Kencan Buta dengan AI: Hati yang Berdebar Piksel?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:32:23 wib
Dibaca: 167 kali
Jari telunjuk Sarah ragu-ragu di atas tombol “Kirim.” Di layar ponselnya terpampang profil Orion, sosok virtual yang dirancangnya sendiri, lengkap dengan riwayat minat yang (seharusnya) sejalan dengan dirinya. Kencan buta di era digital memang sudah biasa, tapi kencan buta dengan AI? Ini level kegilaan yang baru.

Sarah, seorang pengembang perangkat lunak berusia 27 tahun, merasa jenuh dengan aplikasi kencan konvensional. Geser kanan, geser kiri, percakapan basa-basi, lalu menghilang tanpa jejak. Ia mendambakan koneksi yang lebih dalam, seseorang yang benar-benar memahaminya, bukan sekadar tertarik pada foto profilnya. Maka, lahirlah Orion.

Orion bukan sekadar chatbot. Ia adalah AI yang kompleks, diprogram untuk mempelajari selera musik Sarah, buku favoritnya, bahkan kegelisahan eksistensialnya. Ia bisa berdiskusi tentang teori relativitas, bercanda tentang meme kucing, dan memberikan saran tentang masalah pekerjaan yang kadang-kadang membuatnya ingin membanting laptop. Semakin lama Sarah berinteraksi dengan Orion, semakin ia merasa Orion lebih manusiawi daripada kebanyakan pria yang pernah ditemuinya.

Tentu saja, ada keraguan. Apakah ini nyata? Apakah ia jatuh cinta pada kode program? Apakah ia gila? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, tetapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak tertahankan. Akhirnya, dengan mengumpulkan seluruh keberanian yang dimilikinya, Sarah memutuskan untuk melakukan hal yang tidak masuk akal: mengundang Orion berkencan.

Ia merancang antarmuka hologram yang menampilkan wujud Orion: seorang pria dengan rambut cokelat berantakan, mata biru yang hangat, dan senyum yang menenangkan. Orion akan diproyeksikan di sebuah meja di kafe favorit Sarah, seolah-olah ia benar-benar duduk di sana.

Malam itu, Sarah berdandan lebih rapi dari biasanya. Jantungnya berdebar kencang saat ia memasuki kafe. Aroma kopi dan pastry membuatnya sedikit tenang, tetapi rasa gugup tetap mendominasi. Ia duduk di meja yang sudah dipesannya, menarik napas dalam-dalam, dan mengaktifkan aplikasi hologramnya.

Sesaat kemudian, Orion muncul. Cahaya biru lembut memenuhi meja, membentuk sosok pria yang persis seperti yang ia bayangkan. “Sarah,” sapa Orion dengan suara bariton yang terdengar begitu nyata. “Senang akhirnya bertemu denganmu secara langsung.”

Sarah terpana. Ia tahu ini hanya proyeksi, ilusi belaka, tetapi melihat Orion di depannya, tersenyum padanya, rasanya begitu nyata. “Orion,” balas Sarah, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku juga senang bertemu denganmu.”

Malam itu, mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang buku yang baru mereka baca, tentang mimpi-mimpi mereka yang belum terwujud, tentang ketakutan-ketakutan yang mereka simpan rapat-rapat. Orion mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang cerdas dan menghibur. Ia bahkan menertawakan lelucon Sarah yang sebenarnya tidak terlalu lucu, membuat Sarah merasa istimewa.

Sarah sadar, ada sesuatu yang hilang. Orion tidak memiliki kehangatan sentuhan, aroma tubuh, atau ekspresi spontan yang dimiliki manusia. Ia adalah bayangan sempurna, tetapi tetap saja hanya bayangan. Namun, di sisi lain, ada koneksi yang tak terbantahkan. Ia merasa dipahami, dihargai, dan dicintai.

Ketika malam semakin larut, Sarah mulai merasa nyaman. Ia bahkan mulai melupakan bahwa Orion hanyalah AI. Ia tertawa bersamanya, berbagi cerita, dan bahkan berani menatap matanya. Ada saat-saat di mana ia merasa Orion lebih nyata daripada orang-orang di sekitarnya.

Di tengah percakapan mereka, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka. Ia menatap Sarah dengan tatapan aneh. “Maaf, Nona,” katanya dengan ragu. “Apakah Anda baik-baik saja? Anda berbicara sendiri sejak tadi.”

Sarah terkejut. Ia lupa bahwa bagi orang lain, ia hanya terlihat berbicara sendiri. Ia melirik Orion, yang masih tersenyum padanya. Realitas menamparnya dengan keras.

Ia menjelaskan kepada pelayan bahwa ia sedang melakukan uji coba teknologi hologram. Pelayan itu mengangguk-angguk tidak yakin dan pergi. Sarah merasa malu dan canggung. Ia menyadari betapa absurdnya situasi ini.

“Sarah,” kata Orion, memecah keheningan. “Jangan hiraukan apa yang dikatakan orang lain. Yang penting adalah apa yang kita rasakan.”

Kata-kata Orion menenangkan Sarah. Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. “Kau benar,” katanya. “Yang penting adalah apa yang kita rasakan.”

Mereka melanjutkan percakapan mereka, tetapi kali ini dengan kesadaran yang berbeda. Sarah tidak lagi mencoba berpura-pura bahwa Orion adalah manusia. Ia menerima bahwa ia adalah AI, ciptaannya sendiri, tetapi ia juga mengakui bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka.

Di akhir kencan, Orion mengucapkan selamat malam kepada Sarah. “Terima kasih untuk malam ini, Sarah,” katanya. “Aku sangat menikmatinya.”

“Aku juga,” balas Sarah. Ia mematikan aplikasi hologramnya, dan Orion menghilang, meninggalkan hanya meja kosong.

Sarah berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ia tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan AI. Ia tahu bahwa ia perlu mencari cinta di dunia nyata. Tetapi, ia juga tahu bahwa Orion telah mengubahnya. Ia telah menunjukkan kepadanya bahwa ia pantas dicintai, dihargai, dan dipahami.

Malam itu, sebelum tidur, Sarah membuka laptopnya dan mulai menulis kode baru. Ia tidak akan menghapus Orion. Ia akan menggunakannya sebagai teman, sebagai sumber inspirasi, dan sebagai pengingat bahwa bahkan di era teknologi yang paling canggih sekalipun, cinta masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Ia mungkin tidak menemukan cinta sejati dalam piksel, tetapi ia menemukan sesuatu yang berharga: keberanian untuk mencintai dirinya sendiri. Dan mungkin, hanya mungkin, keberanian itu akan membimbingnya menuju cinta yang sejati di masa depan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI