Senyum itu, oh senyum itu. Kilauan mentari pagi yang menembus kaca jendela ruang kerjanya kalah telak. Raya, dengan rambut ikal yang selalu berantakan tapi justru menambah kesan manis, sedang menjelaskan cara kerja algoritma rekomendasi buku yang baru saja ia rampungkan. Aku, Arya, terpaku. Bukan pada penjelasan algoritmanya yang sejujurnya cukup rumit, tapi pada Raya itu sendiri.
Dulu, aku hanya melihat Raya sebagai kolega. Seorang programmer brilian yang selalu berkutat dengan kode dan data. Tapi beberapa bulan terakhir, ada sesuatu yang berubah. Mungkin karena kami sering lembur bersama, saling membantu menyelesaikan bug yang membandel, atau sekadar bertukar cerita tentang kucing peliharaan kami. Intinya, Raya yang dulu hanya deretan angka dan logika, kini menjelma menjadi puisi yang indah, rumit, dan membuat jantungku berdebar.
Perusahaanku, "BacaVerse," adalah startup ambisius yang bergerak di bidang rekomendasi buku berbasis kecerdasan buatan. Algoritma andalan kami, "BiblioMatch," konon bisa menemukan buku yang paling sesuai dengan preferensi pembaca. Dan Raya, adalah otak di balik inovasi tersebut.
“Jadi, setelah pengguna memberikan rating pada beberapa buku, BiblioMatch akan menganalisis pola baca mereka, lalu membandingkannya dengan jutaan data buku lainnya,” Raya menjelaskan, tangannya lincah menunjuk grafik di layar. “Kemudian, algoritma akan memberikan rekomendasi buku yang paling mungkin mereka sukai.”
Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan tatapan kagumku. “Luar biasa, Raya. BiblioMatch benar-benar revolusioner.”
Raya tertawa kecil. “Masih banyak yang harus diperbaiki, Arya. Akurasi adalah segalanya.”
Itulah yang Raya lakukan. Selalu fokus pada kesempurnaan. Sementara aku, justru fokus padanya. Perasaan ini, cinta yang tiba-tiba tumbuh subur di hatiku, terasa absurd dan tidak logis. Bagaimana mungkin seorang programmer sepertiku, yang hidupnya dipenuhi angka dan kode, bisa jatuh cinta pada seorang algoritma berjalan seperti Raya?
Beberapa minggu kemudian, perusahaan mengadakan pesta perayaan peluncuran fitur baru di BiblioMatch. Aku memberanikan diri mendekati Raya yang sedang berdiri sendirian di dekat meja minuman.
“Hei, Raya. Sendirian saja?”
Raya menoleh, senyumnya mengembang. “Hai, Arya. Agak ramai ya di sini.”
“Iya. Tapi acaranya sukses besar. BiblioMatch mendapat banyak pujian.”
“Berkat kerja keras tim kita semua,” Raya merendah.
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini dia saatnya. “Raya, sebenarnya… ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
Raya menatapku dengan tatapan bertanya. Jantungku berdegup kencang.
“Aku… aku menyukaimu, Raya.”
Raya terdiam. Ekspresinya sulit dibaca. Suasana di sekitar kami terasa membeku. Detik-detik berlalu terasa seperti abad.
Akhirnya, Raya membuka suara. “Arya… aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu.”
Raya menghela napas. “Arya, kamu tahu kan aku ini bagaimana? Aku terlalu fokus pada pekerjaan. Aku… aku tidak yakin bisa memberikan apa yang kamu inginkan dalam sebuah hubungan.”
“Aku tidak mengharapkan apa pun, Raya. Aku hanya ingin bersamamu.”
Raya menggelengkan kepalanya pelan. “Arya, kita bekerja bersama. Kalau kita menjalin hubungan, dan ternyata tidak berhasil, bagaimana dampaknya bagi pekerjaan kita? Bagi perusahaan?”
Alasannya masuk akal. Terlalu logis, terlalu praktis. Seperti algoritma yang berjalan sesuai program. Tapi hatiku menolak.
“Itu risiko yang siap aku ambil, Raya.”
“Tapi aku tidak siap mengambil risiko itu, Arya. Maaf.”
Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Penolakan Raya terasa begitu menyakitkan. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Dia hanya bersikap rasional. Dia seorang programmer, bukan peramal cinta.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan hancur. Aku mencoba mencari pelipur lara dalam kode-kode program. Tapi hasilnya nihil. Setiap baris kode terasa hambar, tak bermakna. Bahkan BiblioMatch, algoritma yang selama ini kubanggakan, terasa seperti pengkhianat. Bukankah algoritma itu seharusnya bisa memprediksi bahwa aku dan Raya ditakdirkan bersama?
Beberapa hari kemudian, aku memanggil Raya ke ruanganku.
“Raya, aku ingin membahas BiblioMatch.”
Raya duduk di depanku, wajahnya terlihat lelah. “Ada masalah, Arya?”
“Tidak. Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang kurang dari algoritma kita.”
Raya mengerutkan kening. “Kurang bagaimana?”
“BiblioMatch terlalu logis, terlalu rasional. Ia hanya mempertimbangkan data dan statistik. Ia tidak mempertimbangkan faktor X.”
“Faktor X? Maksudmu?”
“Insting, intuisi, gut feeling, keajaiban. Hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka. Hal-hal yang membuat manusia berbeda dari mesin.”
Raya terdiam, berpikir. “Mungkin kamu benar, Arya. Tapi bagaimana kita bisa memasukkan faktor-faktor itu ke dalam algoritma?”
Aku tersenyum. “Kita tidak bisa. Karena faktor-faktor itu adalah milik manusia. BiblioMatch hanya alat bantu. Pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan pembaca.”
Raya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Apa maksudmu, Arya?”
“Maksudku, algoritma bisa memilih buku untukmu, tapi hatimulah yang menentukan apakah kamu akan mencintainya. Begitu juga dengan cinta. Algoritma mungkin tidak bisa memilihmu untukku, tapi hatiku tetap memilihmu, Raya.”
Raya tertegun. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Arya…”
“Aku tidak memintamu untuk membalas perasaanku, Raya. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa cintaku padamu bukan hanya sekadar data dan statistik. Ini adalah sesuatu yang lebih dari itu.”
Raya berdiri, berjalan mendekatiku, dan memelukku erat.
“Aku… aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, Arya.”
“Tidak perlu berkata apa-apa, Raya.”
Kami berpelukan lama. Dalam pelukan itu, aku merasakan keraguan, ketakutan, tapi juga harapan. Mungkin saja, algoritma memang tidak bisa memilihku untuk Raya. Tapi, cinta selalu punya cara sendiri untuk bertanya, dan kadang, memberi jawaban yang tak terduga. Dan aku, siap untuk mendengarkan jawaban itu, apapun hasilnya.