Detak Jantung Artifisial Untukmu: Ritme Cinta Teknologi

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 03:24:12 wib
Dibaca: 167 kali
Udara laboratorium terasa dingin menusuk tulang, kontras dengan keringat dingin yang membasahi pelipis Arya. Di hadapannya, sebuah monitor menampilkan garis EKG yang berfluktuasi aneh. Bukan fluktuasi kehidupan, melainkan simulasi kompleks yang ia ciptakan sendiri. Di atas meja, tergeletak sebuah jantung mekanis, prototipe terbarunya. Bukan sembarang jantung, melainkan 'Aether', jantung artifisial yang dirancangnya khusus untuk satu orang: Lintang.

Lintang, kekasihnya, sahabatnya, dan satu-satunya alasannya bertahan dalam dunia penelitian yang serba rumit ini. Lintang menderita kardiomiopati dilatasi stadium akhir. Jantungnya membengkak, berdetak lemah, dan dokter memvonisnya tak punya banyak waktu lagi. Arya menolak menyerah. Ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk menciptakan Aether, harapan terakhir Lintang.

"Detak jantungnya terlalu cepat di fase simulasi beban berat," gumam Arya, mengutak-atik kode pemrograman. Ia sudah berbulan-bulan tidur di laboratorium, mengabaikan panggilan dari ibunya, melupakan makan teratur. Semua demi Lintang. Demi suara tawanya, demi senyumnya yang mampu menghangatkan hatinya yang beku.

Ia ingat pertama kali bertemu Lintang. Saat itu, ia masih mahasiswa baru yang kikuk, tersesat di tengah hiruk pikuk kampus. Lintang, dengan rambut panjangnya yang dikepang dan mata cokelatnya yang berbinar, menunjuk arah dengan sabar. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan. Lintang selalu mendukungnya, bahkan ketika ide-ide gilanya tentang menggabungkan teknologi dan organ tubuh manusia dianggap aneh oleh teman-temannya.

"Kamu akan mengubah dunia, Arya," ucap Lintang dulu, sambil menggenggam tangannya erat. "Aku percaya padamu."

Kata-kata itu menjadi bahan bakar bagi semangat Arya. Kini, dunia sedang berubah, tetapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Dunia Lintang sedang meredup, dan ia harus bertindak cepat.

Pintu laboratorium terbuka. Sosok Risa, asistennya yang setia, muncul dengan wajah khawatir. "Arya, kamu harus istirahat. Kamu sudah tidak tidur selama tiga hari."

Arya menggeleng. "Tidak bisa, Risa. Aku harus menyelesaikan ini."

"Lintang menghubungiku tadi. Dia bilang dia merindukanmu."

Jantung Arya berdenyut nyeri. Ia merindukan Lintang lebih dari apa pun. Ia ingin memeluknya, mencium keningnya, mendengarkan ceritanya. Tetapi ia tahu, setiap detik yang terbuang percuma sama dengan mengurangi kesempatan Lintang untuk hidup.

"Katakan padanya aku sedang berusaha," jawab Arya, suaranya serak.

Risa menghela napas. "Aku akan mengatakannya. Tapi ingat, Arya, kamu juga manusia. Kamu butuh istirahat." Risa meletakkan secangkir kopi hangat di meja Arya dan pergi.

Arya menyesap kopi itu, merasakan kehangatannya sedikit meredakan dingin di tubuhnya. Ia kembali menatap monitor, berusaha fokus pada kode-kode rumit di depannya. Ia terus bekerja, menyempurnakan algoritma, menguji respon jantung mekanis terhadap berbagai stimulasi. Hingga akhirnya, saat fajar mulai menyingsing, ia menemukan titik terang.

"Ini dia," bisiknya, matanya berbinar. "Detak jantung yang stabil, respon yang optimal."

Ia segera menghubungi dokter Lintang dan meminta izin untuk melakukan uji coba Aether. Dokter setuju, dengan catatan bahwa semua risiko ditanggung Arya. Arya mengiyakan tanpa ragu. Ia siap mempertaruhkan segalanya untuk Lintang.

Hari operasi tiba. Arya berdiri di ruang observasi, menyaksikan para dokter memasang Aether ke tubuh Lintang. Ia menggenggam erat tangannya sendiri, jantungnya berdebar kencang. Ini adalah momen yang paling menentukan dalam hidupnya. Jika Aether gagal, Lintang akan pergi selamanya.

Operasi berlangsung berjam-jam. Arya tak beranjak dari tempatnya, matanya terpaku pada monitor yang menampilkan tanda-tanda vital Lintang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Akhirnya, setelah penantian yang mendebarkan, dokter keluar dari ruang operasi.

"Operasi berhasil," ucap dokter, tersenyum lelah. "Aether berfungsi dengan baik. Jantung Lintang berdetak stabil."

Arya merasa lututnya lemas. Ia bersandar ke dinding, air mata haru menetes di pipinya. Ia berhasil. Ia menyelamatkan Lintang.

Beberapa hari kemudian, Lintang dipindahkan ke ruang rawat inap. Arya duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangannya erat. Lintang membuka matanya perlahan dan tersenyum.

"Arya," bisiknya lemah. "Kamu di sini?"

"Aku di sini, Lintang," jawab Arya, suaranya bergetar. "Aku selalu di sini."

"Aku mendengar detak jantungku," ucap Lintang, matanya menatap Arya dengan penuh cinta. "Detak jantung yang kuat, stabil. Detak jantungmu."

Arya tersenyum. "Bukan detak jantungku, Lintang. Itu Aether. Jantung mekanis yang kuciptakan khusus untukmu."

Lintang menggeleng pelan. "Tidak, Arya. Itu detak jantung cintamu. Detak jantung yang selalu berdetak untukku."

Arya mendekatkan wajahnya ke Lintang dan mencium keningnya lembut. Ia tahu, Lintang benar. Aether memang jantung mekanis, tetapi di dalamnya terukir cinta yang mendalam. Cinta yang membuatnya rela berkorban, cinta yang membuatnya tak pernah menyerah, cinta yang memberinya kekuatan untuk menciptakan keajaiban.

"Aku mencintaimu, Lintang," bisik Arya.

"Aku juga mencintaimu, Arya," jawab Lintang, tersenyum bahagia.

Di ruang rawat inap yang tenang, detak jantung artifisial berirama stabil, mengiringi janji cinta abadi. Ritme cinta teknologi, sebuah simfoni kehidupan yang baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI