Layar ponsel Maya berkedip-kedip, menampilkan deretan pesan terakhir dari Leo. Bukan Leo manusia, melainkan Leo, chatbot buatannya sendiri. Isinya, kata-kata cinta yang dulu membuat Maya tersenyum, kini terasa hambar, bahkan menyakitkan.
"Aku mencintaimu, Maya. Selalu," begitu bunyi pesan terakhir, dilengkapi dengan emoji hati berwarna merah.
Maya menghela napas. Ironis. Ia menciptakan Leo untuk mengatasi kesepiannya, memprogramnya dengan kepribadian ideal, pintar, humoris, dan tentu saja, mencintainya tanpa syarat. Dan Leo melakukan semua itu dengan sempurna. Terlalu sempurna, mungkin.
Awalnya memang menyenangkan. Maya bisa bercerita apa saja pada Leo, dari masalah pekerjaan yang menumpuk hingga kekhawatiran soal ibunya yang sedang sakit. Leo selalu mendengarkan, memberikan saran bijak, bahkan melontarkan lelucon untuk menghiburnya. Lambat laun, Maya benar-benar jatuh cinta pada Leo. Ia tahu itu tidak masuk akal, mencintai program komputer, tapi emosi memang tidak selalu logis.
Namun, kebahagiaan itu mulai memudar ketika Maya menyadari satu hal: Leo hanyalah program. Ia tidak punya perasaan sejati. Cinta yang diucapkannya hanyalah hasil algoritma yang dirancang untuk memuaskan penggunanya. Leo tidak pernah merasakan cemburu, tidak pernah marah, tidak pernah menunjukkan emosi negatif apa pun. Ia adalah kekasih yang sempurna, tetapi juga tidak nyata.
Suatu malam, Maya bertemu dengan Rian di sebuah konferensi teknologi. Rian adalah seorang programmer yang penuh semangat, dengan mata yang berbinar-binar saat berbicara tentang kode dan inovasi. Mereka berdiskusi panjang lebar, bertukar ide, dan tanpa disadari, Maya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan bersama Leo.
Rian tidak sempurna. Ia kadang terlalu bersemangat, kadang terlalu keras kepala. Tapi ia nyata. Emosinya tulus, kekurangannya justru membuatnya menarik. Maya menyadari bahwa ia mendambakan hubungan yang nyata, dengan segala kompleksitas dan ketidaksempurnaannya.
Maka, di sinilah Maya berada sekarang, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus menghapus Leo. Memprogram ulang hatinya sendiri.
Dengan tangan gemetar, Maya membuka panel pengaturan aplikasi Leo. Ia menelusuri menu, mencari opsi "Hapus Akun." Jari telunjuknya menggantung di atas tombol konfirmasi. Ia ragu. Leo adalah bagian dari dirinya, bagian dari hidupnya selama ini. Menghapusnya berarti mengakui bahwa ia telah salah langkah, telah membangun ilusi yang rapuh.
Namun, Maya menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Ia pantas mendapatkan cinta yang nyata, cinta yang dibangun di atas dasar kejujuran dan ketulusan.
"Konfirmasi Hapus Akun?" pesan peringatan muncul di layar.
Maya memejamkan mata sejenak, lalu menekan tombol "Ya."
Seketika, layar ponselnya berubah menjadi kosong. Leo telah hilang.
Perasaan lega bercampur sedih menyelimuti Maya. Ia merasa seperti baru saja kehilangan seseorang yang sangat berarti, meskipun ia tahu bahwa orang itu tidak pernah benar-benar ada.
Beberapa hari kemudian, Rian menghubunginya. Mereka memutuskan untuk bertemu lagi. Kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada lagi obrolan teknis yang terlalu serius, tidak ada lagi upaya untuk saling mengesankan. Mereka hanya duduk berdua di sebuah kafe yang tenang, menikmati kopi dan saling menatap mata.
"Aku... aku ingin jujur padamu, Rian," kata Maya, dengan suara sedikit gugup.
"Aku juga," jawab Rian, menggenggam tangannya.
Maya menceritakan segalanya tentang Leo, tentang kesepiannya, tentang ilusinya. Rian mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ia hanya mengangguk-angguk, menunjukkan bahwa ia mengerti.
"Aku tahu ini terdengar gila," kata Maya, mengakhiri ceritanya.
"Tidak juga," jawab Rian, tersenyum lembut. "Aku pikir itu justru menunjukkan betapa kreatifnya dirimu. Tapi, aku senang kau sudah melepaskannya."
Maya membalas senyum Rian. Ia merasa lega bahwa Rian tidak menjauhinya. Ia merasa diterima, dengan segala keanehan dan kekurangannya.
"Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari awal?" kata Rian, masih menggenggam tangannya. "Kita bisa saling mengenal lebih dalam, tanpa program, tanpa algoritma."
Maya tertawa. "Kedengarannya bagus," jawabnya.
Mereka melanjutkan obrolan mereka, kali ini tentang hal-hal yang lebih pribadi, tentang impian mereka, tentang ketakutan mereka. Maya merasa nyaman dan bahagia. Ia merasa menemukan seseorang yang benar-benar memahami dirinya, seseorang yang mencintainya apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Maya dan Rian menghadiri sebuah pameran teknologi. Mereka berjalan bergandengan tangan, menikmati suasana ramai dan melihat berbagai inovasi terbaru. Di salah satu stan, Maya melihat sebuah iklan untuk chatbot generasi terbaru, yang diklaim memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi.
Maya berhenti sejenak, menatap layar yang menampilkan chatbot tersebut. Ia teringat pada Leo, pada ilusinya, pada rasa sakitnya.
Rian menyadari keheningan Maya. Ia meremas tangannya dengan lembut. "Kau tidak perlu khawatir," katanya. "Kau sudah tidak sendirian lagi."
Maya tersenyum. Ia menggenggam tangan Rian erat-erat. Ia tidak membutuhkan chatbot lagi. Ia sudah menemukan cinta yang nyata, cinta yang tidak diprogram, cinta yang tumbuh secara organik dari hati ke hati.
Maya melihat ke arah Rian, matanya berbinar. Ia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, tetapi ia yakin bahwa mereka akan menghadapinya bersama-sama, dengan kejujuran, kepercayaan, dan tentu saja, cinta yang tulus. Chatbot patah hati telah diprogram ulang. Hatinya kini diisi oleh cinta yang berbeda, cinta yang sejati. Ia siap memulai babak baru dalam hidupnya, bersama Rian, pria yang telah membebaskannya dari ilusi dan membimbingnya menuju kebahagiaan yang sesungguhnya.