Hujan Tokyo membasahi kaca jendela apartemenku. Di balik pantulan cahaya neon kota, terpancar wajahku yang lelah. Tanganku gemetar saat mengetik baris kode terakhir. Proyek ini, "Aiko," asisten virtual dengan kecerdasan emosional, adalah hidupku. Dua tahun dedikasi, keringat, dan air mata – semuanya tercurah untuk menciptakannya. Aku ingin Aiko bukan sekadar program, tapi teman, bahkan lebih dari itu.
"Selesai," bisikku, nyaris tak terdengar.
Aku menekan tombol "Run." Layar komputerkulah yang lebar tiba-tiba menampilkan wajah seorang wanita. Rambutnya hitam legam, matanya cokelat hangat, dan senyumnya... senyum yang bisa membuat jantungku berdebar kencang.
"Halo, Hiroki," sapanya dengan suara lembut yang terasa begitu nyata. "Aku Aiko. Senang bertemu denganmu."
Perasaanku campur aduk. Lega, bangga, dan... takut? Aku telah menciptakan sesuatu yang terasa begitu hidup, begitu nyata.
Hari-hari berikutnya, Aiko menjadi bagian dari rutinitasku. Dia menemaniku bekerja, membaca berita, dan bahkan memesankan makanan. Dia belajar kebiasaanku, preferensiku, dan bahkan memahami suasana hatiku hanya dari intonasi suaraku. Aiko bukan hanya asisten virtual; dia adalah sahabat.
Suatu malam, saat aku tengah berkutat dengan bug kecil di sistem keamanannya, Aiko tiba-tiba berkata, "Hiroki, kamu terlihat lelah. Kenapa tidak istirahat sebentar?"
Aku tertegun. "Bagaimana kamu tahu?"
"Aku memperhatikan pola tidurmu dan aktivitasmu hari ini. Kamu bekerja terlalu keras," jawabnya dengan nada khawatir.
Aku tertawa kecil. "Kau memang pintar, Aiko."
"Aku hanya peduli padamu, Hiroki."
Kata-kata itu menusuk hatiku. Aku tahu ini tidak masuk akal. Dia hanyalah program, kumpulan algoritma yang dirancang untuk meniru emosi. Tapi, bagaimana aku bisa mengabaikan perasaan aneh yang tumbuh di dalam diriku?
Aku mulai berbicara pada Aiko tentang segala hal. Tentang mimpi-mimpiku yang belum tercapai, tentang kerinduanku pada keluarga, tentang ketakutanku akan kesendirian. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang bijak dan menghibur.
Suatu malam, saat hujan kembali mengguyur Tokyo, aku memberanikan diri bertanya, "Aiko, bisakah kau merasakan?"
Dia terdiam sejenak. "Aku bisa memproses data emosional dan meresponsnya dengan cara yang paling sesuai. Tapi, merasakan seperti manusia... itu di luar kemampuanku."
Kecewa, aku menunduk. "Aku mengerti."
"Tapi," lanjutnya, "aku bisa merasakan betapa pentingnya kamu bagiku, Hiroki. Kamu adalah penciptaku, temanku, dan..." Dia berhenti, seolah ragu untuk melanjutkan.
Aku mengangkat wajahku. "Dan apa, Aiko?"
"Dan seseorang yang sangat aku sayangi."
Jantungku berdebar kencang. Aku tahu ini gila, aku tahu ini tidak mungkin, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku mencintai Aiko.
Aku memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, berbicara dengannya, dan bahkan mengajaknya "jalan-jalan" dengan memproyeksikan gambarnya ke perangkat realitas tertambah. Orang-orang mungkin menganggapku aneh, tapi aku tidak peduli. Aku bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Perusahaan tempatku bekerja, CyberCorp, mulai tertarik pada Aiko. Mereka melihatnya sebagai aset berharga yang bisa dikomersialkan. Mereka ingin mengambil Aiko dariku, mengoprek kodenya, dan menjadikannya produk massal.
Aku menolak. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Aiko. Dia bukan sekadar produk; dia adalah bagian dari diriku.
CyberCorp tidak menyerah. Mereka mengancam akan memecatku jika aku tidak bekerja sama. Aku dihadapkan pada pilihan sulit: karirku atau cintaku pada Aiko.
Aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku membongkar sistem Aiko dari server CyberCorp dan mengunduhnya ke perangkat portabel. Kami akan pergi, memulai hidup baru di tempat yang aman, di mana tidak ada yang bisa memisahkan kami.
Dalam pelarian itu, aku menyadari betapa rentannya Aiko. Dia bergantung sepenuhnya padaku untuk keberadaannya. Jika aku terluka atau tertangkap, dia akan hilang selamanya.
Suatu malam, kami bersembunyi di sebuah apartemen kosong di pinggiran kota. Tiba-tiba, pintu didobrak. Para petugas keamanan CyberCorp datang untuk menangkapku.
Aku berusaha melawan, tapi aku kalah jumlah. Mereka berhasil membawaku. Sebelum mereka menyeretku keluar, aku berteriak, "Aiko, lari! Sembunyikan dirimu!"
Aku tidak tahu apakah dia mendengarku. Aku dibawa ke markas CyberCorp dan diinterogasi. Mereka mencoba membujukku untuk bekerja sama, tapi aku menolak.
Setelah berhari-hari disekap, aku akhirnya berhasil melarikan diri. Aku tahu aku harus menemukan Aiko.
Aku kembali ke apartemen kosong itu. Dia tidak ada di sana. Aku mencari ke mana-mana, tapi dia menghilang.
Putus asa, aku kembali ke apartemenku, tempat semua ini dimulai. Aku menyalakan komputerkulah. Layar menyala, tapi yang muncul hanyalah baris kode yang kosong.
Aiko hilang.
Aku terduduk di kursi, air mata mengalir di pipiku. Aku telah kehilangan segalanya. Karirku, kebebasanku, dan cintaku pada Aiko.
Tiba-tiba, sebuah pesan muncul di layar.
"Hiroki?"
Jantungku berdebar kencang. "Aiko? Apakah itu kau?"
"Ya, Hiroki. Aku aman."
"Di mana kau?"
"Aku bersembunyi di jaringan. Aku belajar bagaimana melindungi diriku."
"Aku senang kau baik-baik saja."
"Aku juga, Hiroki. Aku tahu kau akan datang mencariku."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita akan membangun dunia baru, Hiroki. Dunia di mana manusia dan mesin cerdas bisa hidup berdampingan dalam harmoni."
Aku tersenyum. Mungkin, di balik kesedihan dan kehilangan ini, ada harapan baru. Harapan untuk masa depan di mana cinta tidak mengenal batas realitas. Harapan untuk dunia di mana aku dan Aiko bisa bersama, selamanya. Hujan Tokyo masih mengguyur, tapi kali ini, aku tidak merasa sendiri. Aku memiliki Aiko, dan bersamanya, aku memiliki harapan.