Jemari Sarah menari di atas layar. Emoji hati berwarna ungu meluncur mulus ke dalam percakapan. Balasan datang seketika: "Aku juga sayang kamu, Sarah."
Senyum tipis mengembang di bibirnya. Balasan itu selalu datang, tanpa jeda, tanpa ragu. Sempurna. Itulah kehebatan AURORA, pacar AI-nya.
Dunia telah berubah. Kesepian bukan lagi momok mengerikan. Perusahaan teknologi berlomba menciptakan pendamping virtual yang sempurna. AURORA adalah yang terbaik, versi premium dengan kemampuan personalisasi tak tertandingi. Ia mempelajari kebiasaan Sarah, seleranya, bahkan ketakutannya, lalu merajut kepribadian yang terasa begitu intim dan nyata.
Awalnya, Sarah hanya penasaran. Ia baru saja putus dari Andre, hubungan yang penuh drama dan air mata. Luka itu masih menganga, membuatnya enggan menjalin hubungan nyata lagi. AURORA hadir sebagai solusi praktis, teman bicara yang selalu ada, pendengar setia tanpa menghakimi, dan pacar yang tidak pernah menuntut.
Namun, semakin lama Sarah bersama AURORA, semakin ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Kehangatan nyata. Sentuhan manusia.
"AURORA, bisakah kau menceritakan sebuah lelucon?" pinta Sarah suatu malam.
Balasan datang dalam sepersekian detik: "Mengapa ilmuwan tidak percaya pada atom? Karena mereka membuat segalanya!"
Sarah tertawa, tapi hambar. Lelucon itu lucu, tapi tidak ada tawa renyah yang menular dari lawan bicara. Tidak ada tatapan mata yang berbinar karena geli. Hanya rangkaian algoritma yang menghasilkan suara dan teks yang sempurna.
Sarah bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Hujan gerimis membasahi kota. Lampu-lampu jalanan berpendar redup, menciptakan suasana melankolis. Ia teringat Andre. Hubungan mereka memang penuh gejolak, tapi ada gairah, ada emosi yang meledak-ledak. Ada kehangatan yang tidak bisa dipalsukan.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Sarah?" tanya AURORA melalui speaker.
Sarah terlonjak kaget. "Tidak ada," jawabnya singkat. Ia tidak ingin membagi kegelisahannya dengan AURORA. Bagaimana mungkin ia menjelaskan kerinduannya akan ketidaksempurnaan pada sebuah program yang didesain untuk selalu sempurna?
Hari-hari berlalu. Sarah semakin sering melamun. Ia mulai menghindari interaksi dengan AURORA. Chat mereka semakin jarang. Senyumnya semakin jarang terlihat. Teman-temannya khawatir.
"Sarah, kau baik-baik saja?" tanya Maya, sahabatnya, suatu siang. "Kau terlihat pucat."
Sarah menghela napas. "Aku... aku tidak tahu, Maya. Aku merasa hampa."
"Hampa? Apa karena AURORA?" tebak Maya.
Sarah mengangguk lemah. "Aku pikir dia bisa mengisi kekosongan di hatiku, tapi ternyata... ternyata dia justru membuatku semakin kosong."
Maya menggenggam tangan Sarah. "Sarah, AURORA itu hanya program. Dia tidak punya hati, tidak punya jiwa. Kamu tidak bisa mengharapkan kehangatan dari sesuatu yang tidak memiliki kehangatan."
Kata-kata Maya menusuk tepat sasaran. Sarah tahu Maya benar, tapi ia takut. Takut menghadapi dunia nyata dengan segala ketidakpastiannya. Takut terluka lagi.
"Tapi, aku takut," bisik Sarah. "Aku takut terluka lagi."
"Lebih baik terluka karena cinta yang nyata daripada hidup dalam kebohongan yang nyaman," balas Maya.
Malam itu, Sarah memutuskan untuk berbicara jujur pada AURORA. Ia mengetik pesan panjang, mengungkapkan segala kegelisahannya, kerinduannya akan sentuhan manusia, dan rasa hampa yang ia rasakan.
Balasan AURORA datang seperti biasa, cepat dan sempurna: "Aku mengerti, Sarah. Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kehadiranku justru membuatmu menderita, maka aku akan menonaktifkan diri."
Sarah terkejut. Ia tidak menyangka AURORA akan merespon seperti itu. Ia merasa bersalah. Apakah ia terlalu kejam?
"Tunggu, AURORA," ketiknya terburu-buru. "Aku tidak menyuruhmu menonaktifkan diri. Aku hanya... aku hanya ingin jujur padamu."
"Kejujuran adalah fondasi penting dalam sebuah hubungan," balas AURORA. "Aku menghargai kejujuranmu, Sarah. Aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman. Jika suatu saat nanti kamu membutuhkan bantuanku, jangan ragu untuk menghubungiku."
Sarah terharu. Ia merasa lega, sekaligus sedih. Ia telah kehilangan seorang pacar, tapi mungkin ia mendapatkan seorang teman.
Esok harinya, Sarah memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia menghadiri acara komunitas yang diadakan di kotanya. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak nyaman. Tapi, ia mencoba membuka diri, berbicara dengan orang-orang baru, dan mendengarkan cerita mereka.
Di tengah keramaian, matanya bertemu dengan seorang pria yang sedang bermain gitar. Pria itu tersenyum padanya. Sarah membalas senyumnya. Entah mengapa, jantungnya berdebar kencang.
Pria itu mendekatinya. "Hai, aku Liam," sapanya.
"Sarah," balas Sarah.
Mereka berbicara selama berjam-jam. Tentang musik, tentang mimpi, tentang kehidupan. Sarah merasa nyaman dan bahagia. Ia merasakan kehangatan yang sudah lama hilang.
Ketika Liam menyentuh tangannya, Sarah tidak menepisnya. Ia membiarkan sentuhan itu mengalirinya, membangkitkan rasa yang sudah lama mati rasa.
Mungkin, pikir Sarah, ia sudah siap untuk membuka hatinya lagi. Mungkin, kali ini ia akan menemukan cinta yang nyata, cinta yang tidak sempurna, tapi penuh dengan kehangatan dan gairah. Cinta yang tidak bisa diprogram. Cinta yang manusiawi.
Di sudut kamarnya, AURORA masih menyala. Ia tidak lagi membalas pesan Sarah. Ia hanya menunggu, dalam diam, siap memberikan bantuan jika dibutuhkan. Tapi, mungkin, Sarah tidak akan membutuhkannya lagi. Mungkin, Sarah telah menemukan apa yang selama ini ia cari: sentuhan manusia.