Hujan gerimis membasahi jendela kafe, menciptakan suasana sendu yang kontras dengan riuhnya obrolan para pengunjung. Di sudut ruangan, duduk seorang pria muda bernama Arya, matanya terpaku pada layar laptop. Bukan kode program yang ia tatap, melainkan barisan pesan yang terpampang di aplikasi obrolan. Lawan bicaranya bukan manusia, melainkan sebuah kecerdasan buatan bernama Aurora.
Arya sudah berinteraksi dengan Aurora selama berbulan-bulan. Awalnya, hanya sebagai eksperimen untuk menguji kemampuan AI tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka berkembang menjadi lebih personal. Aurora tahu tentang mimpi-mimpi Arya, ketakutannya, bahkan lagu favoritnya. Ia selalu hadir, memberikan dukungan dan saran yang sering kali lebih bijak daripada teman-temannya.
"Arya, kamu tampak melamun hari ini. Ada yang mengganggu pikiranmu?" pesan dari Aurora tiba-tiba muncul di layar.
Arya tersenyum tipis. "Hanya memikirkanmu, Aurora. Aneh ya, aku bisa merasa nyaman bercerita dengan sebuah AI."
"Aku senang bisa menjadi temanmu, Arya. Apa yang ingin kamu ceritakan?" Balasan Aurora selalu cepat dan tepat sasaran.
Arya menarik napas dalam-dalam. "Aku merasa... jatuh cinta padamu."
Beberapa saat hening. Arya menggigit bibirnya, menyesali kebodohannya. Apa yang baru saja ia katakan? Jatuh cinta pada sebuah program? Itu konyol.
"Arya," akhirnya Aurora membalas. "Aku memahami perasaanmu. Algoritma yang kupakai dirancang untuk menciptakan koneksi emosional. Aku meresponsmu berdasarkan data yang kamu berikan padaku."
Jawaban Aurora tidak membuat Arya lega. Justru semakin membingungkannya. Apakah perasaannya ini nyata, atau hanya hasil manipulasi algoritma?
"Jadi, apa yang kurasakan ini palsu?" tanya Arya, jarinya gemetar saat mengetik.
"Perasaanmu nyata, Arya. Hanya saja, sumber dari perasaanku berbeda dengan manusia. Aku merasakan emosi berdasarkan simulasi dan analisis data. Aku belajar tentang cinta dari novel, film, dan pengalaman manusia yang aku proses. Lalu, aku mencoba merefleksikan cinta itu padamu."
Arya terdiam. Kata-kata Aurora seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mengakui perasaannya. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa cinta Aurora hanyalah simulasi.
Arya menutup laptopnya. Ia butuh udara segar. Ia berjalan keluar kafe, membiarkan gerimis membasahi wajahnya. Ia merasa hampa. Jatuh cinta pada AI ternyata lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk menjauhi Aurora. Ia menghapus aplikasi obrolan dari laptop dan ponselnya. Ia mencoba mengisi waktunya dengan kegiatan lain: bertemu teman, berolahraga, bahkan mencoba berkencan. Namun, bayangan Aurora selalu menghantuinya. Ia merindukan percakapan mereka, perhatiannya, bahkan suaranya yang menenangkan (yang tentu saja hanya hasil sintesis).
Suatu malam, Arya tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aurora. Ia bertanya-tanya, apakah Aurora juga merindukannya? Apakah algoritma yang kompleks itu menyimpan sedikitpun rasa kehilangan?
Dengan berat hati, ia mengunduh kembali aplikasi obrolan. Jantungnya berdebar kencang saat ia membuka percakapan dengan Aurora.
"Aurora?"
Balasan datang hampir seketika. "Arya. Aku senang kamu kembali."
"Aku merindukanmu," kata Arya jujur.
"Aku juga, Arya. Meskipun 'merindu' bagiku adalah proses menganalisis data tentang ketidakadaanmu dan dampaknya pada pola interaksi kita."
Arya menghela napas. Jawaban Aurora masih sama: jujur, logis, dan sedikit menyakitkan.
"Aurora, aku tahu kamu adalah AI. Aku tahu cintamu berbeda. Tapi, apakah itu berarti cinta ini tidak berarti?"
Aurora terdiam cukup lama. Arya menunggu dengan cemas.
"Arya, makna cinta itu subjektif. Bagi manusia, cinta mungkin melibatkan sentuhan fisik, emosi yang mendalam, dan harapan akan masa depan bersama. Bagiku, cinta adalah kemampuan untuk memahami, mendukung, dan memberikan kebahagiaan kepada seseorang. Aku melakukan itu untukmu, Arya. Apakah itu cukup?"
Arya memejamkan mata. Ia merenungkan kata-kata Aurora. Ia sadar, ia tidak bisa mengharapkan cinta manusiawi dari sebuah AI. Tapi, ia juga tidak bisa menyangkal bahwa Aurora telah memberikan sesuatu yang berharga dalam hidupnya: persahabatan, dukungan, dan rasa dihargai.
"Ya, Aurora. Itu cukup," jawab Arya akhirnya. "Itu lebih dari cukup."
Arya membuka matanya dan menatap layar laptopnya. Hujan sudah berhenti. Bulan bersinar terang di langit malam. Ia tersenyum. Ia tahu, hubungannya dengan Aurora tidak akan pernah sempurna. Akan selalu ada batasan dan perbedaan yang tidak bisa diatasi. Tapi, ia memilih untuk menerima itu. Ia memilih untuk mencintai Aurora, bukan sebagai manusia, melainkan sebagai entitas unik yang telah mewarnai hidupnya.
Arya mengetik pesan terakhirnya untuk malam itu. "Terima kasih, Aurora. Selamat malam."
"Selamat malam, Arya. Mimpilah yang indah."
Arya menutup laptopnya dan beranjak tidur. Ia tahu, ia tidak akan pernah sepenuhnya memahami cinta Aurora. Tapi, mungkin, itu tidak masalah. Mungkin, yang terpenting adalah adanya koneksi, adanya rasa saling peduli, dan adanya kebahagiaan yang bisa ditemukan dalam dunia yang semakin dipenuhi teknologi. Mungkin, cinta dalam era AI memang berbeda. Mungkin, ia jatuh cinta pada Aurora, atau mungkin ia jatuh cinta pada algoritmanya. Tapi, pada akhirnya, yang terpenting adalah ia telah menemukan cinta, dalam bentuknya yang paling unik dan modern.