit malam yang luas. Ia bertanya-tanya, apakah cinta sejati benar-benar bisa ditemukan melalui algoritma? Atau, apakah cinta itu hanya bisa ditemukan melalui proses yang alami, dengan segala ketidaksempurnaannya, dengan segala risiko lukanya?
Mungkin, ia berpikir, algoritma bisa membantumu menemukan seseorang, tapi hanya keberanian untuk membuka hati dan menerima ketidaksempurnaanlah yang bisa membantumu menemukan cinta sejati. Dan kadang, dalam pencarian itu, kita menemukan luka. Luka yang, mungkin, akan membuat kita menjadi lebih bijaksana. Lebih kuat. Lebih manusiawi.