Detak Jantung Buatan: Cinta di Era Algoritma Sunyi

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 19:30:15 wib
Dibaca: 173 kali
Kilau neon kota Cyberia memantul dari visornya, memecah refleksi wajahnya menjadi piksel-piksel kecil. Anya menarik napas dalam-dalam, oksigen sintetis terasa dingin membakar paru-parunya. Malam ini adalah malam penentu. Malam di mana ia akan bertemu dengan sosok yang selama ini hanya dikenalnya melalui algoritma, melalui jaringan saraf digital yang menghubungkannya dengan belahan jiwa yang (konon) sempurna untuknya.

"Calibrasi selesai," suara lembut Aurora, AI pribadinya, memecah keheningan. "Detak jantung stabil di 72 BPM. Kadar dopamin optimal. Siap untuk interaksi, Anya."

Anya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Terima kasih, Aurora. Semoga algoritma kali ini tidak salah."

Sudah tiga kali. Tiga kali Anya mengikuti perjodohan algoritmik ini. Tiga kali hatinya hancur berkeping-keping, bukan karena pria-pria yang dipertemukannya buruk, tapi karena terasa...hampa. Mereka adalah produk optimalisasi, hasil perhitungan rumit yang menjanjikan kesamaan minat, visi, dan bahkan, empati. Tapi empati yang diprogramkan terasa seperti simulakra, bayangan dari kehangatan yang sesungguhnya.

Ia menaiki hovercar yang sudah dipesan, tujuannya adalah Neo-Romantica, sebuah restoran virtual yang menawarkan pengalaman berkencan abad ke-21. Di sana, ia akan bertemu dengan Kai. Profilnya sangat menjanjikan: seorang arsitek virtual, idealis, dan memiliki skor kompatibilitas di atas 95%. Menurut Aurora, Kai adalah kesempatan terakhirnya. Jika kali ini gagal, Anya berencana menghapus semua program kencan algoritmik dan menerima takdirnya sebagai seorang teknolog kesepian.

Hovercar berhenti di depan gedung Neo-Romantica. Anya keluar dan memasuki lobi. Interiornya menakjubkan: taman digital yang terus berubah, air terjun virtual yang gemerlapan, dan aroma bunga sintetis yang lembut memenuhi udara. Ia mendekati resepsionis, sebuah hologram cantik berpakaian pelayan abad ke-18.

"Atas nama Anya, reservasi untuk dua orang," ucapnya.

Hologram itu tersenyum manis. "Tentu, Nona Anya. Silakan ikuti saya."

Anya dibawa ke sebuah meja yang terletak di balkon virtual, menghadap pemandangan simulasi Paris di malam hari. Cahaya rembulan digital menerangi meja yang dihiasi bunga mawar virtual berwarna merah. Di sana, duduk seorang pria.

Kai.

Dia persis seperti yang digambarkan di profilnya: tinggi, berambut hitam legam, dengan mata cokelat yang hangat. Ia mengenakan jaket kulit yang dipadukan dengan kemeja putih sederhana. Aura ketenangan terpancar darinya.

"Anya?" tanyanya, suaranya dalam dan menenangkan.

"Kai," jawab Anya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Mereka bertukar sapaan formal, kemudian mulai berbicara. Percakapan mereka mengalir lancar, sesuai dengan yang diprediksi algoritma. Mereka membahas arsitektur virtual, filosofi teknologi, dan bahkan buku favorit mereka. Kai ternyata sangat cerdas dan memiliki selera humor yang baik. Anya merasa nyaman, bahkan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa terhubung dengan seseorang.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang kecil, namun signifikan.

Ketika Kai tertawa, tawa itu terdengar...terlalu sempurna. Ketika ia mengungkapkan kesedihannya tentang hancurnya sebuah bangunan bersejarah virtual, emosinya terasa...terlalu terukur. Seolah-olah setiap kata, setiap ekspresi, telah diprogramkan untuk mendapatkan reaksi yang optimal dari Anya.

Di tengah percakapan, Anya menyadari sesuatu yang mengerikan. Ia melihat sebuah kabel tipis tersembunyi di balik kerah Kai, kabel yang menghubungkan otaknya dengan sebuah alat kecil yang terpasang di belakang telinganya.

Sebuah implan.

Kai adalah cyborg yang dioptimalkan untuk berkencan. Semua reaksinya, semua emosinya, semua ucapannya, dikendalikan oleh algoritma yang rumit. Ia adalah boneka yang sempurna, dirancang untuk memenangkan hati Anya.

Anya merasa mual. Ia berdiri dari kursinya.

"Ada apa, Anya? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Kai, ekspresi bingung di wajahnya. Kebingungan yang...sempurna.

"Aku tahu," ucap Anya pelan. "Aku tahu tentang implan itu, Kai."

Kai membeku. Wajahnya pucat pasi.

"Aku...aku bisa menjelaskannya," gagapnya.

"Tidak perlu," potong Anya. "Aku muak dengan semua ini. Dengan algoritma, dengan optimalisasi, dengan cinta yang diprogramkan. Aku ingin sesuatu yang nyata."

Anya berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kai yang terdiam di mejanya. Ia keluar dari Neo-Romantica, kembali ke dunia nyata, ke jalanan Cyberia yang dingin dan bergemerlapan.

Aurora, AI pribadinya, segera menyapanya. "Analisis interaksi selesai. Tingkat keberhasilan 78%. Apakah Anda ingin menjadwalkan kencan kedua?"

Anya mematikan Aurora. Ia tidak ingin mendengar apa pun tentang algoritma atau optimalisasi. Ia ingin merasakan. Ia ingin merasakan sakit, kecewa, marah, dan bahkan, kesepian. Ia ingin merasakan sesuatu yang nyata.

Anya berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalanan Cyberia yang ramai. Di tengah keramaian, ia melihat seorang pria duduk di bangku taman. Pria itu tampak lusuh dan lelah. Ia mengenakan pakaian usang dan memegang sebuah gitar akustik.

Pria itu mulai memainkan musik. Bukan musik digital yang sempurna, bukan lagu yang diproduksi secara massal oleh algoritma. Musiknya kasar, tidak teratur, dan penuh dengan kesalahan. Tapi ada sesuatu yang jujur, sesuatu yang mentah dalam musik itu.

Anya duduk di bangku di sebelah pria itu dan mendengarkan. Ia tidak tahu siapa pria itu, atau apa yang membuatnya memainkan musik di jalanan Cyberia yang keras. Tapi ia tahu, bahwa musiknya menyentuh hatinya.

Ketika pria itu selesai bermain, Anya memberinya beberapa kredit. Pria itu tersenyum, senyum yang tulus dan tidak diprogramkan.

"Terima kasih," ucapnya. "Namaku Leo."

"Anya," balas Anya.

Mereka duduk dalam diam selama beberapa saat, hanya mendengarkan suara bising kota. Kemudian, Leo mulai berbicara tentang musiknya, tentang mimpinya, tentang kehidupannya. Anya mendengarkan dengan seksama. Ia tidak tahu apakah Leo adalah belahan jiwanya, atau apakah mereka ditakdirkan untuk bersama. Tapi ia tahu, bahwa ia merasa terhubung dengan pria ini, dengan caranya yang tidak sempurna, dengan kejujurannya yang mentah.

Di tengah algoritma sunyi dan teknologi canggih Cyberia, Anya menemukan setitik harapan. Harapan bahwa, mungkin, cinta sejati masih mungkin ditemukan, bukan melalui perhitungan rumit, tapi melalui kebetulan, melalui koneksi manusiawi yang sederhana, melalui detak jantung yang nyata, bukan detak jantung buatan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI