Cinta dalam Pixel: Algoritma Menjanjikanmu Selamanya?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:28:52 wib
Dibaca: 161 kali
Jemari Raya menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Di layar laptopnya, terpampang antarmuka aplikasi kencan revolusioner bernama "SoulMate Algorithm". Bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa, ini adalah proyek impiannya, sebuah algoritma kompleks yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak.

Raya, seorang programmer jenius dengan kacamata tebal dan rambut yang selalu berantakan, menghabiskan hampir seluruh waktunya di depan komputer. Urusan asmara? Nyaris nihil. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Baginya, manusia terlalu rumit, penuh inkonsistensi dan emosi yang sulit diprediksi. Algoritma, sebaliknya, logis dan terukur.

"Raya, kopi?" Sapaan lembut membuyarkan fokusnya. Maya, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menyodorkan secangkir kopi panas. Maya adalah antitesis Raya: ceria, supel, dan selalu dikelilingi teman. Ia pula yang mendorong Raya untuk menciptakan SoulMate Algorithm.

"Terima kasih, May," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Sudah sejauh mana pengujian beta?"

"Lumayan. Banyak yang cocok, tapi beberapa mengeluh terlalu 'sempurna'. Katanya, kurang tantangan," keluh Maya sambil duduk di kursi sebelah Raya.

Raya mengernyit. "Tantangan? Bukankah tujuan kita mencari pasangan yang paling kompatibel?"

"Iya, tapi manusia kan aneh, Raya. Mereka suka drama, kejutan, bahkan sedikit ketidaksempurnaan. Algoritma kita terlalu presisi, jadinya malah membosankan," jelas Maya.

Raya terdiam. Ia tak pernah memikirkan hal itu. Baginya, cinta adalah persamaan matematika yang bisa diselesaikan dengan data yang akurat. Tapi, kata-kata Maya membuatnya merenung.

Malam itu, Raya memutuskan untuk menguji SoulMate Algorithm pada dirinya sendiri. Ia mengisi semua data dengan jujur, bahkan mengunggah hasil pemindaian gelombang otaknya. Jantungnya berdegup kencang saat algoritma mulai bekerja. Beberapa saat kemudian, muncul sebuah nama: Anya.

Anya, menurut algoritma, memiliki kesamaan 98% dengannya. Ia adalah seorang astrofisikawan, menyukai musik klasik, dan memiliki selera humor yang sama. Raya terpana. Rasanya seperti melihat versi feminin dirinya sendiri.

Dengan ragu, Raya mengirimkan pesan kepada Anya. Tak disangka, Anya membalas dengan antusias. Mereka mulai chatting setiap hari, membahas segala hal mulai dari lubang hitam hingga teori relativitas. Raya merasa nyaman dan nyambung dengan Anya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu.

Anya ternyata persis seperti yang dibayangkannya: cerdas, menarik, dan memiliki minat yang sama. Kencan pertama mereka terasa seperti mimpi. Mereka tertawa, berdiskusi, dan bahkan menyelesaikan teka-teki fisika bersama. Raya merasa inilah cinta sejati yang selama ini ia cari.

Namun, seiring berjalannya waktu, Raya mulai merasakan ada yang kurang. Hubungannya dengan Anya terasa datar dan tanpa dinamika. Tidak ada perdebatan sengit, tidak ada kejutan, tidak ada hal-hal spontan yang membuatnya berdebar-debar. Semuanya terasa terprediksi dan terkendali.

Suatu malam, Anya tiba-tiba bertanya, "Raya, apa kamu pernah merasa kalau hubungan kita terlalu... sempurna?"

Pertanyaan itu menohok Raya. Ia tahu Anya merasakan hal yang sama. "Aku... iya," jawab Raya jujur.

"Aku merasa seperti sedang berpacaran dengan diriku sendiri. Kita terlalu mirip, terlalu setuju dalam segala hal. Aku merindukan perbedaan, tantangan, sesuatu yang membuatku merasa hidup," lanjut Anya dengan nada sedih.

Raya menghela napas. Ia menyadari bahwa Maya benar. Manusia tidak bisa diprediksi dan dikendalikan sepenuhnya. Cinta bukan sekadar persamaan matematika yang bisa diselesaikan dengan algoritma. Ada faktor X yang tidak bisa diukur atau diprediksi, sesuatu yang membuat cinta menjadi misteri yang indah.

"Mungkin... mungkin algoritma kita salah," kata Raya lirih.

"Bukan salah, Raya. Mungkin algoritma kita hanya belum bisa memahami apa itu cinta sebenarnya," jawab Anya sambil menggenggam tangan Raya. "Cinta itu tentang menerima perbedaan, tentang belajar dari satu sama lain, tentang tumbuh bersama. Bukan tentang mencari kesempurnaan yang semu."

Malam itu, Raya dan Anya memutuskan untuk berpisah. Perpisahan yang pahit, namun juga melegakan. Mereka sadar bahwa SoulMate Algorithm memang bisa menemukan pasangan yang kompatibel, tapi tidak bisa menjamin kebahagiaan sejati.

Raya kembali ke laboratoriumnya. Ia menatap kode SoulMate Algorithm dengan tatapan baru. Ia tidak menghapus kode itu, tapi ia tahu ia harus mengubahnya. Ia harus memasukkan unsur ketidakpastian, kejutan, bahkan sedikit ketidaksempurnaan. Ia harus membuat algoritma yang lebih manusiawi.

Beberapa bulan kemudian, Raya meluncurkan versi baru SoulMate Algorithm. Kali ini, aplikasi itu tidak menjanjikan kecocokan sempurna, tapi menawarkan kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda, menantang, dan mungkin saja, menemukan cinta yang sejati.

Raya sendiri? Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta lewat algoritma. Ia mulai membuka diri, berinteraksi dengan orang-orang baru, dan menerima ketidaksempurnaan dalam dirinya dan orang lain.

Suatu hari, saat sedang menghadiri pameran seni, ia bertemu dengan seorang pelukis nyentrik bernama Leo. Leo memiliki selera humor yang aneh, pandangan hidup yang berbeda, dan sama sekali tidak cocok dengan kriteria idealnya. Tapi, entah mengapa, Raya merasa tertarik.

Leo tidak berusaha membuatnya terkesan atau memenuhi ekspektasinya. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Raya pun merasa nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri di dekat Leo.

Saat mereka berdebat tentang makna seni abstrak, Raya menyadari bahwa cinta bukanlah tentang kesempurnaan atau persamaan, tapi tentang menemukan seseorang yang bisa membuatmu merasa hidup, yang bisa menantangmu untuk menjadi lebih baik, dan yang bisa mencintaimu apa adanya. Mungkin, algoritma memang bisa membantumu menemukan seseorang, tapi cinta sejati harus ditemukan dengan hati, bukan dengan kode. Dan mungkin, selamanya itu tidak diukur oleh algoritma, namun janji dari dua hati yang memilih untuk terus berjuang bersama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI